Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Hati yang paling disukai Allah adalah hati yang menghimpun antara rajā’ (الرجاء) dengan khauf (الخوف). Makna rajā’ adalah harapan atau optimisme. Makna khauf adalah rasa takut atau kekhawatiran. Harapan atau optimisme yang dimaksud adalah optimis Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang sehingga terus bersemangat memperbaiki diri, bertaubat dan beramal saleh meskipun dosanya menggunung dan sering jatuh bangun dalam ketaatan kepada Allah. Maksud rasa takut atau kekhawatiran adalah selalu takut Allah menghukum tiba-tiba karena dosa-dosa yang ia lakuan dan selalu khawatir amalnya tidak diterima karena mengetahui betapa terjalnya jalan agar amal diterima Allah.
Jadi, dalam perjuangan melakukan ketaatan kepada Allah dan melawan dorongan maksiat, mukmin sejati selalu berharap Allah merahmatinya tapi pada saat yang sama juga takut Allah marah kepadanya.
Mukmin sejati tidak berani hanya optimis saja, sebab hidup full rajā’/optimis adalah cara hidup Nasrani dan Yahudi, sebab mereka karena saking yakinnya Tuhan Maha Pengasih sampai menjadi ge-er dan merasa sebagai kekasih Allah yang pasti akan dimasukkkan ke dalam Surga. Mereka mengabaikan Allah itu juga punya sifat al-Muntaqim (Maha Membalas) dan Syadīdul ‘Iqāb (keras siksaNya)
Dia juga tidak berani hanya takut saja, sebab hidup full khauf saja adalah cara hidup sekte Khawarij Ḥarūrī. Saking dominannya rasa takut mereka, sampai-sampai maksiat apapun bagi mereka sudah dianggap membuat kafir! Tidak heran, sekte ini adalah sekte yang terkenal mudah mengkafirkan muslim lain.
Demikianlah. Jika kita kumpulkan dalil-dalil Al-Qur’an maupun hadis yang berkaitan dengan topik ini, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa kondisi hati yang paling disukai Allah adalah hati yang menggabung antara rajā’ dengan khauf. Bukan rajā’ saja, dan bukan khauf saja.
Malahan, ada hadis khusus yang memuji hal ini, yakni menggabung rajā’ dengan khauf. Al-Tirmiżī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Anas bahwa Nabi ﷺ menjenguk seorang anak muda menjelang kematiannya, beliau bertanya: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Wahai Rasulullah, aku mengharap (rahmat) Allah, namun aku juga takut akan dosa-dosaku.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah dua hal (khauf dan raja’) terkumpul dalam jiwa seorang hamba pada keadaan seperti ini, kecuali Allah akan mengabulkan apa yang dia harapkan dan memberikan keamanan dari apa yang dia takutkan.” (H.R. al-Tirmiżī)
Dalam hadis di atas diceritakan Rasulullah ﷺ menjenguk seorang pemuda yang sudah mendekati ajalnya. Rasulullah ﷺ menanyakan bagaimana perasaannya. Dengan jujur, pemuda itu mengatakan bahwa dirinya takut Allah menghukumnya karena dosa-dosanya, tapi pada saat yang sama dia yakin bahwa Allah rahmat-Nya sangat luas dan Maha Pengampun. Jadi, dia tetap punya harapan Allah menerima sebagian amalnya (yang dia lakukan dengan ikhlas saat masih sehat), sehingga dengan itu Allah berkenan memaafkan dosa-dosanya itu. Dengan jawaban ini ternyata Rasulullah ﷺ gembira dan menjelaskan bahwa hamba yang memiliki hati seperti itu, maka Allah akan menghargai husnuzannya kepada Allah sehingga menjamin akan dimaafkan semua dosa-dosanya. Ketika Rasulullah ﷺ memberitahu Allah mengabulkan harapannya dan mengamankannya dari siksa, hal ini menunjukkan Allah rida. Jika Allah rida, berarti hati yang terbaik yang disukai Allah adalah hati yang menggabung antara rajā’ dengan khauf.
Hanya saja, menjelang wafat hendaknya rajā’ didominankan. Khauf harus tetap ada tetapi rajā’ harus didominankan karena Rasulullah ﷺ memerintahkan husnuzan kepada Allah jika sudah menjelang wafat. Contoh husnuzan kepada Allah menjelang wafat bisa dibaca dalam artikel saya yang berjudul “Contoh Berbaik Sangka Kepada Allah Menjelang Wafat”.
Berbeda jika masih sehat dan segar bugar, meskipun hati harus mengabung antara rajā’ dengan khauf, tapi khauf harus lebih dominan agar semangat ketaatan lebih tinggi dan jauh dari tipuan setan. Sebab rajā’ itu agak tipis dengan gurūr (ketertipuan). Oleh karena itu, di masa amal, khauf harus didominankan daripada rajā’.
Bahkan dalam urusan duniawi sekalipun, yang terbaik tetap menggabungkan antara optimisme dan kekhawatiran. Optimis bahwa Allah Maha Kuasa memberi nikmat duniawi yang kita inginkan, tapi pada saat yang sama juga harus sadar bahwa Allah Maha Kuasa tidak memberikannya kepada kita jika itu yang terbaik. Optimis saja keliru karena itu bermakna seolah-olah kita yang menjadi penguasa di alam semesta ini, juga mengesankan seolah-olah kitalah pemegang kunci takdir. Pesimis saja juga keliru karena bermakna buruk sangka kepada Allah dan tidak mengimani bahwa Allah itu sangat berkuasa berbuat apapun yang dikehendaki-Nya.
Oleh karena itu, pada kasus dua orang yang hendak menikah, yang sudah melewati proses ta’aruf bahkan sudah melaui proses khitbah/pinangan, lalu meminta nasihat kepada saya biasanya akan saya nasihatkan kepada mereka begini,
“Milikilah hati yang menggabungkan antara rajā’ (optimis) dengan khauf (khawatir). Jangan pernah membayangkan bahwa pernikahan ini PASTI akan terjadi. Sebab Allah benci dengan hamba-Nya yang merasa aman dari rencana-Nya. Merasa aman dari makrullāh (rencana Allah) termasuk salah satu dosa besar.
Siapa yang menjamin kalian bisa berlanjut sampai akad nikah? Tidak ada. Sudah banyak cerita bagaimana orang sudah tinggal satu sentimeter berakad nikah, lalu Allah mengagalkan rencananya dan menghancurkan istana mimpinya dengan sebab apapun yang dikehendaki-Nya.
Ada kenalan yang sudah hendak berakad nikah. Sehari sebelum akad nikah, calon istri beliau mengambil undangan dari tempat cetak. Tak disangka dalam perjalanan pulang beliau ditabrak kendaraan dari belakang. Wafatlah beliau. Akhirnya kegembiraan berubah menjadi duka. Kurang besar apa ayat yang menunjukkan kuasa Allah yang tidak bisa dibatasi seperti ini?
Oleh karena itu, mekipun secara logika kalian sudah hampir pasti mendapatkan dunia, tetap sadarilah bahwa Allah tetap berkuasa menggagalkan rencana kita. Jadi, jangan sampai lengah dan jangan sampai merasa aman dari rencana Allah. Banyak-banyak istighfar, bertasbih dan beramal saleh, agar Allah tidak menghukum kita karena dosa-dosa kita di masa lalu yang tidak kita ketahui, atau menguji kita dengan kesusahan yang tidak bisa kita tanggung.
Tapi jangan full takut dan kuatir. Ini juga keliru. Allah itu Maha Kaya. Maha Memberi. Dunia terlalu remeh bagiNya. Bahkan sangat hina disisi-Nya. Allah sudah mengizinkan kalian ta’aruf dan bahkan sudah sampai tahap khitbah. Artinya, sudah ada tanda-tanda gembira bahwa dunia yang kalian harapkan akan diberikan-Nya. Sekarang tinggal bertawakal saja seraya tetap yakin dengan rahmat Allah, bahwa jika dunia yang hendak kalian dapatkan itu memang diberikan-Nya, insya Allah itu yang terbaik untuk kalian dan kalian punya tugas untuk bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya setelah nikmat itu didapatkan nanti.
Ingat pula dan jadikan pelajaran. Biasanya seorang hamba itu sebelum mendapatkan nikmat menikah, dia diuji dengan berbagai rintangan, kerikil, sampai batu-batu besar. Jadi sebelum diizinkan menikah, dia diberi ujian-ujian dulu agar berjuang sampai akhirnya berhasil. Seakan-akan dengan ujian ini Allah hendak menasihati kita,
“Lihatlah! Hanya untuk memperoleh dunia saja sesusah itu perjuangannya. Hanya untuk mendapatkan suami atau istri saja sampai harus “berdarah-darah” seperti itu. Lalu apakah kalian menyangka untuk menjadi kekasih-Ku, kalian bisa mendapatkannya hanya dengan bersantai-santai dan berleha-leha?”
Prinsip ini berlaku untuk semua hajat duniawi. Bukan hanya pernikahan, tapi dalam segala hal seperti mendapatkan keturunan, pekerjaan, kesehatan, jabatan, posisi, kenalan, rumah, tanah dan lain sebagainya.
***
13 Zulhijah 1442 H