Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Seorang muslim itu mungkin saja marah kepada muslim lainnya, kecewa, sakit hati, bahkan benci dan dendam!
Tapi kalau sampai memusuhi jangan.
Sebab musuh hakiki bagi seorang muslim sebagaimana ajaran Allah adalah Iblis dan setan.
Ciri seseorang sudah menjadi musuh adalah gembira saat musuhnya BINASA.
Kata musuh (العدو) sendiri dalam bahasa Arab dipakai untuk orang yang menginginkan kebinasaan kita.
Jadi, jika Anda membeci orang sampai level bahagia saat dia mati atau binasa atau sengsara seumur hidup, maka Anda sudah memperlakukannya sebagai musuh.
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ berlindung syamātah (الشماتة) musuh, sebab syamātah itu bermakna kegembiraan atau sorak sorai orang yang tahu musibah atau kebinasaan musuhnya.
Orang saleh di masa lalu selalu diuji dengan marah, sakit hati, kecewa bahkan benci dan dendam kepada muslim lainnya. Tapi tidak sampai levelnya seperti musuh.
Jadi, saat yang dibencinya wafat, lisannya tetap baik mendoakan. Tidak sampai “mengkapokkan”.
Bisa saja dua orang beriman di dunia saling marah atau diuji kebencian satu sama lain, tapi di sisi Allah keduanya mulia sehingga keduanya nanti akan dimasukkan Allah ke surga, lalu Allah mencabut perasaan tidak nyaman tersebut sehingga mereka di surga full bersaudara dan saling mencintai!
Itulah yang pernah diharapkan Ali bin Abū Ṭālib terkait sikap beliau terhadap al-Zubair bin al-‘Awwām yang memerangi beliau. Ali tahu al-Zubair kecewa dengan sikap politiknya sampai level memeranginya. Tapi Ali juga tahu bahwa al-Zubair sudah dijamin Allah masuk surga sebagaimana dirinya juga mendapat kabar gembira masuk surga. Akhirnya beliau tahu bahwa perasaan kecewa atau bahkan kebencian itu hanyalah ujian di dunia, sementara di akhirat Allah tetap rida terhadap keduanya sehingga beliau berkata yang maknanya, “Sungguh aku berharap antara aku dengan al-Zubair bin al-‘Awwām akan dikumpulkan bersama-sama di surga dan yang dimaksud dalam ayat ini,
Artinya,
“Aku cabut rasa dendam dari dalam dada mereka, (mereka tinggal di surga yang) mengalir di bawah mereka sungai-sungai. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami.” (Q.S.Al-A’rāf; 43)
Seperti itulah seharusnya saat kita melihat dua ulama atau dua orang saleh yang lahirnya selama di dunia seperti saling benci tapi terlihat mengajarkan ilmu-ilmu bermanfaat dan memberi teladan-teladan hidup luar biasa. Kita tetap menghormati mereka, mengambil ilmu dari mereka lalu memalingkan diri dari perselisihan pribadi mereka seraya menyerahkan urusan itu kepada Allah. Kita tetap menjaga husnuzan bahwa beliau berdua mulia di sisi Allah.
Kasus yang sama bisa juga dipraktekkan pada suami-istri atau mantan suami-istri.
Catatan:
Beberapa ayat atau hadis kadang memakai lafal ‘aduww/musuh secara majasi. Misalnya istri atau anak diperingatkan Allah bisa menjadi musuh, maknanya jika seorang hamba bersenang-senang dengan anak dan istri sampai melalaikan Allah dan hari akhir, bahkan selalu menuruti mereka sampai menyeret ke maksiat, berarti anak dan istri menjadi sebab orang binasa dan masuk neraka sehingga seakan-akan mereka disebut musuh dari sisi ini.
***
22 Żulqa‘dah 1442 H