Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Kadang saya merasa tidak perlu harus menguasai ilmu yang “ndakik-ndakik” dulu untuk lebih bisa merasakan salat.
Ilmu “sederhana” saja cukup.
Asalkan diperhatikan dengan serius, dihayati, diamalkan dan disyukuri.
Misalnya masalah bersedekap saat berdiri dalam salat dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.
Saya sempat tercenung saat menemui riwayat berikut ini,
Artinya,
“(Ibnu ‘Abbās berkata) Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Kami para nabi diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Juga diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri dalam salat.” (H.R.al-Ṭabarānī)
Yang menjadi fokus perhatian saya adalah lafal yang berbunyi,
Artinya,
“(Kami para nabi diperintahkan) untuk meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri dalam salat.”
Membaca lafal ini, terbayanglah dalam benak saya bagaimana Rasulullah ﷺ berdiri bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat menghadap Rabb-nya dengan tekun nan khusyuk, seakan-akan terhubung langsung ke langit, masuk ke alam malakut dan terputus dari segala hiruk pikuk dunia…
Terbayang juga bagaimana Nabi Isa yang hidup mengembara bersama para hawariyyūn, lalu disaat-saat tertentu mendirikan salat sambil meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri…
Terbayang juga Nabi Ibrahim khalīlurraḥmān yang setelah membangun Kakbah bersama putranya lalu salat dengan bersedekap meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri…
Terbayang juga nabi Musa, di tengah-tengah suasana mencekam karena dikejar tentara Fir’aun lalu beliau bersama umatnya tidak lupa menyembah Rabb-nya dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri…
Terbayang juga Nabi Nuh setelah membangun kapal lalu diejek kaumnya, lalu dengan menahan rasa sedih mengadu kepada Rabbnya dengan berdiri bersedekap meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri…
Termasuk juga nabi-nabi lain yang sanggup saya ingat..
Juga terbayang bagaimana syahdu, tenang dan khidmatnya saat Rasulullah ﷺ mengimami seluruh nabi-nabi untuk salat dalam peristiwa Isra Mi’raj… Semuanya berdiri kokoh dalam keadaan bersedekap melatakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Khusyuk memuja Allah dan memuji-Nya…
Membayangkan hal ini, maka saat saya melakukan gerakan yang sama dalam salat, yakni meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, seakan-akan secara sadar saya memaksa diri untuk masuk ke dalam barisan hamba-hamba Allah yang suci itu…
Ikut merasakan kekhidmatannya..
Ikut merasakan kesyahduannya…
Ikut merasakan ketenangannya…
Ikut merasakan bagaimana agungnya suasana penyembahan itu…
Yakni cara penyembahan hamba-hamba Allah yang suci, yang sudah tidak dirisaukan urusan duniawi dan sudah benar-benar larut dalam hazrat keagungan Ẓat Pemilik ‘Arsy Yang Agung…
Sampai di sini, timbul rasa syukur juga..
Bukankah Allah mengajari kita bahkan mewajibkan kepada kita agar selalu meminta hidayah supaya bisa menempuh jalan yang lurus?
Bukankah jalan yang lurus itu adalah jalan yang ditempuh hamba-hamba yang diberi-Nya nikmat, yakni para nabi dan rasul termasuk semua yang mengikuti jalan mereka?
Jika engkau, wahai Muafa, ditunjukkan ilmu bahwa para nabi itu semuanya diperintahkan Allah untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat bersedekap dalam salat, bukankah itu bermakna doamu meminta petunjuk dikabulkan sebagian oleh Allah?
Saat engkau bisa meniru para nabi itu dalam salatmu, walaupun baru level meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, bukankah itu tanda bahwa Allah memberimu nikmat hidayah taufiq sehingga bisa mengamalkan petunjuk tersebut?
Bukanlah sangat layak engkau mensyukuri semua itu sehingga saat engkau mengucapkan alḥamdulillāhirabbil ‘ālamīn dalam salatmu, engkau lebih bisa menghayatinya lagi?
Merasakan semua ini, seakan-akan memang bisa menimbulkan satu perasaan membuncah dalam dada yang menggabung antara kelegaan, kesejukan dan kenikmatan yang susah dilukiskan dengan kata-kata.
Yang “seremeh” ini saja memang terasa sudah memberi “sentuhan berbeda” saat melakukan salat. Wajar jika hamba-hamba saleh yang mendapatkan ilmu jauh lebih hebat dari ini akan benar-benar larut dalam penyembahan. Seperti ‘Abbād bin Bisyr yang tidak terasa sakit terkena panah musuh ketika beliau salat.
4 Rabi’ul Akhir 1444 H/30 Oktober 2022 pukul 06.12