Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika dalam Al-Qur’an disebut kata syajar (الشجر) yang bermakna pepohonan, maka kita bisa memahaminya karena pohon memang benda yang terindra dan ada faktanya. Kita bisa mempersepsikannya dan bisa membayangkannya.
Demikian pula jika dalam disebut kata syamsun (الشمس) yang bermakna matahari. Kita dengan mudah bisa memahaminya karena matahari memang ada realitasnya dan merupakan fakta yang terindra.
Termasuk saat dalam Al-Qur’an disebut kata qamar (القمر) yang bermakna bulan. Gampang kita memahaminya karena bulan memang benda langit yang ada faktanya dan realitas yang terindra.
Lafal yang dipakai dalam Al-Qur’an ini sama sekali tidak menimbulkan masalah dalam benak orang-orang Arab, karena itu memang bahasa yang biasa mereka pakai sehari-hari dan makna yang familiar berdasarkan realitas.
Adapula lafal dalam Al-Qur’an yang orang Arab tahu maknanya secara bahasa, tetapi agar tidak salah persepsi, Rasulullah ﷺ menjelaskannya dengan narasi dan perbuatan.
Misalnya lafal salat (الصلاة). Kata tersebut secara bahasa bermakna “berdoa”. Jadi, jika dalam Al-Qur’an ada perintah salat, secara bahasa orang Arab memahaminya perintah berdoa. Tapi Rasulullah ﷺ menjelaskan dan memberi contoh bahwa yang dimaksud salat dalam Al-Qur’an adalah perbuatan yang diawali dengan takbir, diakhiri salam, ada bacaan khususnya, ada rukuk, ada sujud, ada duduk dan seterusnya. Lalu Rasulullah ﷺ “mengunci” batasan makna salat itu dengan sabda beliau “Salatlah kalian sebagaimana aku salat”.
Lafal salat ini masih mudah dipahami orang Arab walaupun ia adalah makna baru yang dikenalkan kepada mereka, sebab mereka melihat langsung fakta salat dengan indra mereka, sehingga mudah mempersepsikan dan membayangkan makna kata tersebut.
Akan tetapi, berbeda halnya jika makna-makna baru yang dikenalkan itu tidak ada realitas fisik yang diindra oleh orang Arab. Bagi non Arab, yang demikian itu kadang menjadi persoalan.
Makna-makna yang termasuk golongan ini adalah makna-makna terkait realitas gaib.
Bagaimanakah Allah dan Rasul-Nya mengenalkan makna-makna yang berjenis ini?
Jawabannya adalah memakai diksi/pilihan kata yang bersifat PENDEKATAN.
Contohnya Allah berkehendak menjelaskan realitas gaib di alam akhirat berupa sebuah negeri yang sangat indah, penuh kenikmatan dan sama sekali tidak ada kesengsaraan. Di sana ada sungai-sungai mengalir, buah-buahan, madu, susu, tanah putih lembut, wanita cantik, bau wangi dan seterusnya.
Kata apa yang paling mewakili realitas gaib semacam itu?
Adakah dalam bahasa Arab asli sebuah kosakata yang mengandung makna akurat untuk menjelaskan realitas gaib semacam itu?
Jawabannya adalah tidak ada!
Oleh karena itu, Allah menggunakan kata yang biasa dipakai oleh manusia dalam bentuk PENDEKATAN.
Kata yang paling dekat dengan realitas gaib semacam itu adalah jannah (الجنة). Sebab, makna jannah secara bahasa adalah taman. Dalam persepsi orang Arab, taman adalah tempat terindah di bumi sehingga kata ini menjadi kata terbaik untuk mewakili realitas gaib di akhirat yang penuh kenikmatan tersebut.
Akan tetapi, hal yang harus digaris bawahi adalah bahwa penggunaan kata tersebut sesungguhnya hanyalah bentuk pendekatan. Maknanya, fantasi terliar apapun untuk membayangkan yang namanya jannah, itu maka fantasi kita tetap tidak akan akurat dan tidak akan sanggup menjangkau hakikat yang sesungguhnya.
Kita bisa memahami lafal jannah secara bahasa dan makna hakikinya, akan tetapi itu tetap tidak akan mewakili realitas jannah itu sesungguhnya bagaimana. Jangan sampai hanya karena kita mengerti makna jannah secara bahasa, lalu kita merasa memahami betul dan tahu betul hakikat jannah itu sedahsyat apa kenikmatannya. Rasulullah ﷺ telah mengunci makna jannah dengan pengertian seperti ini. Yakni kenikmatan surga itu tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“(Allah menyiapkan jannah untuk hamba-hambaNya yang saleh) sebuah negeri yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah di dengar telinga dan tidak terlintas dalam hati manusia.” (H.R. al-Bukhārī)
Jadi, jannah adalah jenis kata yang dipakai Allah untuk membantu akal manusia yang terbatas untuk mencoba memahami realitas yang tidak sanggup dipahami secara utuh oleh akal manusia yang lemah dengan bentuk pendekatan.
Demikian pula saat di sebut neraka. Tidak ada kata apapun yang dimiliki orang Arab yang sanggup mewakili realitas gaib sebuah negeri yang sangat mengerikan itu. Bukan hanya orang Arab, bahkan seluruh manusia pun tidak ada. Kata yang paling dekat dengan realitas gaib seperti itu dalam bahasa Arab adalah nār (api), karena memang api adalah unsur siksaan yang menonjol di negeri tersebut.
Termasuk istilah-istilah untuk menyebut realitas gaib lainnya seperti jisr (jembatan), ḥauḍ (kolam), arsy, kursy, qalam, lauḥ maḥfūẓ dan seterusnya.
***
Seharusnya seperti ini pula kerangka fikir kita saat memahami sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam dalil. Yakni saat diterangkan bahwa Allah itu raḥmān, raḥīm, quddūṣ, muhaimin, jabbār, ‘azīz, dan seterusnya termasuk sifat-sifat Allah yang mengesankan antropomorfis.
Ayat pengunci yang qaṭ‘i saat memahami sifat Allah adalah bahwa Allah itu tidak sama dengan makhluk-Nya, kesempurnaan-Nya tak akan sanggup dijangkau oleh akal manusia yang terbatas, dan bahwa nama-nama-Nya yang dikenalkan-Nya kepada kita itu tidak mewakili kesempurnaan-Nya. 99 nama yang dikenalkan kepada kita itu hanya secuil untuk menggambarkan kesempurnaan Allah. Yakni nama-nama-Nya yang dikenalkan kepada kita hanya untuk sekedar menjalankan taklif menyembah Dia sebaik-baik-Nya.
Kita bisa memahami seluruh nama-nama itu secara bahasa, tetapi hakikat yang sesungguhnya tetap jauh lebih dahsyat dari pemahaman terbatas yang kita miliki. Yakni makna yang hanya Allah saja yang tahu hakikat sesungguhnya, bagaimana kaifiyyahnya dan pengertian yang paling layak untuk keagungan-Nya. Tapi dari makna yang terbatas itupun seorang hamba sudah cukup untuk menjadikan Allah sebagai puncak cintanya dan puncak dia menghinakan diri. Dengan kata lain, pengetahuan terbatas tentang Allah itu sudah cukup untuk menjalankan amanah menyembah Allah sebaik-baiknya di dunia, tanpa harus mengulik lebih dalam hakikat yang berada di luar jangkauan kemampuan akalnya.
Apakah mungkin salah memahami atau kurang akurat mempersepsikan? Mungkin saja, tetapi dalam Al-Qur’an sudah ada jaminan bahwa Allah memaafkan kesalahan yang tak disengaja dan tidak ada maksud untuk tidak menghormati Allah.
Seperti iman nabi Musa yang sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Allah mengubah tongkat menjadi ular. Itu sudah cukup untuk membuat beliau menyembah Allah sebaik-baiknya. Tidak perlu sampai harus melihat Allah dengan mata kepala sendiri, karena Allah tidak menyiapkan mata dunia kita yang lemah untuk melihat-Nya. Oleh karena itu, saat nabi Musa minta melihat Allah, beliau diperlihatkan bagaimana gunungpun tak sanggup menanggungnya, karena saat Allah membuka satu tabir saja, gunungpun hancur berantakan.
Perumpamaannya,
Jika orang sudah merasakan kesetrum listrik rumah yang dayanya 1300 VA, maka itu sudah cukup untuk memperkirakan dan mengetahui seperti apa listrik dengan daya besar. Dia sudah bisa berhati-hati untuk tidak dekat dengan listrik berdaya besar. Tidak perlu dia mencari tahu dan mencoba sendiri listrik 100.000 VA karena itu akan menewaskannya!
6 Shafar 1444 H/3 September 2022 pukul 08.06