Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika ada ulama yang menulis kitab atau bab kitab bertema Faḍlul Ginā (keutamaan kaya), maka jangan lantas dipahami muslim itu HARUS kaya.
Sebaliknya,
Jika ada ulama yang menulis kitab atau bab kitab bertema Faḍlul Faqr (keutamaan miskin), maka jangan lantas dipahami muslim itu HARUS miskin.
Itu semuanya bentuk salah paham dan salah kaprah.
Luas dan sempitnya rezeki itu semuanya kehendak Allah.
Allah berfirman,
Artinya,
“Sesungguhnya Tuhanmu yang meluaskan dan menyempitkan rezeki kepada siapapun yang dikehendakinya.” (Al Isra: 30)
Sebagian ulama membuat karangan yang menunjukkan keutamaan kaya itu untuk menunjukkan bahwa harta pun bisa menjadi kendaraan untuk mendekat kepada Allah jika tahu ilmunya. Dengan begitu, mereka yang kaya tetap rida dengan takdir kekayaannya, sadar dengan amanahnya dan optimis bisa mendapat rida Allah meski mereka tahu mayoritas penghuni surga bukan orang kaya.
Sebaliknya, jika sebagian ulama membuat karangan yang menunjukkan keutamaan miskin, maka itu dimaksudkan agar mereka yang ditakdirkan sempit rezekinya tahu bahwa kemiskinanpun juga bisa menjadi kendaraan untuk mendekat kepada Allah. Bahkan kendaraan yang sangat cepat asal tahu ilmunya. Dengan begitu, mereka yang miskin tetap rida dengan takdir kemiskinannya, qanā‘ah dengan pemberian Allah, dan semangat berjalan menuju Allah karena dia tahu kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang yang dulu miskin di dunia.
Karena itulah sepanjang sejarah selalu saja ada hamba-hamba saleh yang dibuat Allah kaya dan ada yang dibuat miskin.
Nabi pun juga ada yang kaya dan ada yang disempitkan rezekinya.
Saat Nabi Ayyub diuji kekayaan, maka itu bukan karena kecanggihan rencana bisnisnya atau karena banyak sedekah. Saat beliau diuji musibah dan habisnya harta, maka itu bukan karena kemalasan atau kikir dalam sedekah.
Islam itu agama amal.
Bukan agama yang mengajak miskin atau mengajak kaya.
Kita diperintahkan beramal semaksimal dan sesempurna mungkin yang disebut dalam bahasa dalil dengan istilah ihsan dan itqan.
Termasuk mencari nafkah.
Sudut pandangnya amal dalam rangka memburu rida Allah.
Bekerja semaksimal, sesempurna, semutqin dan seprofesional mungkin sesuai bakat, skill dan ketrampilan masing-masing, lalu hasilnya diserahkan kepada Allah.
***
22 Sya’ban 1442 H