Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Memberi uang nafkah kepada istri itu bisa saja sekedar mengulurkan uang, lalu diterima istri dengan senyum, kemudian lewat begitu saja.
Tapi memberi uang nafkah kepada istri bisa juga dilakukan dengan menata hati terlebih dahulu.
Misalnya dia menghadirkan dulu perasaan bahwa Allah sedang mengawasinya. Setelah itu dia berkata dalam hati atau berkata dengan lisannya seraya bermunajat,
“Ya Allah, sesungguhnya engkau mengabarkan melalui lisan Nabi-Mu bahwa engkau nanti pada hari kiamat akan menanyai kami tentang harta kami dari mana kami mendapatkannya dan untuk apa kami membelanjakannya.
Sesungguhnya aku sudah memastikan mendapat harta secara halal, ya Allah. Dalam batas kemampuan yang aku miliki untuk mengetahui kehendak-Mu. Sudah aku tanyakan kepada ahli ilmu yang saleh, jujur dan amanah tentang caraku mengais rezeki.
Hari ini, aku akan menyerahkan sebagian rezeki yang Engkau karuniakan kepadaku untuk menafkahi istriku. Juga anakku.
Karena aku tahu mereka adalah nikmat yang engkau berikan kepadaku, sekaligus amanah menjaga nyawa yang engkau ujikan kepadaku.
Saat aku memberi uang kepada istriku ini, aku sadar mungkin juga pernah menggunakan rezeki dari-Mu untuk hal-hal yang tidak berguna atau bahkan untuk bermaksiat kepada-Mu!
Oleh karena itu, saksikanlah amalku yang ini ya Allah dan terimalah ia.
Jadikan ia penyebab keselamatanku di hari Engkau membangkitkan dan menghisab hamba-Mu.
Ampuni juga kesalahanku dalam mengelola harta dari-Mu. Yang sengaja maupun tidak. Yang besar maupun yang kecil.
Sesungguhnya Engkau maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
***
Bedakan rasanya menafkahi istri dengan suasana hati seperti ini dengan sekedar kasih uang sebagai rutinitas kering yang tidak ada maknanya.
Apalagi jika menafkahi istri dengan motivasi-motivasi duniawi yang rendah. Seperti agar disebut suami yang bertanggung jawab, agar dikenang sebagai suami yang baik, agar lebih disayang istri, agar cinta istri semakin awet, agar dibanggakan istri di hadapan wanita-wanita lain, agar terkenal di kalangan wanita dll.
****
Saya berharap seorang suami yang sanggup menata hatinya semisal di atas sebelum menafkahi istrinya, maka nanti di akhirat beliau akan selamat di akhirat dan tidak didebat Allah di hari penghisaban. Apalagi mengingat menafkahi anak istri adalah di antara pengeluaran terbesar lelaki dalam hidupnya yang banyak menghabiskan hartanya.
Sebab dia bisa berkata dengan sejujur-jujurnya di hadapan Allah, bicara sesuai kenyataan, dan tidak ada satupun unsur dusta saat membela diri di hadapan Allah. Dengan begitu dia membedakan dirinya dengan 3 orang di hari kiamat yang membela diri dengan cara berdusta sehingga didebat dan didamprat Allah di hari penghisaban.
Sesungguhnya menafkahi istri adalah di antara pintu terbaik menggunakan harta yang diamanahkan oleh Allah. Pahalanya bahkan lebih besar daripada pahala bersedekah, memerdekakan budak, dan membayai jihad fi sabilillah. Sayang kebanyakan suami tidak mengetahui. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Dinar (harta) yang kamu belanjakan di jalan Allah, dinar (harta) yang kamu nafkahkan untuk membebaskan budak, dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin, dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. Maka yang paling besar ganjaran pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (H.R.Muslim)
Penunjang catatan ini bisa dibaca dalam artikel berikut ini,
Tiga Macam Hisab pada Hari Kiamat
juga di sini,
Agar Tidak Didebat Allah di Hari Penghisaban
2 Jumadal Akhirah 1444 H/ 26 Des 2022 M pukul 19.29