Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ketika Nabi Yusuf bermimpi melihat matahari, bulan dan 11 bintang bersujud kepada beliau, lalu mimpi itu diceritakan kepada ayahnya, yakni Nabi Ya’qub, segera saja nabi Ya’qub menyadari bahwa putranya itu istimewa dan akan mendapakan anugerah besar dari Allah. Namun, Nabi Ya’qub juga tahu potensi bahayanya. Resiko yang paling tampak adalah kedengkian saudara-saudaranya atas keistimewaan Nabi Yusuf itu, sementara kedengkian itu bisa saja mengarah pada upaya membinasakan Nabi Yusuf. Oleh karena itu, Nabi Ya’qub mewanti-wanti supaya mimpi itu tidak diceritakan. Nasihat Nabi Ya’qub itu diceritakan Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut,
Artinya,
“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.” (Q.S.Yusuf: 5)
Ibrah yang luar biasa.
Demikianlah seharusnya hamba saleh dalam menyikapi nikmat itu.
Tidak semua nikmat itu bisa diceritakan dan harus diceritakan.
Sebab, menceritakan nikmat itu disamping bisa menggiring pada ujub, pamer, riya’ dan sum’ah, ia juga bisa memicu keburukan lain yakni mengundang para pendengki!
Ujub, riya’ dan sum’ah saja sudah sangat berbahaya. Sifat-sifat hina itu bisa membuat Allah benci, membuat kita diuji dengan ujian berat, dan juga bisa menghancurkan amal saleh. Mengundang para pendengki juga tindakan yang sangat tidak bijaksana, karena berpotensi membuat kita sengsara dan mendapatkan ujian kesusahan di dunia ini. Jadi sifat pamer dan gemar menceritakan nikmat itu benar-benar sangat berbahaya karena bisa menyengsarakan di dunia maupun di akhirat.
Ada jenis-jenis nikmat yang umumnya tidak mengundang pendengki saat diceritakan, seperti nikmat sembuh dari Covid-19, nikmat selamat dari terkaman hewan buas, atau nikmat punya anak setelah belasan tahun tidak punya anak. Tetapi, ada banyak sekali nikmat duniawi maupun ukhrawi yang jika diceritakan bisa membuat orang sakit hati, iri, bahkan dengki yang sampai level berdoa atau bahkan berupaya menghilangkan nikmat itu dari kita! Jangankan nikmat-nikmat penuh pendengki, nikmat yang umumnya tidak mengundang para pendengki sekalipun (seperti nikmat punya anak atau nikmat bisa menikah atau nikmat lulus kuliah), bagi sebagian orang tetap bisa menimbulkan sakit hati dan membuat benci.
Nasihat Nabi Ya’qub sangat berharga bagi kita. Nasihat beliau menunjukkan kepada kita bahwa tidak semua nikmat itu bisa diceritakan. Meski nikmat ukhrawi sekalipun. Nabi Yusuf menceritakan nikmat itu kepada Nabi Ya’qub untuk mendapatkan nasihat, tetapi nikmat itu dilarang diceritakan kepada saudara-saudaranya. Ini sudah memberi pelajaran penting kepada kita untuk bijaksana kapan menceritakan sebuah nikmat dan kapan tidak.
Ada jenis nikmat yang tidak perlu diceritakan, bahkan kepada saudara dan kerabat dekat sekalipun!
Jangankan menceritakan nikmat. Sudah berusaha keras menyembunyikan nikmat, lalu terjadi hal-hal yang di luar kuasa kita (sehingga nikmat itu terpaksa diketahui orang) saja masih memungkinkan untuk mengundang para pendengki. Apalagi jika sampai sengaja diceritakan.
Bahaya akhirat yang paling besar mengintai adalah ketika tidak kuat menghadapi ujian sebagai akibat ulah para pendengki itu. Sebab, bisa jadi Allah mengabulkan harapan para pendengki dengan maksud menebus dosa kita, mengigatkan kita agar bertaubat atau dengan maksud menaikkan derajat kita di sisiNya.
Lihatlah Nabi Yusuf.
Saudara-saudaranya tidak tahu nikmat besar yang akan diberikan Allah kepada beliau. Mereka hanya merasakan ayahnya lebih sayang kepada Nabi Yusuf dan tahu berita mimpi itu dari jalan lain. Itu saja sudah cukup bagi mereka untuk membuat rencana jahat, yakni membunuh Nabi Yusuf yang kemudian dikoreksi menjadi membuang Nabi Yusuf untuk memisahkan beliau dengan Nabi Ya’qub.
Lihatlah.
Tidak pamer dan tidak menceritakan nikmat saja masih memungkinkan orang diuji dengan kesengsaraan ketika orang lain tahu nikmat yang kita rasakan.
Dalam kisah ini juga tampak bagaimana Allah meluluskan keinginan para pendengki!
Nabi Yusuf harus menderita dihina saudaranya, dibanting, dipukul, diludahi, lalu dimasukkan ke dalam sumur tanpa harus mengerti apa kesalahannya.
Sakit… sakit sekali jika kita dimusuhi orang hanya karena nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Apalagi yang memusuhi itu adalah kerabat sendiri!
Nabi Yusuf harus menderita bukan sehari atau dua hari, bukan sebulan atau dua bulan, tapi puluhan tahun hanya karena faktor kedengkian ini.
Lalu perhatikan juga, ujian kesengsaraan itu bukan hanya dirasakan oleh orang yang mendapatkan nikmat secara langsung, tetapi juga orang dekat kita yang ikut merasakan cipratan nikmat secara tidak langsung. Nabi Ya’qub harus merasakan ujian kesengsaraan terpisah dengan anak yang paling dicintainya, sampai harus sering menangis, bahkan sampai buta mata beliau karena sedih mengenang Nabi Yusuf.
Jadi, kejahatan para pendengki itu bisa jadi efeknya sampai level menyakiti bukan hanya kita yang mendapat nikmat, tetapi juga orang-orang terdekat kita yang kita cintai, yang tidak tahu apa-apa terhadap kedengkian itu.
Masalahnya adalah tidak semua dari kita yang punya ketabahan, iman dan keteguhan hati selevel nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf. Memang benar, jika orang kuat ujian pendengki maka Allah akan menaikkan derajatnya secara drastis dan luar biasa. Masalahnya, bagaimana jika kita tidak sekuat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub? Bagaimana jika kita tidak bisa sabar dan tabah? Bagaimana jika akhirnya kita mengeluh, mengucapkan kata-kata buruk, lemah ibadah, bahkan mulai berani menyalahkan takdir dan protes kepada Allah? Bukankah itu awal kebinasaan? Bukankah itu awal hancurnya seluruh amal? Bukankah itu bisa membuat Allah murka yang berakibat seluruh nikmat kita dicabut? bukankah itu bahkan bisa membuat kita jatuh ke dalam kekufuran?
Sunggung mengherankan jika setelah orang tahu ilmu ini lalu dia masih gemar pamer tanpa bisa mewaspadai bahaya-bahayanya.
Jadi, bukankah indah untuk senantiasa tawaduk, humble, low profile, tidak pamer, menghindari riya’ dan menjauh dari sum’ah?
Anda tetap bisa menikmati nikmat Allah itu, kenikmatan Anda tidak berkurang, Anda selamat dari para pendengki, tidak diuji dengan kesengsaraan, bahkan bisa mendapatkan tambahan nikmat jika pandai bersyukur.
CATATAN
Agar tidak keliru konsep tahadduts bin ni’mah yang sering dijadikan topeng untuk pamer, riya’ dan sum’ah, silakan dibaca artikel saya yang berjudul Apa Makna Ayat “Wa Amma Bini’mati Robbika Fahaddits”?
Credit: Fanspafe Al-Tadqīq Al-Lugawī