Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Seorang wanita itu punya potensi mencintai suaminya secara luar biasa melebihi cintanya kepada adik, kakak, anak, bahkan ayah dan ibunya!
Barangkali ini terkait fitrah wanita yang akan mengikuti suami dan membangun rumah tangga sendiri, terpisah dengan keluarganya.
Bayangkan, seorang wanita setelah menikah tentu wajib melayani suami, mengurus rumah, mengasuh anak-anak dan berbagai tugas lain sebagai istri dan ibu. Bayangkan, betapa beratnya menjalani hidup dengan berbagai beban seperti itu jika dalam kondisi tersebut hati wanita masih terpaut kepada ayah-ibu dan saudara-saudaranya.
Cinta luar biasa seorang wanita kepada suaminya seperti ini tidak dicela Nabi ﷺ, tapi malah dimaklumi sebagai sesuatu yang wajar.
Seperti kisah istri Sahabat Nabi ﷺ yang bernama Muṣ’ab bin ‘Umair. Ketika Rasulullah ﷺ pulang dari perang Uhud, kemudian para istri Sahabat yang tinggal di Madinah diberitahu nasib kerabatnya masing-masing, istri Muṣ‘ab bin Umair ini dikabari bahwa sejumlah kerabatnya wafat dalam perang Uhud. Mendengar berita itu beliau bisa bersabar, tegar dan tabah. Tapi begitu diberitahu suaminya syahid, pecahlah tangisnya, berteriaklah beliau dengan amat sedih dan tak sanggup lagi beliau menahan diri sampai konon Rasulullah ﷺ mengomentari,
Artinya,
“Sesungguhnya seorang suami bagi seorang istri itu benar-benar memiliki posisi khusus (dalam hatinya).” (Sīrah Ibnu Hisyām, juz 2 hlm 98)
Ada lagi kisah yang lebih dahsyat dari itu. Yakni kisah wanita di zaman jahiliah yang dijuluki Khindaf (خندف). Wanita ini adalah istri leluhur Nabi ﷺ yang bernama Ilyās bin Muḍar (generasi ke 18 dari nasab Nabi ﷺ sampai ke ‘Adnān).
Pada saat Ilyās wafat, Khindaf sedih luar biasa sampai tertekan psikisnya dan seolah-oleh stres dan hilang akal. Rumahnya ditinggal, keluarganya ditinggal, bahkan anak-anaknya pun ditinggal lalu hidup menggelandang!
Sejak saat itu, jika ada orang-orang yang melihat anak-anaknya yang terlantar, lalu bertanya, “Anak siapa ini?” maka dijawab “Anak-anak Khindaf”. Akhirnya semua anaknya nasabnya dihubungkan ke Khindaf ini.
Dari keturunan Khindaf ini lahirlah lelaki pembawa berhala pertama kali ke tanah Arab, yakni ‘Amr bin Luḥayy. Rasulullah ﷺ menyebut nasabnya ‘Amr bin Luḥayy bin Qama‘ah bin Khindaf. Ibnu ‘Hajar al-‘Asqalānī berkata,
Artinya,
“Anak-anaknya terkenal dihubungkan nasabnya dengannya (Khindaf), bukan ayahnya karena Ilyās saat wafat Khindaf sangat berduka sampai level meninggalkan keluarganya dan rumahnya dan hidup menggelandang hingga wafatnya. Jadinya, orang yang melihat anak-anaknya yang masih kecil lalu bertanya, ‘Anak siapa bocah-bocah ini?’ maka akan dijawab, ‘Anak-anak Khindaf’ untuk menunjukkan bahwa sang ibu menelantarkan mereka.” (Fatḥu al-Bārī, juz 6 hlm 548)
Barangkali karena potensi cinta luar biasa seorang wanita kepada suaminya seperti ini, dan juga terkait hukum kewajiban taat wanita kepada suaminya melebihi taat kepada orang tuanya, maka dalam syariat, seorang wanita dibebaskan memilih calon suaminya tanpa intervensi siapapun.
Begitu seorang wanita sudah memilih seorang lelaki sebagai calon suami, selama dia muslim dan tidak ada sebab-sebab yang membahayakan wanita, baik dalam urusan dunia maupun din, maka siapapun tidak boleh menghalanginya. Ayah dan ibunya sekalipun tidak berhak untuk mencegahnya. Tidak peduli apakah lelaki itu miskin, buruk rupa, sudah beristri (tapi belum mencapai batas maksimal 4 istri), tidak berasal dari keluarga terpandang, belum PNS atau sebab-sebab duniawi lain yang kebanyakan tidak disukai orang zaman sekarang.
Malahan, wali yang menghalang-halangi wanita menikah dengan calon suami pilihannya dia, dia terkena hukum ‘aḍl (العضل) yang membuat hak perwaliannya gugur, dihukumi fasik sehingga hak perwaliannya jatuh pada wali lain yang terdekat.
16 Rajab 1443 H/ 17 Februari 2022 jam 11.32