Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Sudut pandang itu sangat mempengaruhi cara membaca data.
Data yang sama, jika sudut pandangnya berbeda maka cara analisis dan penyimpulannya juga akan berbeda.
Ambil contoh kasus kemiripan tata cara salat dalam Islam dengan Kristen Ortodoks.
Sudah diketahui bahwa salat dalam Islam itu ada rukuk dan sujudnya. Cara salat Kristen Ortodoks juga ada rukuk dan sujudnya. Malahan istilah salat itu sendiri juga mirip.
Dalam bahasa Aram, salat disebut dengan istilah Tselota/Tzelota. Bahasa Aram adalah bahasa asli Maryam; Ibunda Nabi Isa dan tentu saja juga menjadi bahasa Nabi Isa. Istilah Tselota/Tzelota ini dilestarikan oleh Kristen Ortodoks.
Anda bisa melihat kemiripan pelafalan Tselota/Tzelota dengan al-ṣalāt (الصلاة) dalam bahasa Arab.
Pertanyaannya, “Apakah ada hubungan antara Tselota/Tzelota dengan salat dalam dunia Islam?
Bagaimana memahami adanya kemiripan istilah salat ini? Apa makna kemiripan tata cara salat Islam dengan tatacara salat Kristen Ortodoks?”
Nah, sampai di titik ini saya ingin menegaskan bahwa sudut pandang lah yang akan menentukan bagaimana cara membaca data itu.
Saya ingin membagi sudut pandang dalam hal ini dalam dua kategori saja yaitu,
Pertama: Sudut pandang syar’i.
Kedua: Sudut pandang kufur wahyu.
Yang dimaksud sudut pandang syar’i, adalah cara memandang sesuatu dengan basis keimanan terhadap risalah nabi Muhammad setelah terbukti kenabian beliau dengan cara yang sangat meyakinkan tanpa menyisakan keraguan sedikitpun.
Yang dimaksud sudut pandang kufur wahyu adalah cara pandang terhadap sesuatu yang menafikan wahyu yang turun terhadap nabi Muhammad dan menganggapnya itu hanya jenis pikiran manusia jenius saja. Mengkufuri wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad ﷺ itu sebabnya bisa bermacam-macam. Bisa karena fanatisme, cinta dunia, kesombongan, taklid buta dan lain-lain.
MEMBACA DATA DENGAN SUDUT PANDANG SYAR’I
Jika data kemiripan salat Islam dengan Kristen Ortodoks dibaca dengan sudut pandang syar’i, maka justru kita bisa menyimpulkan bahwa kemiripan tersebut terjadi karena keduanya keluar dari sumber yang sama.
Sebab Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah yang menyampaikan wahyu dari Allah, termasuk di antaranya wahyu tentang tatacara salat. Nabi Isa juga utusan Allah yang menyampaikan wahyu dari Allah, termasuk di antaranya wahyu tentang tatacara salat. Jadi, jika keduanya mirip maka itu semakin meneguhkan dan memperkuat ajaran Islam bahwa Nabi Isa dan Nabi Muhammad itu sama-sama utusan Allah.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa Nabi Isa itu diperintahkan untuk salat seumur hidup. Perintah ini sama persis dengan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mendirikan salat 5 waktu yang bahkan dijadikan sebagai rukun Islam. Nabi Isa menegaskan bahwa beliau diperintahkan Allah untuk salat selama masih hidup,
Artinya,
“Allah berpesan kepadaku untuk menegakkan salat dan membayar zakat selama aku hidup.” (Maryam: 31)
Dari sini, kita malah bisa berhipotesis bahwa salat Nabi Isa itu sesungguhnya aslinya sama persis dengan salat nabi Muhammad atau minimal sebagian besar mirip. Alasannya sumbernya sama, yaitu wahyu Allah. Kalaupun sedikit berbeda, itu tetap bisa diterima karena syariat nabi-nabi itu mungkin saja berbeda sedikit sementara dalam hal pokok akidah semuanya sama.
Jadi, jika ada data penunjang bahwa istilah salat itu terhubung dengan istilah Tselota dalam bahasa Aram, maka justru itu semakin menguatkan bahwa sumber dua istilah ini semuanya satu, yakni wahyu Allah yang benar. Seperti cara pandang Najasyī saat mendengar dakwah Ja’far bin Abū Ṭālib. Kemiripan ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan ajaran Nabi Isa yang dipeluk Najasyi langsung disimpulkan bahwa keduanya keluar dari sumber cahaya yang sama. Kata al-Najasyī “Inna hāżā wallażī jā’a bihī ‘īsā layakhruju min misykātin wāḥidah” (ajaran –Nabi Muhammad ﷺ ini dengan ajaran nabi Isa sungguh benar-benar keluar dari lampu yang sama).
Umpamanya kita mendapatkan data penunjang setelah mengaji kitab al-Itqān karya al-Suyūṭī.
Saat membahas lafal salat/ṣalawāt, dengan mengutip al-Jawāliqī, di sana al-Suyūṭī menulis bahwa kata ṣalāt dalam bahasa Arab memang berasal dari bahasa Aram/Suryani/Syiriac, yakni dari kata ṣulūtā (صُلُوتَا). Konon itu juga pendapat al-Ḍaḥḥāk. Al-Suyūṭī menulis,
Artinya,
“Ṣalawāt. Kata al-Jawāliqī, kata tersebut dalam bahasa Suryani bermakna sinagog (masjidnya) Yahudi. Asalnya dari lafal ṣulūtā. Ibnu Abū ḥātim meriwayatkan semisal dari al-Ḍaḥḥāk ” (Juz 2 hlm 135)
Membaca data ini, justru kita semakin yakin bahwa Nabi Isa adalah utusan Allah yang mendapatkan wahyu untuk melakukan salat sebagaimana nabi Muhammad juga mendapatkan wahyu untuk melakukan salat.
Lalu dari sini mungkin muncul pertanyaan.
“Jika salat Nabi Isa sama persis atau minimal mirip sebagian besar dengan salat Nabi Muhammad ﷺ, lalu mengapa faktanya saat ini ada perbedaan dalam hal rincian-rincian?”
Nah, dari sini kita harus mengembalikan pada fakta penjagaan otensitas tradisi dari kedua agama tersebut.
Tentu saja tatacara salat Nabi Muhammad ﷺ terdokumantasi dengan rapi dan sangat teliti karena sumber hukumnya juga terkodifikasi dengan baik. Dari sisi ini umat Islam bisa menegaskan bahwa sumber ajaran Islam jelas lebih otentik. Para ulama Islam sampai bisa merumuskan dengan detail gerakan salat Nabi Muhammad ﷺ mulai takbiratul ihram hingga salam, bacaannya apa saja, bahkan sampai bisa merumuskan mana yang syarat, mana yang rukun, mana yang sunah, mana yang makruh, mana yang membatalkan dan seterusnya.
Ini berbeda dengan tradisi penukilan dan penjagaan sumber hukum dalam Kristen yang mengalami masalah berat dalam hal keotentikan. Dari sini malah bisa dibuat hipotesis, bahwa penyebab perbedaan tatacara salat itu justru dikarenakan lemahnya sumber-sumber otentik dalam tradisi Kristen yang menukil tatacara salat Nabi Isa dengan detail. Kajian terhadap perjanjian baru maksimal hanya sanggup menukil gerakan salat Nabi Isa seperti berdiri, melihat ke arah langit, berlutut, bersujud dan semisalnya. Sangat sulit atau bahkan nampaknya mustahil mendapatkan data pembakuan salat Nabi Isa dari sisi tatacaranya semisal bacaan wajibnya apa, bacaan sunahnya apa, yang dibaca saat berdiri, sujud dan berlutut itu apa dan seterusnya.
Jadi, sudut pandang syar’i dalam membaca kemiripan salat Islam dengan Kristen Ortodoks justru arahnya adalah memicu penelitian terkait sumber-sumber tertua yang menjadi dasar tatacara tselota Kristen Ortodoks itu.
Sumber-sumber ini diteliti kevalidannya, lalu dicek kevalidan proses “ijtihad”-nya, baru kemudian dinilai tatacara yang berlaku dan dilestarikan di kalangan Kristen Ortodoks saat ini apakah sudah sah dinisbahkan kepada Nabi Isa ataukah tidak.
Jika bisa dinisbahkan, apakah keseluruhan atau sebagian saja. Jika tidak sah dinisbahkan, maka selanjutnya diteliti sebenarnya konseptor utama siapa dan sejak kapan ajaran tatacara salat ala Kristen Ortodoks itu muncul. Kemudian baru bisa dinilai apakah produk tatacara salat versi kristen ortodoks itu terkategori heresy/bid’ah dalam sudut pandang ajaran Nabi Isa ataukah tidak.
Saya menemukan rujukan tatacara salat ala Kristen Ortodoks yang dikarang oleh Mar Ignatius I Efraem Barsoum berjudul “al-Tuḥfatu al-Rūḥiyyah fī al-ṣalāt al-Farḍiyyah”. Hanya saja, membacanya saya merasa belum puas. Sebab di sana sama sekali tidak ada pembuktian bahwa tatacara salat itu digali dari ucapan, perbuatan maupun afirmasi Yesus. Nampaknya buku ini disusun untuk kepentingan praktis ibadah umat kristiani saja. Semacam kitab-kitab fikih mukhtaṣar mungkin jika di dunia Islam. Tidak ada penjelasan “istidlāl” dan “wajhul istidlāl”. Jadi, buku ini masih belum memberi data yang cukup untuk menjawab kegelisahan intelektual di atas.
MEMBACA DATA DENGAN SUDUT PANDANG KUFUR WAHYU
Beda lagi jika data kemiripan salat Islam dengan salat Kristen Ortodoks dibaca dengan sudut pandang mengkufuri wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad.
Sudut pandang kufur wahyu ini ekspersinya bisa macam-macam.
Bisa pakai sudut pandang kristosentris.
Bisa pakai sudut pandnag antropologi.
Bisa juga terpengaruh gerakan politik pluralisme.
Atau sudut pandang lainnya.
Jika sudut pandangnya krsitosentris, maka bisa saja cara membacanya begini:
Kristen lebih dulu daripada Islam. Jika ada dalam Islam yang mirip dengan Kristen, maka itu bermakna Islam menjiplak Kristen. Jadi, salat Islam itu sebenarnya hanya menjiplak Kristen.
Kalau mau pakai bahasa yang lebih halus mungkin bisa diungkapkan, “Cara salat Islam itu sebenarnya hanya melestarikan cara salat kristen”.
Tentu saja cara pembacaan semacam ini adalah ilusi. Sebab untuk menguatkan klaim di atas, harus bisa dibuktikan bahwa Nabi Muhammad pernah belajar kepada pemuka agama Kristen, menghafal kitab sucinya dan memahami tradisi-tradisinya. Tentu saja data semacam ini tidak akan didapatkan, sebab fakta sejarah menunjukkan Nabi Muhammad ﷺ tidak bisa membaca dan menulis, tidak pernah melakukan studi perbandingan agama, apalagi sampai melakukan penelitian ke berbagai negeri dengan maksud menciptakan agama melalui peramuan berbagai ajaran agama. Maknanya, seluruh ajaran Nabi ﷺ asalnya wahyu, bukan dari oleh fikir rasional melalui jalan belajar.
Jika sudut pandangnya antopologi, maka bisa saja cara membacanya begini:
Kemiripan cara salat Islam dengan Kristen adalah karena generasi Kristen awal banyak berinteraksi dengan Muslim di daerah Syam. Jadi wajar jika saling mempengaruhi dan saling mengambil tradisi.
Tentu saja cara pembacaan seperti ini juga ilusi. Sebab, untuk menguatkan klaim seperti itu, harus bisa dibuktikan bahwa tatacara salat Islam baru dilaksanakan setelah interaksi itu. Fakta sejarah menunjukkan sepanjang hidup Nabi Muhammad ﷺ, tatacara salat sudah dipraktekkan dan sudah dibakukan.
Jika pandangnya pluralisme, maka bisa saja cara membacanya begini:
Kemiripan cara salat Islam dengan Kristen adalah kabar gembira untuk mengembangkan sikap toleransi. Karena bisa menjadi amunisi untuk saling mencari kesamaan. Dengan begitu konflik antar agama bisa diredam.
Tentu saja cara pandang pluralisme adalah cara pandang batil. Cara pandang pluralisme tidak peduli kebenaran. Yang penting secara politik damai, maka bebas orang beragama apapun. Cara pandang seperti ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab maknanya menjadikan dunia sebagai tujuan. Yang penting hidup di dunia aman, nyaman dan tenang selesai urusan. Di akhirat masuk neraka bukan urusan saya.
Andaikan hidup damai dengan definisi oknum politisi tertentu adalah nilai tertinggi dalam hidup, maka sudah semestinya Nabi Muhammad ﷺ tidak perlu berkonflik sampai berdarah-darah dengan orang-orang Arab. Mestinya biarkan saja tiap orang Arab beragama menurut keyakinan masing-masing, asalkan semuanya damai dan saling toleransi. Cara pandang semacam ini memang tidak peduli di akhirat masuk neraka apa tidak. Yang penting bahagia di dunia, bisa makan enak, kerja mapan dan berhubungan seks sesukanya. Mirip dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat.
5 Rabi’ul Akhir 1444 H/31 Oktober 2022 pukul 13.00