Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Dalam kondisi sehat wal afiat, seorang muslim diperintahkan memiliki rajā’ (harapan/optimisme) sekaligus khauf (rasa takut/kekhawatiran). Akan tetapi, hendaknya aspek khauf lebih didominankan. Alasannya, saat sehat adalah saat beramal sebanyak-banyaknya. Jadi, lebih tepat jika memperbanyak amal seraya diliputi kekhawatiran kalau-kalau Allah tidak menerima amalnya dan atau menghukumnya karena dosa-dosanya.
Khawatir amal tidak diterima adalah perasaan yang pantas, sebab untuk diterima amal itu memang tidak mudah.
Pertama-tama cara melakukan amal saleh itu harus mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ. Jika mengkonstruksi amal saleh sendiri, padahal tidak diajarkan Rasulullah ﷺ baik secara eksplisit maupun implisit, maka semua amal saleh itu akan ditolak.
Jika sudah tahu bagaimana beramal mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ, maka sebelum melakukan amal harus ditata niatnya terlebih dahulu. Percuma melakukan amal saleh jika niatnya untuk mendapatkan hal duniawi, sebab yang seperti ini pasti ditolak Allah. Percuma juga jika amal salehnya diniatkan untuk mendapatkan pujian dan penghargaan manusia, sebab ini maknanya menyembah manusia. Percuma juga jika amal salehnya diniatkan untuk mencari pujian Allah sekaligus pujian manusia, sebab yang seperti ini adalah syirik kecil yang disebut dengan istilah riyā’. Apalagi jika dia melakukan kesyirikan besar seperti mengagungkan matahari, menyembah keris, sujud kepada patung dan semisalnya. Sudah jelas semua amal salehnya akan hancur menjadi debu.
Kalaupun berhasil ikhlas saat beramal saleh, maka itu belum selesai. Ujian berikutnya adalah sum’ah. Makna sum’ah adalah menceritakan amal saleh kita dengan maksud supaya dikagumi orang atau dipuji orang atau menjadi terkenal atau target-target dunia yang lain. Yang seperti ini juga menghancurkan pahala amal saleh.
Kalaupun berhasil menjaga diri dari sum’ah, bukan berarti sudah selesai. Ujian berikutnya adalah ujub, yakni mengagumi diri sendiri. Seseorang yang berhasil ikhlas saat beramal saleh, lalu berhasil menahan godaan untuk menceritakan amal salehnya, tapi saat sendiri di kamar tiba-tiba merasa kagum dengan dirinya sendiri, kagum dengan kehebatannya dalam melakukan amal itu, lalu dia tidak melawannya, maka yang seperti ini juga menghancurkan amal.
Kalaupun berhasil ikhlas, bebas riya. Bebas sum’ah, bebas ujub, maka itu tidak bermakna sudah selesai. Ujian berikutnya adalah mannun (menyebut-nyebut kebaikan) dan aẓā (menyakiti). Orang yang membaiki orang lain, lalu menyakiti yang dibaikinya dengan “mengundat-undat” kebaikannya maka hancurlah amalnya sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Jika orang selamat dari mannun dan aẓā, maka belum tentu orang selamat dari kedengkian/hasad. Makna dengki adalah tidak senang dengan nikmat yang diberikan Allah kepada sebagian hambanya. Ini juga memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.
Kalaupun selamat dari hasad, maka ujian berikutnya adalah kezaliman dengan sesama. Alangkah banyaknya orang yang bangkrut di akhirat gara-gara zalim di dunia dan tidak minta maaf kepada orang yang dizaliminya.
Sekarang Anda sudah bisa membayangkan betapa terjalnya jalan untuk mencapai target amal diterima itu!
Jika seperti ini kondisinya, bagaimana mungkin seorang hamba tidak selalu merasa takut Allah marah kepada-Nya? Bagaimana mungkin bisa merasa sebagai ahli surga? Bagaimana mungkin bisa merasa sebagai kekasih Allah? Bagaimana mungkin merasa amalnya diterima padahal tidak ada wahyu apapun dari langit yang menunjukkan amalnya diterima?
Inilah perasaan terbaik yang harus senantiasa dihadirkan seorang hamba selama masih hidup dan diberi kekuatan untuk beramal. Selalu takut kepada Allah, khawatir amalnya tidak dterima, khawatir Allah murka, khawatir Allah menghukum, lalu akhirnya selalu memperbaiki kualitas amalnya, selalu waspada dengan penghancur-penghancur amal dan banyak-banyak meminta ampun atas keteledoran amal selama ini. Seperti yang diajarkan Rasulullah ﷺ. Minimal 100 kali istigfar setiap hari.
Beginilah idealnya perasaan mukmin dalam perjalannya menuju Allah.
Adapun jika dia sudah sakit berat atau sudah mendekati wafat, maka dia harus memenangkan rajā’/optimismenya agar di situasi rawan itu jangan sampai terjatuh pada dosa putus asa dari rahmat Allah. Dia dituntut untuk berbaik sangka kepada Allah dan harus selalu ingat ajaran Nabi ﷺ bahwa Allah itu mengikuti persangkaan hamba-Nya. Rasulullah ﷺ memerintahkan kita agar husnuzan jika sudah berada di saat-saat terakhir. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Jabir berkata: Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda tiga hari sebelum beliau wafat: “Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah.” (H.R.Muslim)
Cara berbaik sangka kepada Allah di saat-saat terakhir misalnya bermunajat lirih (atau sekedar membatin) kepada Allah begini,
“Ya Allah, sesungguhnya aku mendapatkan kabar dari Rasul-Mu, bahwa ada hamba-Mu di masa lalu yang pernah membunuh 100 nyawa. Dia baru saja mau menapaki jalan taubat, baru melakukan perjalanan menunju lingkungan yang baik dan belum benar-benar banyak mengisi hidup beramal saleh. Tetapi itupun sudah Engkau rahmati dan Engkau ampuni. Sesungguhnya aku tidak pernah membunuh 100 nyawa ya Allah, bahkan satu nyawa pun tidak. Aku juga sering memperbarui taubatku. Maka aku yakin rahmat-Mu akan meliputiku ya Allah, sehingga Engkau tidak menghukumku karena kesalahan-kesalahanku.”
Contoh lain,
“Allahumma ya Rabbi, sesungguhnya ayahku Adam engkau muliakan dengan banyak kemuliaan. Engkau izinkan ia melihat malaikat. Engkau memberinya ilmu yang bahkan semua malaikat tidak tahu. Engkau izinkan ia bercakap-cakap dengan-Mu. Engkau izinkan ia melihat bahkan merasakan segala kenikmatan surga yang dahsyat. Engkau izinkan ia melihat segala kemegahan alam malakut. Walaupun begitu, ayahku itu masih tertipu juga oleh Iblis, padahal ilmunya luar biasa. Ayahku kalah oleh syahwatnya. Aku juga demikian ya Rabbi. Aku sudah berusaha menaatimu. Tapi aku masih sering kalah oleh syahwatku. Tetapi aku tidak seperti ayahku. Aku tidak lebih hebat dari Adam. Aku tidak pernah melihat malaikat, tidak pernah melihat surga, tidak pernah merasakan surga, dan tidak pernah bercakap-cakap dengan-MU. Tapi aku meyakini sepenuh hati Engkau ada dan Engkau adalah Rabbku meski aku tidak melihat-Mu. Karena itu aku yakin rahmat-Mu pasti lebih besar kepadaku untuk memaafkan kelemahanku itu. Sesungguhnya engkau maha pengampun, pengasih lagi Maha Penyayang.”
Contoh lain,
“Ya Allah, aku mengakui banyak berbuat dosa, sengaja maupun tidak. Terutama saat aku sendiri. Tapi aku sama sekali tidak pernah menyekutukan-MU. Padahal engkau telah berjanji mengampuni dosa apapun selain syirik. Jadi, aku yakin engkau akan memaafkan semua kesalahan-kesalahanku.”
Contoh yang terakhir ini dilakukan oleh seorang ulama yang bernama Ibnu Suraij sebagaimana dikisahkan al-Gazzālī dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn sebagai berikut,
Artinya,
“Dikisahkan bahwasanya Abu al-‘Abbās bin Suraij rahimahullahu ta’ala pada saat beliau sakit menjelang wafatnya beliau bermimpi seakan-akan kiamat telah datang. Kemudian Allah al-Jabbār subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Mana para ulama?’ Kemudian mereka pun datang . Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang kalian amalkan terkait dengan ilmu yang Kuajarkan kepada kalian?’ Kami (para ulama) menjawab, ‘Ya Rabbana kami melalaikan dan tidak becus menunaikan amanah ilmu itu”. Allah mengulang lagi pertanyaan itu seakan-akan Dia belum rida dengan jawabannya dan menginginkan jawaban lainya. Lalu aku menjawab, ‘Kalau saya (ya Allah), maka tidak ada dalam catatan amalku kesyirikan sementara Engkau telah berjanji untuk mengampuni semua dosa di bawah itu. Allah pun berfirman, ‘Pergilah dengan membawa amal tersebut. Sungguh aku telah mengampuni kalian”. Ibnu Suraij wafat 3 malam setelah mimpi tersebut” (Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, juz 4 hlm 154)
اللهم اجعل موتنا علامة بأنك راض عنا
***
9 Dzulhijjah 1442 H