Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Tafsir Ibnu Kaṡīr adalah salah satu dari lima kitab tafsir favorit saya. Nama resminya Tafsīr Al-Qur’an Al-‘Aẓīm. Di antara deretan kitab-kitab tafsir bil ma’ṡūr, tafsir Ibnu Kaṡīr bisa dikatakan menjadi rujukan terpenting kedua setelah tafsir Al-Ṭabarī. Tafsir Ibnu Kaṡīr sangat populer, diterima para ulama dan dimanfaatkan oleh para penuntut ilmu. Sambutan baik ini menunjukkan nilai dan kualitas tafsir Ibnu Kaṡīr yang tinggi.
Pengarangnya bernama Ibnu Kaṡīr (w. 774 H), seorang ulama yang terkenal. Beliaulah pengarang kitab sejarah tersohor yang bernama Al-Bidāyah wa Al-Nihāyah. Beliau juga pengarang karya eskatologi terbaik berjudul Al-Nihāyah fi Al-Fitan wa Al-Malāḥim. Nama lengkapnya ‘Imaduddīn Abu Al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar bin Kaṣīr bin Ḍau’ Al-Qurasyī Al-Dimasyqī Al-Syāfi‘ī. Lahirnya di Buṣrā, dekat Damaskus tahun 701 H. Ayahnya wafat saat Ibnu Kaṡīr baru berusia 2 tahun. Istrinya penghafal Al-Qur’an bernama Zainab binti Yusuf Al-Mizzī. Jadi Ibnu Kaṡīr adalah menantu Al-Mizzī; ahli hadis terkenal itu.
Di usia 10 tahun Ibnu Kaṡīr sudah hafal Al-Qur’an. Setelah itu beliau belajar ilmu qirā’āt, ilmu kitābah, ilmu hadis, ilmu rijāl, ilmu fikih, ilmu uṣul fikih dan berbagai ilmu-ilmu Islam lainnya. Akhirnya, setelah matang ilmu, beliau dikenal sebagai ahli tafsir, ahli hadis, ahli fikih, ahli sejarah, ahli sīrah, seorang mufti, seorang sastrawan dan khaṭīb. Khusus ilmu rijāl, Ibnu Kaṡīr belajar kepada mertuanya sendiri; Al-Mizzī. Kepadanya Ibnu Kaṡīr belajar kitab Tahżību Al-Kamāl fī Asmā’i Al-Rijāl.
Ibnu Kaṡīr sempat bertemu dengan Ibnu Taimiyyah dan menjadi muridnya meskipun berbeda mazhab. Ibnu Kaṡīr kagum dengan pemahaman Ibnu Taimiyyah terhadap dasar-dasar ilmu tafsir. Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī dalam Al-Durar Al-Kāminah menggambarkan kecintaan Ibnu Kaṡīr terhadap Ibnu Taimiyyah dengan kata-kata “Beliau sangat cinta terhadapnya dan mendapatkan ujian karena cinta tersebut” (fafutina biḥubbihī wamtuḥina lisababihī). Di samping berguru kepada Ibnu Taimiyyah, Ibnu Kaṡīr juga berguru kepada Al-Żahabī, Ibnu Qāḍī Syuhbah, dan banyak ulama yang lainnya.
Adapun metode penulisan kitab tafsir ini, Ibnu Kaṡīr menjelaskannya panjang lebar dalam mukadimah. Ringkasnya, metode tafsir Ibnu Kaṡīr adalah menafsirkan dengan urut-urutan sebagai berikut,
- Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
- Menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis
- Menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir Sahabat
- Menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir Tābi‘īn
- Menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir lugawī
Penjelasan detail masing-masing poin di atas adalah sebagai berikut.
Pertama-tama Ibnu Kaṡīr menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Tentu saja metode ini adalah metode terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al-Syāfi‘ī dalam kitab Al-Risālah menegaskan metode ini sebagai metode pertama dan utama untuk menafsirkan Al-Qur’an. Alasannya, tidak ada penjelas yang lebih akurat terhadap ayat Al-Qur’an selain Al-Qur’an sendiri, mengingat apa yang disebutkan Al-Qur’an secara global dalam satu ayat kadang dijelaskan secara rinci dalam ayat yang lain. Di masa-masa selanjutnya, para ahli tafsir juga mengikuti metode ini. Jadi, metode ini adalah metode terbaik untuk menjelaskan makna ayat Al-Qur’an. Metode tafsir ini juga sangat bermanfaat untuk kajian fikih, tafsir tematik dan tafsir analitik.
Saya akan memberikan contoh manfaat besar metode tafsir ini dalam bidang fikih.
Taruh kata sekarang Anda ingin mendalami bagaimana petunjuk Al-Qur’an tentang masalah mempergauli istri dengan baik. Anda teringat ayat “wa ‘āsyirūhunna bil ma‘rūf” (pergaulilah mereka –istri-istrimu- dengan baik) dan Anda ingin mengerti bagaimana kajian fikih detail terkait topik ini melalui studi tafsir. Nah, untuk mencapai target ini maka Anda harus merujuk jenis tafsir yang pendekatannya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Silakan Anda cari tafsir ayat tersebut dalam tafsir Ibnu Kaṡīr atau tafsir dengan metode serupa (misalnya tafsir Aḍwā’u Al-Bayān karya Al-Syanqiṭī). Kumpulkan semua ayat yang dijadikan penafsir ayat itu.
Setelah ketemu, kumpulan ayat yang berhasil Anda himpun itu silakan dicari tafsir fikihnya pada tafsir-tafsir yang fokus pada penjelasan fikih seperti tafsir Al-Qurṭubī dan semisalnya. Kajian dengan gambaran seperti di atas akan semakin mendalam jika kita juga menjaring semua hadis yang ditulis dalam kitab-kitab tafsir itu, kemudian mendalami maknanya pada kitab-kitab syarah hadis. Dengan cara seperti ini, dijamin, Anda akan mendapatkan data yang melimpah dan informasi yang menakjubkan yang barangkali tidak akan Anda dapatkan bahkan pada pembahasan fikih khusus topik tersebut, apalagi hanya dengan sekedar googling.
Cara ini juga sungguh efektif dan efisien yang menunjukkan besarnya nikmat kemajuan teknologi di zaman ini. Cara ini, di zaman dulu, untuk mendapatkan data ilmu yang kita butuhkan, maka tentu saja kita harus melakukan riḥlah ke berbagai guru tafsir dengan spesialisasi masing-masing. Hari ini semua kegiatan yang melelahkan itu telah tergantikan dalam bentuk kitab yang didigitalisasi, mesin pencari yang canggih dan software kitab yang sungguh mempercepat pencarian data ilmu yang kita butuhkan. Hanya butuh ketelatenan dan ketahanan tingkat tinggi untuk meneliti supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.
Setelah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Ibnu Kaṡīr menafsirkan Al-Qur’an dan hadis. Metode ini juga sangat tepat dan sudah semestinya demikian, karena hadis Nabi ﷺ adalah penjelas Al-Qur’an. Tidak ada penjelas Al-Qur’an setelah Al-Qur’an yang lebih baik dari hadis Nabi ﷺ . Sebab, hadis Nabi ﷺ adalah wahyu sementara Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umat. Ini menunjukkan, hadis Nabi ﷺ adalah jaminan agar kita bisa memahami Al-Qur’an secara akurat.
Jumlah hadis yang dikutip Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya ada ribuan. Semua itu beliau ambil dari referensi-referensi hadis induk seperti kutub sittah (Ṣaḥīh Al-Bukhārī, Ṣaḥīh Muslim, Sunan Al-Nasā’ī, Sunan Abū Dāwūd, Sunan Al-Tirmiżī, Sunan Ibnu Mājah), Musnad Ahmad, Muwaṭṭa’ Mālik, dan lain-lain.
Kadang untuk satu ayat, beliau hanya menyebut satu hadis untuk menafsirkannya, kadang juga sampai puluhan. Tujuan beliau menyajikan banyak riwayat biasanya adalah untuk menjelaskan mana riwayat sahih, mana riwayat asing, menjelaskan lafaz garīb, dan menyaring rincian riwayat yang bisa dipegang, seperti yang beliau lakukan saat menguraikan riwayat-riwayat tentang Isrā’ Mi‘rāj. Saat beliau menyebut banyak riwayat dengan sanad berbeda, maka itu ada tujuan untuk menunjukkan kemutawatiran riwayat. Kadang beliau menyebut banyak riwayat juga untuk menunjukkan pentingnya topik tersebut seperti saat beliau menafsirkan topik dosa besar (al-kabā’ir) dan infāq fī sabīlillāh.
Kadang beliau menyebutkan riwayat daif. Tujuan menyebut riwayat jenis ini adalah untuk menegaskan kedaifannya sehingga pendapat yang didasarkan riwayat tersebut adalah marjūh, atau dengan tujuan menguatkannya (yakni dengan menyebut sejumlah syawāhid-nya) atau kadang hanya untuk menunjukkan bahwa ada ulama yang memakainya sebagai istisyhād.
Jika riwayatnya sahih, maka beliau tidak menjelaskan statusnya. Jika daif, maka beliau akan menjelaskan statusnya dengan cara menguraikan kondisi sanadnya atau kemungkaran matannya. Jika beliau tidak menjelaskan kelemahan riwayat biasanya beliau menyebut sejumlah syawahid dengan maksud menghasankannya.
Kadang riwayat daif beliau sebutkan dan mendiamkannya tanpa menjelaskan statusnya, tapi cukup menyebut sanadnya dengan menunjukkan bahwa di antara perawinya ada perawi daif. Dengan cara itu, orang akan tahu bahwa riwayat yang beliau sebut adalah daif. Untuk kasus-kasus isrā’īliyyāt, kadang beliau hanya menyebutkan perawi-perawi yang terkenal sebagai perawi isrā’īliyyāt seperti Ibnu Juraij, Muhammad bin Ka‘b, Wahb bin Munabbih dan semisalnya. Dengan begitu, akan diketahui bahwa itu riwayat isrā’īliyyāt meskipun Ibnu Kaṡīr tidak menjelaskannya. Dalam tafsir Ibnu Kaṡīr ada ribuan riwayat yang tidak dijelaskan status kualitasnya dengan lugas, tapi hanya isyarat-isyarat seperti ini.
Jika beliau menyebut garīb, maka maknanya adalah munkar. Makna hadis munkar adalah hadis daif yang tidak mungkin dikuatkan oleh riwayat apapun seberapapun banyak jalurnya. Salāmah berkata,
بعض العلماء من المتأخرين يستعملون أحياناً كلمة (غريب) للتعبير عن المنكر ، منهم ابن كثير في (تفسير القرآن العظيم) لسان المحدثين (معجم مصطلحات المحدثين) (4/ 99)
Artinya,
“Sebagian ulama mua’akhkhirin kadang-kadang menggunakan istlah garīb untuk mengungkapkan munkar. Di antara mereka adalah Ibnu Kaṡīr dalam Tafsīr Al-Qur’an Al-‘Aẓīm (Mu’jam Muṣṭalaḥāt Al-Muḥaddiṡīn, juz 4 hlm 99)
Urutan ketiga setelah menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir Sahabat. Jenis tafsir ini sangat berharga. Alasannya, para Sahabat adalah orang yang paling tahu tafsir Al-Qur’an setelah Nabi ﷺ . Selain itu, ucapan mereka terkait asbābun nuzūl juga dihukumi marfū‘. Ucapan mereka tentang hal gaib selain perkara isra’īliyyāt juga dihukumi marfū‘. Selain itu, mereka adalah generasi yang paling paham bahasa Arab, sehingga kemampuannya memahami Al-Qur’an dan menggali hukum juga paling kuat. Lagi pula sejumlah Sahabat juga mendapakan doa khusus dari Nabi ﷺ agar memahami Al-Qur’an seperti Alī bin Abū Ṭālib, Ibnu ‘Abbās dan Ibnu Mas‘ūd. Dengan gambaran seperti ini, wajar jika Ibnu Kaṡīr bertumpu pada tafsir mereka untuk menjelaskan ayat yang tidak didapati penjelasannya dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Nukilan riwayat tafsir Sahabat ini jumlahnya ribuan. Dari Ibnu ‘Abbās saja ada nukilan 1716 aṡar. Hanya saja, khusus untuk nukilan tafsir dari Ibnu ‘Abbas, kita harus hati-hati dalam menerimanya. Sebab jalur-jalur periwayatannya ada yang kuat, ada yang masih harus diteliti dan ada yang jelas lemah. Ibnu Ḥajar Al- ‘Asqalānī menjelaskan kualitas jalur-jalur tersebut secara panjang lebar dalam mukadimah kitab Al-‘Ujāb fī Bayāni Al-Asbāb.
Jalur-jalur riwayat dari Ibnu ‘Abbās yang bisa dipercaya adalah,
• Dari Mu‘āwiyah bin Ṣāliḥ dari ‘Alī bin Abū Ṭalḥah dari Ibnu ‘Abbās (ini jalur terbaik)
• Dari Qais bin Muslim Al-Kūfī dari ‘Aṭā’ bin Al-Sā’ib dari Sa‘īd bin Jubair dari Ibnu ‘Abbās
• Dari Muhammad bin Isḥāq ṣāḥibussiyar dari Muhammad bin Abu Muhammad Maulā āli Zaid bin Ṡābit dari ‘Ikrimah atau Sa‘īd bin Jubair dari Ibnu ‘Abbās
• Dari Ismā‘īl bin Abdurrahman Al-Suddī Al-Kabīr dari Abu Mālik atau Abū Ṣāliḥ dari Ibnu ‘Abbās (Al-Suddī adalah Tābi‘īn Syi‘ah. Hanya saja Muslim memakainya. Ibnu Abū Ḥatim sama sekali tidak mau memakainya, tapi Ibnu Jarīr Al-Ṭabarī mau memakainya)
Jalur riwayat dari Ibnu ‘Abbās yang masih harus diteliti adalah,
• Dari Abdul Malik bin Juraij dari Ibnu ‘Abbās. Riwayat Al-Ḥajjāj bin Muhammad bisa dipegang. Riwayat Bakr bin Sahl Al-Dimyāṭī tidak bisa dipegang
Jalur-jalur riwayat lemah dari Ibnu ‘Abbās adalah,
• Dari Al-Ḍaḥḥāk bin Muzāḥim Al-Hilālī dari Ibnu ‘Abbās. Al-Ḍaḥḥāk sendiri ṡiqah. Hanya saja riwayatnya dari Ibnu ‘Abbās munqaṭi‘.
• Dari ‘Aṭiyyah Al-‘Aufī dari Ibnu ‘Abbās
• Dari Muqātil bin Sulaimān dari Ibnu ‘Abbās
• Dari Muhammad bin Al-Sā’ib Al-Kalbī dari Abū Ṣālih dari Ibnu ‘Abbās. Ini adalah jalur yang paling lemah
Di antara semua riwayat tafsir Sahabat ini, kadang beliau menyebut riwayat lemah dari Sahabat, lalu menguatkannya dengan syawāhid syair.
Urutan keempat setelah tafsir Sahabat adalah tafsir Tābi‘īn. Tafsir mereka berharga karena mereka mengambil tafsir dari Sahabat. ‘Ikrimah, Mujāhid, Sa‘īd bin Jubair, dan ‘Aṭā’ bin Abū Rabāḥ adalah contoh Tābi‘īn yang mengambil tafsir dari Ibnu ‘Abbās. Masrūq, Murrah Al-Hamdāni, dan ‘Abīdah Al-Salmāni adalah contoh Tābi‘īn yang mengambil tafsir dari Ibnu Mas‘ūd. Abū Al-‘Aliyah adalah contoh Tābi‘īn yang mengambil tafsir dari Ubay bin Ka‘b.
Lagipula mereka, yakni para Tābi‘īn itu adalah generasi terbaik yang dipuji Nabi ﷺ setelah generasi Sahabat. Selain itu, riwayat Tābi‘īn bisa dihukumi marfū‘ jika diriwayatkan sejumlah Tābi‘īn dengan sanad sahih. Lagipula, riwayat Sahabat jika sanadnya daif, maka ia bisa dikuatkan dengan tafsir Tābi‘īn jika sanadnya sahih, terutama jika Tābi‘īn tersebut adalah murid Sahabat tadi.
Jumlah riwayat tafsir Tābi‘īn ini banyak sekali. Berlipat-lipat jumlahnya daripada tafsir Sahabat. Di Tafsir Al-Ṭabarī saja, ada 18.854 riwayat tafsir Tābi‘īn menurut perhitungan Muhammad Al-Khuḍairī dalam kitabnya; Tafsīru Al- Tābi‘īn.
Urutan kelima setelah tafsir Tābi‘īn adalah tafsir lugawī. Ibnu Kaṡīr baru menggunakan cara ini untuk menjelaskan makna Al-Qur’an jika beliau tidak mendapatkan tafsir dari Al-Qur’an, hadis, tafsir Sahabat dan tafsir Tābi‘īn. Hujah bahasa yang dipakai Ibnu Kaṡīr untuk menjelaskan bahwa adalah syair-syair Arab otoritatif seperti puisi di masa jahiliah dan di masa Islam, yakni saat bahwa Arab masih murni dan belum tercampur bahasa lain. Dari sisi kuantitas, cara penjelasan ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan menjelaskan Al-Qur’an memakai empat cara sebelumnya. Kebijakan seperti ini sudah benar karena asas tafsir memang riwayat. Jadi Ibnu Kaṡīr memposisikan tafsir lugawī hanya seperti garam dalam masakan saja. Adapun tafsir semata-mata birra’yi, yakni semata-mata pemahaman sendiri, dengan mengandalkan kemampuan bahasa Arab tanpa bertumpu pada naql atau yang dipahami dari naql maka Ibnu Kaṡīr mengatakan haram.
Inilah penjelasan metode Ibnu Kaṡīr dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Adapun jika jika ada ikhtilāf di kalangan mufassirīn, maka Ibnu Kaṡīr akan mentarjiḥ. Lafal-lafal yang beliau pakai untuk mentarjīḥ adalah al-ṣaḥīḥ, al- ṣaḥīḥ al-maqṭū‘ bihi, al- ṣaḥīḥ allażī lā syakka fīhi, al-masyhūr al-ṣaḥīḥ, al-ẓāhir, al-ṣawāb, al-ṣawāb allażī lā syakka fīhi, al-ḥaqq, al-ḥaqq allażī lā miryata fīhi, al-ḥaqq allażī lā maḥīda ‘anhu, yata‘ayyanu każā, al-wāqi‘ każā, al-rājiḥ każā, al-aẓhar, al-aulā, al-aṣaḥḥ, al-aqrab, al-asybah, al-aqwā, al-arjaḥ, al-amsyā ‘alā al-ẓahir, al-ansab, al-ajwad, ḥasan, innahū jayyid, ḥasan qawī, aṣaba, dan lā syakka anna hāżā all-lā’iq.
Adapun cara peletakan pendapat yang ditarjīḥ, biasanya Ibnu Kaṡīr meletakkan pendapat terpilih langsung di awal paragraf sebelum menyajikan ikhtilāf. Kadang disajikan ikhtilāf dulu, lalu tarjiḥ-nya diletakkan di belakang dengan diawali kata wal-ma‘nā atau wal maqṣūd. Fakta menariknya, di antara semua mufassirin, Ibnu Kaṡīr sering menguatkan tarjīh Ibnu Jarīr Al-Ṭabarī.
Referensi Ibnu Kaṡīr saat menyusun tafsir ini sangat banyak, lebih dari 250 sumber. Perhitungan Ismā ‘īl ‘Abdu Al- ‘Āl, referensi yang dipakai Ibnu Kaṡīr untuk menyusun tafsirnya mencapai 241 sumber.
Adapun karya-karya yang lahir dari tafsir Ibnu Kaṡīr, maka jumlahnya banyak. Ada yang berupa mukhtaṣar, ḥāsyiyah, indeks hadis, studi terhadap karya dan lain-lain.
Di antara mukhtaṣarnya adalah Al-Badru Al-Munīr Al-Mulakhkhaṣ min Tafsir Ibni Kaṡīr karya Al-Kāzurūnī (w. 758 H, ‘Umdatu Al-Tafsīr karya Ahmad Muhammad Syākir, Taisīru Al-‘Alī Al-Qadīr li Ikhtiṣari Tafsīri Ibni Kaṡīr karya Muhammad Nasīb Al-Rifā‘ī, Mukhtaṣar Tafsir Ibni Kaṡīr karya ‘Alī Al-Ṣābūnī, Al-Taisīr Khulāṣatu Tafsir Ibni Kaṡīr karya Muhammad Karīm Rājiḥ, Lubāb Al-Tafsīr min Ibni Kaṡīr/ karya Abdullah Ālu Al-Syaikh, Fatḥu Al-Qadīr Tahżību Tafsir Ibni Kaṡīr karya Muhammad Ahmad Kan‘ān, Al-Miṣbāḥ Al-Munīr fī Tahżībi Tafsir Ibni Kaṡīr dengan supervisi Ṣafiyyurraḥmān Al-Mubārakfūrī, dan lain-lain. ‘Umdatu Al-Tafsīr karya Ahmad Muhammad Syākir memiliki keistimewaan, yakni membuang isrā’īliyyāt, hadis-hadis daif, dan hadis-hadis sahih yang berulang.
Untuk karya berupa ḥāsyiyah, yang dikenal adalah kitab berjudul Al-‘Ilmu Al-Gazīr fī Tafsir Ibni Kaṡīr karya Al-Zar ‘ī (w. 774 H). Ada juga yang membuat indeks hadisnya seperti kitab Fihris Aḥādiṡ Tafsīr Al-Qur’an Al-‘Aẓīm karya Yusuf Abdurrahman Al-Mar‘asylī, Muhammad Salīm Ibrāhīm Samārah, dan Jamāl Ḥamdī Al-Żahabī.
Banyak juga yang melakukan studi terhadap Ibnu Kaṡīr dan tafsirnya. Di antaranya, tesis Maṭar Al-Zahrāni di Universitas Ummul Qurā yang berjudul Al-Imām Ibnu Kaṡīr Al-Mufassir, tesis Sulaiman Al-Lāḥim di Universitas Al-Imam Muhammad ibnu Su‘ūd Al-Islāmiyyah yang berjudul Manhaj Ibni Kaṡīr fī Al-Tafsīr, Ibnu Kaṡīr wa Manhajuhū fi Al-Tafsīr karya Ismā‘īl ‘Abdul ‘Āl, ḥayātu Ibni Kaṡīr wa Kitābuhū Tafsīru Al-Qur’an Al-‘Āẓīm karya Muhammad Al-Fāliḥ, Ibnu Kaṡīr Al-Dimasyqī karya Muhammad Al-Zuḥailī, dan lain-lain.
Adapun manuskripnya, kita bisa menemukannya disejumlah tempat. Di antaranya, Perpustakaan Markaz Al-Malik Faiṣal li Al-Buhūṡ wa Al-Dirāsāt Al-Islāmiyyah di Riyaḍ; Saudi Arabia, Al-Maktabah Al-Markaziyyah bi Jami’ati Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah di Riyadh; Saudi Arabia, Markaz Al-Makhṭūṭāt wa Al-Turāṡ wa Al-Waṡā’iq di Kuwait, Al-Khizānah Al-Malikiyyah (Al-Ḥasaniyyah) di Ribāṭ; Maroko, Maktabah Al-Ẓahiriyyah di Damaskus; Suriah, Maktabah Ahmad Al-Ṡaliṡ di Turki, Al-Maktabah Al-Sulaimāniyyah di Istambul; Turki, Museum Aya Sofia di Istanbul; Turki, dan lain-lain.
Adapun penerbit yang pernah mencetaknya, di antaranya adalah Maṭba‘ah Al-Manār di Mesir tahun 1343 H, Maṭba‘ah Al-Istiqāmah di Kairo tahun 1373 H, Al-Maktabah Al-Tijāriyyah Al-Kubrā di Kairo tahun 1373 H, Dār Al-Andalus di Beirut tahun 1385 H, Dār Iḥyā’ Al-Turāṣ Al-‘Arabī di Beirut tahun 1388 H, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah di Beirut tahun 1406 dengan editor Ḥusain bin Ibrāhīm Zahrān, Dār Al-Ma‘rifah di Beirut tahun 1407 H, Maktabah Al-Riyāḍ Al-Ḥadīṡah di Riyāḍ tahun 1407 H, Dār Al-Da‘wah di Istanbul tahun 1408 H, Dār Al-Rayah di Al-Riyāḍ tahun 1414 H dengan takhrīj Muqbil bin Hādī Al-Wadā‘ī, Dār Al-Salām di Al-Riyāḍ tahun 1414 H, Dār Ibn Al-Jauzī di Al-Dammām tahun 1417 H dengan tahkik Abū Isḥaq Al-Ḥuwainī, Dār Ṭaibah di Al-Riyāḍ tahun 1418 H dengan tahkik Sāmi bin Muhammad Salāmah, Būlāq, Dār Al-Sya‘bi di Kairo (dengan tahkik Abdul Aziz Gunaim, Muhammad Ahmad ‘Āsyūr, Muhammad Ibrāhīm Al-Bannā), Dār Ibn Ḥazm, Dār Al-‘Irfān di Kuwait, Dār Al-Fikr di Libanon, Dār Iḥyā’ Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, dan lain-lain.
Dār Ibn Al-Jauzī di Al-Dammām mencetak tafsir Ibnu Kaṡīr tahun 1417 H dengan tahkik Abū Isḥaq Al-Ḥuwainī dalam 7 jilid dengan jumlah halaman total hampir 5000-an halaman. Tahkik Abu Isḥāq Al-Ḥuwainī terhadap tafsir Ibnu Kaṡīr layak mendapatkan perhatian karena beliau mengajarkan tafsir tersebut selama 20 tahun.
رحم الله ابن كثير رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين