Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kadang ada orang yang diberi Allah hidup yang nyaman, bisnis yang lancar, keluarga yang bahagia dan keamanan bukan karena dia mulia di sisi Allah dan dicintai-Nya tapi itu semua ia dapatkan hanya karena dia hidup dekat dengan orang saleh sehingga dia kecipratan berkahnya!
Artinya, sebenarnya yang dicintai Allah dan dimuliakan oleh-Nya adalah orang saleh tersebut, tetapi karena dia yang hidup di dekat orang yang penuh berkah tersebut, maka dia ikut merasakan segala kebaikan itu.
Cuman sayangnya, banyak yang kadang TIDAK TAHU DIRI dan menyangka segala kenyamananya itu didapatkan karena dia merasa punya kedudukan istimewa di sisi Allah!
Seperti orang-orang Quraisy di tahun gajah.
Ketika pasukan Abrahah hendak menghancurkan Kakbah, lalu Allah mengirimkan pasukan burung untuk menghancurkan mereka, dengan penuh GE-ER, ujub dan magrur mereka menyangka bahwa diri mereka disayang Allah. Mereka merasa menjadi keluarga Allah dan tetangga Allah. Apalagi opini umum memandang bahwa Abrahah adalah pemeluk agama Nasrani yang dipandang lebih baik daripada Quraisy yang pagan. Tapi ketika pasukan Abrahah dihancurkan, sementara orang-orang Quraisy dilindungi, maka opini umum itu langsung berubah dan membuat orang-orang Arab sangat hormat kepada masyarakat Quraisy dan meyakini mereka lebih baik daripada Abrahah. Bahkan, karena peristiwa kehancuran pasukan gajah ini tidak menutup kemungkinan ada orang-orang Quraisy yang berpandangan bahwa agama pagan penduduk Mekah lebih baik daripada agama nasrani si ahli kitab!
Padahal, meskipun benar Allah memberikan nikmat keamanan kepada orang-orang Quraisy, sesungguhnya yang istimewa dan dimuliakan Allah bukanlah para Quraisy penyembah berhala itu. Yang mulia di sisi Allah adalah Nabi Muhammad ﷺ. Beliaulah hamba saleh yang dimuliakan dan penuh berkah. Allah menyelamatkan penduduk Quraisy yang pagan, meski harus menghancurkan pasukan yang dekat dengan tauhid supaya menjadi awal yang baik agar dakwah Nabi ﷺ mudah diterima. Ketika masyarakat Arab menghormati Quraisy setelah peristiwa ini, lalu muncul salah seorang dari mereka yang mengumumkan diri sebagai utusan Allah, maka hal itu mudah diterima dan bukan perkara mengherankan lagi. Jadi, justru keselamatan orang-orang Quraisy adalah untuk memuliakan Rasulullah ﷺ dan risalah-Nya. Hanya saja karena orang-orang Quraisy hidup bersama Rasulullah ﷺ, maka mereka kecipratan berkahnya dan mendapatkan nikmat keamanan serta kemuliaan berkat beliau.
Makna seperti ini juga disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
Artinya,
“Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama engkau (Nabi Muhammad) berada di antara mereka dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama mereka memohon ampunan.” (Q.S Al-Anfal: 33)
Dalam ayat di atas, Allah menjamin tidak akan menurunkan azab kepada ahli maksiat dan ahli kufur selama Rasulullah ﷺ masih hidup di tengah-tengah mereka. Jadi, mereka akan aman dari azab yang menimpa umat-umat terdahulu seperti dihujani batu, ditelan bumi, ditenggelamkan banjir dan lain-lain selama Rasulullah ﷺ masih hidup. Termasuk di zaman kita sekarang ini, selama masih ada orang saleh yang beristigfar, maka Allah tidak akan menimpakan azab merata yang membinasakan seluruh umat. Ini menunjukkan bahwa kebaikan hidup yang kita dapatkan itu terkadang bukan karena kedudukan kita di sisi Allah, tapi hanya karena “kebetulan” kita dekat dengan orang saleh saja.
Berkah seperti ini pula yang dimiliki Nabi Isa. Di manapun Nabi Isa ada, maka orang-orang di sekitar beliau akan kecipratan berkahnya. Ada yang sembuh dari kustanya, ada yang bisa dibuat bisa melihat setelah sebelumnya buta sejak lahir, ada yang mendapatkan ikan banyak saat melaut padahal musim sepi ikan, ada yang ikut merasakan roti ajaib yang diperbanyak Nabi Isa dengan mukjizat, dan lain-lain. Berkah terbesar dirasakan murid-murid beliau, karena dengan mengikuti Nabi Isa, maka mereka mendapatkan kemuliaan ilmu dan dimuliakan Allah dunia-akhirat. Allah menceritakan ucapan Nabi Isa tentang masalah berkah ini sebagai berikut,
Artinya,
“Dan Dia (Allah) menjadikan aku (Isa) diberkahi di manapun aku berada.” (Q.S. Maryam: 31)
Anehnya, saat Rasulullah ﷺ diutus, orang-orang Quraisy malah memusuhi hamba Allah yang menjadi sebab anugerah yang mereka terima! Ini contoh sikap TIDAK TAHU DIRI hakiki. Bahkan, level ujub dan magrur mereka sampai pada tingkat di mana sebagian dari mereka berani berdoa mubahalah untuk menunjukkan siapa yang paling benar. Seperti doa Abu Jahal saat perang Badar. Mungkin karena dia merasa agama pagan masyarakat Qurasiy diridai Allah dengan bukti kemenangan mereka atas pasukan Abrahah, lalu memandang dakwah Rasulullah ﷺ adalah gagasan bid’ah yang hanya memecah belah persatuan masyarakat Quraisy, maka dia berdoa dengan redaksi seperti ini,
Artinya,
“Ya Allah, orang yang paling memutuskan tali silaturahmi di antara kami dan yang paling membawa (gagasan/ide) teraneh (pemikiran paling bid’ah) yang tidak kami kenal, maka binasakanlah dia esok hari.”
Allah pun mengabulkan doa mubahalahnya dan memberi “hadiah” kematian kepada Abu Jahal supaya manusia tahu bahwa ujub dan maghrurnya itu keliru dan dia berada dalam kesesatan.
Sikap masyarakat Quraisy ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita.
Sekali-kali jangan pernah memiliki sifat ‘ujub, merasa dicintai Allah, atau merasa punya kedudukan tertentu di sisi Allah, sementara kita juga tidak punya hujah serta bukti apapun yang menunjukkan hal itu. Sebab, bisa jadi kenyamanan hidup, keamanan dan segala nikmat yang kita dapatkan sebenarnya adalah karena kita hidup bersama orang saleh penuh berkah di sekitar kita. Orang saleh itu bisa saja ayah Anda, ibu Anda, istri Anda, suami Anda, anak Anda, saudara Anda, guru Anda, tetangga Anda, teman Anda, kenalan Anda atau siapapun yang bisa jadi tidak Anda duga. Mereka adalah hamba-hamba Allah dengan ciri allażīna an’amallāhu ‘alaihim sebagaimana dilukiskan dalam surah Fatihah .
Lalu, “Bagaimana caranya kita tahu bahwa kita tidak sedang ge-er, atau sedang ujub, atau tertipu dan tidak mengulang kesalahan Quraisy di masa lalu?”
Jawabannya adalah “dengan wahyu”.
Sebab hanya wahyulah satu-satunya penghubung sahih antara Allah dengan hamba. Wahyulah yang ekan menunjukkan kita di jalan yang benar atau jalan yang sesat.
Seandainya masyarakat Quraisy waktu itu serius mencari petunjuk Allah melalui wahyu, pasti mereka akan beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan bukti-bukti pasti yang beliau bawa. Tapi tidak. Mereka memilih meyakini khayalan mereka sendiri. Itu yang membuat mereka tersesat.
Zaman sekarang pada saat Rasulullah ﷺ sudah wafat, maka kita memburu hujah wahyu itu melalui para ulama, sebab ulama adalah pewaris nabi. Tapi karena ulama juga ada yang berhati serigala meskipun memakai jubah, maka memilih ulama juga harus super hati-hati. Kuasai dulu hal-hal qaṭ’ī dalam agama. Jika Anda menemukan ada orang yang dinisbahkan pada ilmu tapi melanggar hal qaṭ‘i, maka jelas dia penyesat dan tidak layak dijadikan panutan. Sepopuler apapun dia. Sebanyak apapun follower-nya.
Terakhir, hal-hal qaṭ‘ī dalam agama itu apa saja?
Perkara qaṭ‘i dalam agama, baik dalam urusan akidah maupun syariat di antaranya dijelaskan dengan cukup bagus dalam kitab Sullam al-Taufīq (سلم التوفيق) yang pernah saya buatkan resensinya dalam tulisan berjudul Mengenal Kitab Sullam At-Taufiq.
Kitab di atas tidak full 100% membatasi diri membahas hal-hal qaṭ‘i. Tetapi manhajnya adalah membatasi pada hal-hal fardu ain yang mencakup hal-hal qaṭ’ī terpenting dalam agama. Mengkaji kitab ini dan mengamalkannya dengan baik, insya Allah cukup untuk menggapai rida Allah sebagaimana harapan penulis yang tercermin dalam judul kitab.
16 Sya’ban 1443 H/ 19 Maret 2022 jam 06.57