Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Tembok:
“Paku, paku..mengapa engkau menyakitiku? Aku tidak berbuat jahat kepadamu, tidak pernah mengganggumu dan tidak pernah ikut campur dalam kehidupanmu, lalu mengapa engkau menikamku, melukaiku, dan merusak keindahanku? Sakit tahu..kejam engkau paku..!
Paku :
“Wahai tembok. Jangan terburu menyalahkan aku. Apakah engkau mengira aku juga enak-enakan saat tubuhku menghunjam merobek dirimu? Aku juga kesakitan. Apakah engkau menyangka dihantam kepalaku berkali-kali juga enak? Tidak tembok. Bukan aku yang menyakitimu. Palu-lah yang bertanggung jawab. Dia yang menghantam kepalaku sampai harus melukaimu.
Palu :
“Wahai paku dan tembok, sabar dulu. Aku juga seperti kalian. Posisiku hanyalah mengikuti gerakan tangan yang memegangku. Aku juga merasakan sakit karena harus beradu kepala dengan paku”
Tangan :
“Kawan-kawan semua. Aku juga demikian. KEHENDAK pemilik tanganlah yang membuat aku harus bergerak. Sungguh, aku sama sekali tidak punya kuasa melawan KEHENDAK.
Jadi siapakah yang salah?
Tentu saja tidak ada yang salah. Semua benar. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun jika dia sendiri dipaksa dalam kondisi tertentu yang dia mustahil bisa mengubahnya.
Bagi saya ini adalah di antara perumpamaan terindah untuk memahami konsep dasar takdir.
Di balik sakitnya tembok, paku, palu dan tangan ada harmoni yang indah. Ada yang disatukan, direkatkan, dikuatkan, dan difungsikan. Akhirnya muncullah struktur yang indah dan manfaat yang luar biasa.
Sama seperti saat kita melihat rantai makanan.
Saat tikus dimakan ular, barangkali tikus juga merasa sedih. Kenapa dia harus mati dengan cara setragis itu? Mengapa hidupnya harus berakhir di perut ular? Mengapa dia harus merasakan remuknya tulang saat dibelit ular, sesaknya napas saat berada di mulut, dan panasnya tubuh serasa terbakar saat disemprot cairan lambung penghancur tubuh? Mengapa dia harus merasakan kematian yang sengsara dengan tubuh berkelojotan saat sekarat disantap ular? Mengapa dia tidak terjamin mati dengan damai di bawah pohon, dengan tersenyum dan bahagia meninggalkan dunia?
Tapi ular sendiri juga bisa bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Mengapa dia harus mati dengan cara disambar burung elang? Mengapa dia harus merasakan dibawa terbang melayang tinggi, dibanting di atas tanah, lalu dicabik-cabik tubuhnya sehingga dia perlu merasakan tiap inci tubuhnya dilukai bagaikan diiris-iris pisau dengan darah bercucuran? Mengapa dia tidak dijamin mati dengan damai dalam lubang yang hangat berselimut jerami dengan ditemani kawan-kawan yang baik dan anak keturunan yang penyayang?
Tapi, jika kita ingin menyalahkan ular, bagaimana jalannya? Bukankah ular saat menyantap tikus juga hanya sekedar mencari makan untuk bertahan hidup? Burung elang saat memakan ular bukankah juga hanya mencari makan?
Lebih dalam lagi; Bukankah mereka juga tidak meminta menjadi tikus, ular dan elang? Bukankah mereka hadir di dunia ini tanpa pilihan dan dipaksa begitu saja untuk hadir dalam kehidupan ini?
Apakah relevan bertanya salah dan benar pada kasus yang memang satu makhluk tidak kuasa untuk menghindarinya?
Beginilah kira-kira makna iman terhadap takdir itu.
RELA DENGAN TAKDIR ALLAH
Kita semua hadir di dunia ini dengan sejumlah takdir yang tidak bisa kita hindari. Ada yang dijadikan laki-laki dan ada yang dijadikan perempuan. Ada yang dibuat lahir di Indonesia dan ada yang dibuat lahir di Eropa. Ada yang dibuat lahir di keluarga pejabat dan ada yang dibuat lahir di keluarga rakyat jelata. Ada yang dibuat berkulit putih dan ada yang dibuat berkulit hitam. Ada yang dibuat berambut lurus dan ada yang dibuat berambut keriting. Ada yang dibuat wajahnya cantik, ada yang dibuat wajahnya tak cantik. Ada yang dibuat cerdas dan ada yang dibuat idiot. Ada yang dibuat waras dan ada yang dibuat gila. Ada yang dibuat sempurna tubuhnya dan ada yang dibuat cacat. Ada yang dibuat lahir di keluarga muslim ada yang dibuat lahir di keluarga non muslim dan seterusnya.
Tidak ada yang pernah merasa diberi pilihan untuk mendapatkan kondisi-kondisi itu. Tidak ada yang pernah merasa mengajukan proposal untuk mendapatkan situasi-situasi tersebut. Semuanya sudah dipaket, ditentukan, disetting dan ditetapkan tanpa bisa diubah lagi. Itulah takdir Allah.
Orang beriman wajib percaya takdir. Belajar menerima apapun dari Allah. Entah itu manis ataupun pahit. Belajar rela dengan semua ketentuan Allah yang diberikan kepadanya. Belajar selalu husnuzan bahwa ketetapan Allah untuk dirinya pastilah yang terbaik. Tidak bisa kita menyalah-nyalahkan makhluk lain yang dia sendiri juga tidak sanggup keluar dari kondisi yang telah ditetapkan untuknya. Kita harus meyakini bahwa semua ketetapan itu pada hakikatnya hanyalah untuk menguji kita.
Ambil kasus Engeline dari Bali itu.
Siapa juga yang mau mati dengan cara tragis seperti yang dialami Engeline?
Sebelum dia lahir, bukankah dia juga tidak ditawari untuk lahir di keluarga miskin, lalu diadopsi, lalu diasuh dengan perlakuan yang tidak layak, di usia 8 tahun dibebani pekerjaan rumah layaknya pembantu (menyapu, mengepel, mencuci, memberi makan piaraan), makanan tidak terjaga, pulang pergi sekolah 2 KM berjalan kaki, sampai akhirnya tewas dengan cara dijambak, kepalanya dibenturkan ke lantai, diinjak, disundut rokok, lalu dikubur setengah hidup?
Tidak ada orang normal yang ingin mati dengan cara demikian. Demikian pula Engeline. Ini perkara yang juga tidak bisa dihindari oleh Engeline. Tetapi Rasulullah ﷺ telah mengabarkan bahwa anak seperti Engeline itu kelak di akhirat pasti masuk surga, karena dia wafat saat masih kecil.
Walaupun demikian, tetap ada unsur ujian di sini. Pelaku pembunuhan tetap harus dihukum. Akhirnya semua bekerja. Penegak hukum diuji apakah bisa menyelesaikan kasus ini seadil-adilnya. Para saksi diuji apakah bisa bersaksi sejujur-jujurnya. Pembuat aturan diuji apakah bisa merumuskan aturan untuk mencegah adopsi yang berujung tindakan kriminal. Tetangga diuji apakah mulai peristiwa itu bisa lebih peduli lagi dengan apa yang terjadi pada tetangganya. Pemerintah diuji bisakah menyelesaikan kemiskinan yang menyebabkan dampak negatif, dan seterusnya.
Demikianlah takdir itu. Allah menentukan dan Allah menguji amal hamba dengan cara yang dikehendakiNya.
Hanya saja, takdir itu bermacam-macam.
Ada takdir yang ditetapkan 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.
Ada takdir yang ditetapkan saat ruh ditiupkan pada janin.
Ada takdir yang ditetapkan tiap tahun.
Ada yang tidak bisa diubah dan ada yang bisa diubah.
Dan takdir-takdir lain yang hanya Allah yang tahu dan atau tidak diberitahukan kepada kita, baik yang sudah terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi.
Perintah kepada kita adalah mengimani semua takdir itu. Bukan mendalami rincian takdir. Allah berfirman,
Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
dari ‘Ali dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mengimani empat hal: Bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan aku adalah Muhammad utusan Allah yang Dia utus dengan membawa Al Haq (kebenaran), beriman kepada adanya kematian, beriman kepada adanya hari kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir.” (H.R. Al-Tirmiżī)
Wallahua’lam
***
13 Rabi’ul Akhir 1442 H