Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
“Ih, dasar kerabat tak tahu diri!”
“Datang hanya kalau ada maunya saja. Pas kita punya uang, mendekat. Begitu kita susah, buru-buru serempak menjauh semua. Kerabat kalau hanya memanfaatkan ya seperti itu. Gak ngerti silaturahmi maknanya apa.”
Demikian barangkali pernyataan yang sempat terucap saat mengetahui kerabat yang datang hanya pas butuh.
Kalimat di atas mungkin melegakan perasaan jika dilepaskan, tetapi sesungguhnya mengandung elemen pemahaman yang keliru sekaligus membahayakan.
Kelirunya adalah karena secara halus masih punya pamrih pada manusia saat membaiki dan membantu kerabat. Yakni berharap dibalas, diapresiasi, dihargai, diucapi terimakasih, minimal diingat dengan cara didatangi sebagai tanda penghargaan.
Pamrih seperti ini keliru,sebab maknanya amalnya masih untuk manusia bukan untuk Allah. Artinya belum mencapai ikhlas, tapi niatnya masih terkotori dengan motif duniawi.
Bahayanya adalah menghancurkan amal. Seluruh amal kebaikan kepada kerabat bisa hancur lebur jika sudah salah niat sejak awal begitu. Sebab Allah hanya menerima amal yang ikhlas murni untuk-Nya. Tidak boleh tercampur motif apapun selain hanya untuk Dia.
Kalau begitu bagaimana cara melenyapkan bersitan pikiran yang berbahaya seperti itu?
Jawabannya adalah dengan menata niat sejak awal membaiki kerabat, yakni ditata semata-mata karena Allah.
Begitu diuji dengan balasan yang buruk dari kerabat atau perlakuan yang tidak setimpal, maka segeralah memanajemen hati dengan husnuzan.
Seperti yg dilakukan oleh Talhah bin Abdurrahman. Seorang ulama dan hakim yang fakih nan dermawan di Madinah.
Saat istrinya ngomel-ngomel menggerutu dan mengeluhkan perilaku kerabat suaminya yang hanya datang pas butuh dan ngilang pas susah, sang suami kalau pakai bahasa kita kira-kira dengan lembut akan berkata seperti ini,
“Jangan begitu sayang…”
“Jangan marah-marah begitu.”
“Justru perilaku mereka itu menunjukkan kemuliaan mereka”.
“Saat kita punya harta lalu mereka datang, hal itu justru untuk menghargai kita dan mempercayai bahwa kita kuat. Karena mereka tahu jika mereka butuh maka kita bisa membantu. Dengan begitu tampaklah kemuliaan kita. Saat kita susah, mereka tidak datang karena kuatir tampak kelemahan kita. Sebab jika mereka butuh lalu kita tidak bisa bantu, terlihatlah bagaimana lemahnya kita. Dari situ akan tampak kehinaan kita.”
Al-Māwardī menulis,
Artinya,
“Dari putri Abdullah bin Muṭī‘ bahwasanya beliau berkata kepada suaminya (yang bernama) Ṭalḥah bin ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf al-Zuhrī yang dikenal sebagai orang paling dermawan di tengah-tengah suku Quraisy di zamannya,
‘Aku tidak pernah mengetahui ada orang-orang yang lebih hina (tak tahu diri) daripada saudara-saudaramu.’
Suaminya bertanya,
‘Ah, kenapa itu?’
Istrinya menjawab,
‘Saya melihat mereka kalau kamu pas duitnya banyak, mereka nempel terus padamu. Tapi kalau pas kamu bokek, mereka meninggalkanmu’
Suaminya meluruskan,
‘Ini demi Allah (justru) kemuliaan mereka. Mereka mendatangi kita saat kita berada dalam kondisi lebih kuat daripada mereka. Dan mereka meninggalkan kita saat kita dalam kondisi lemah untuk menolong mereka’.” (Adabu al-Dunyā wa al-Dīn, hlm 180)
Alangkah indahnya jika hati selalu dimanajemen begini saat ada kesan diperlakukan tidak enak oleh saudara. Amal utuh, pikiran tenang, hati jernih dan jiwa pun damai.
28 Muharam 1444 H/26 Agustus pukul 07.11