Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Orang yang tidak beriman itu di akhirat nanti tidak dihisab.
Jadi, jika di Al-Qur’an diceritakan suasana penghisaban, maka yang dimaksud adalah hisab untuk mereka yang beriman. Ini mencakup hamba beriman di kalangan umat Nabi Muhammad ﷺ maupun umat-umat sebelum beliau.
Adapun orang yang tidak beriman, maka mereka langsung dilemparkan ke neraka. Tidak ada hisab untuk mereka. Semua kebaikan mereka sia-sia dan di akhirat akan dijadikan debu yang beterbangan. Jadi, tidak ada lagi maknanya dihisab.
Konsepsi hisab (الحِسَابُ) sendiri adalah aktivitas penghitungan dan pemberitahuan balasan/konsekuensi. Semacam “audit” jika di dunia keuangan. Yang dimaksud penghitungan adalah diperiksa seberapa banyak kebaikannya dibandingkan dengan kejahatannya, setelah itu ditimbang kemudian diputuskan apakah bisa diampuni atau harus dihukum. Jika dihukum, maka juga diputuskan apa hukumannya dan berapa lama menjalani hukuman sebelum akhirnya dibebaskan. Tentu saja makna seperti ini tidak diperlukan pada orang-orang yang kafir. Karena mereka semua sudah jelas nasibnya di neraka dan seluruh kebaikannya sia-sia.
Nah, hisab untuk hamba-hamba yang beriman ini ada tiga macam.
Pertama, hisab yang ringan.
Yakni, Allah menampakkan kebaikan-kebaikannya, lalu ditampakkan kesalahan-kesalahannya, kemudian semua kesalahan itu diampuni. Dengan demikian tampaklah besarnya nikmat Allah yang memberi taufik untuk taat dan tampaklah besarnya kebaikan Allah saat mengampuni dosa-dosanya. Setelah itu dia dipersilakan menuju surga. Hisab seperti ini yang disebut dalam Al-Qur’an dengan istilah ḥisāban yasīrā (حِسَابًا يَسِيْرًا) atau ‘arḍ (العَرْضُ) dalam hadis.
Kedua, hisab yang berat, tapi dimaafkan.
Yakni, Allah menampakkan kesalahan-kesalahannya, sampai hamba beriman tersebut yakin pasti akan dihukum dan masuk neraka. Tapi Allah mengingatkan bahwa di dunia dulu dia punya kebiasaan baik, yakni suka memutihkan piutang. Maksudnya, dia suka mengutangi orang susah, dan jika orang susah itu sulit membayar, maka langsung diputihkan. Dari situ Allah berkenan memutihkan dosa-dosanya sebagaimana sang hamba sukarela memutihkan hak-haknya kepada orang lain.
Anda bisa membayangkan betapa leganya hamba yang dihisab masuk kelompok ini. Sudah ketakutan setengah mati mau dijebloskan ke neraka, tapi ternyata ada amal baiknya yang sangat dihargai Allah. Riwayat pemutihan utang yang bisa menyelamatkan dari neraka itu sekaligus menunjukkan betapa besarnya penghargaan Allah terhadap orang yang punya sifat mudah memaafkan orang lain. Yakni orang-orang yang disakiti sesama, tetapi lebih memilih memaafkan mereka agar orang yang menyakitinya itu tidak berat hisabnya di akhirat, sementara dia sendiri juga berharap Allah berkenan memaafkan kesalahannya sebagaimana dia memaafkan kesalahan orang lain.
Ketiga, hisab yang berat dan berakhir di neraka.
Ini terjadi pada hamba-hamba beriman yang Allah tahu cacat-catat amal mereka yang tidak kasat mata. Mereka wafat dalam keadaan melakukan dosa besar dan belum bertaubat.
Misalnya orang berdakwah tapi tujuannya agar dipanggil ustaz atau kyai, atau mencari pengikut. Atau orang banyak membangun masjid atau berderma tetapi tujuannya agar dipanggil dermawan. Atau orang yang berjihad tapi biar disebut pahlawan, pemberani atau mujahid. Atau orang berhaji tapi tujuannya biar dipanggil abah/ummi/pak haji/bu haji. Atau orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar tapi dia sendiri melanggar yang ia dakwahkan. Atau orang yang berzina atau mencuri atau membunuh atau pemabuk atau makan riba atau mempraktekkan sihir atau dosa besar lainnya. Yang seperti ini sudah pasti yang diadili akan masuk neraka.
Ini adalah jenis hisab yang mengandung unsur munāqasyah (المناقشة). Padahal Rasulullah ﷺ sudah menegaskan bahwa siapapun yang dihisab lalu didebat (nūqisya), maka pasti binasa dia. Artinya pasti masuk neraka.
Hanya saja muslim yang masuk neraka (entah berapa hari, bulan, tahun, ratusan tahun, ribuan tahun), pada akhirnya akan masuk surga juga berkat syafaat Rasulullah ﷺ. Asalkan dalam hatinya masih ada tauhid. Masih ada kalimat lā ilāha illallāh.
Ini kondisi mukmin yang dihisab.
Ada juga jenis mukmin yang istimewa.
Mukmin “VVIP.”
Mereka masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Tetapi jumlah mereka tidak banyak. Rasulullah ﷺ mengabarkan, bahwa umatnya yang masuk surga tanpa hisab itu hanya 70.000 orang dan ini benar-benar bermakna angka pembatasan. Bukan lafal kinayah yang bermakna banyak. Jumlah 70.000 umat Islam yang masuk surga tanpa hisab dibandingkan dengan milyaran umat Islam yang dihitung sejak zaman Nabi ﷺ hingga hari kiamat tentu saja sedikit sekali.
Hanya saja ada kabar gembira. Diriwayatkan Rasulullah ﷺ meminta tambahan, lalu Allah mengizinkan untuk setiap 1000 orang dari mereka boleh membawa 70.000 orang lagi. Artinya setiap orang bisa membawa 70 mukmin. Jika ditotal secara matematis, berarti umat Islam yang masuk surga tanpa hisab itu perkiraannya adalah 70.000 x 70= 4.900.000 orang. Ini masih ditambah lagi oleh Allah dengan ungkapan ṡalāṡu ḥaṡayāt (ثَلَاثُ حَثَيَاتٍ), yakni tiga kali genggaman tangan. Maksudnya Allah menambah lagi angka sekitar 4.900.000 orang itu dengan sejumlah orang yang dirahasiakan Allah berapa persisnya, tapi diumpamakan seperti orang yang mengambil segenggam tanah sebanyak tiga kali.
Jika makna al-sābiqūn al-sābiqūn dalam Surah al-Wāqi‘ah adalah hamba-hamba beriman yang masuk surga tanpa hisab, berarti yang masuk surga tanpa hisab itu jumlahnya sedikit di kalangan umat Islam dan jumlahnya banyak dari akumulasi umat-umat sebelum Nabi Muhammad ﷺ . Allah berfirman,
﴿وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ (١٠) أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ (١١) فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ (١٢) ثُلَّةٌ مِنَ الْأَوَّلِينَ (١٣) وَقَلِيلٌ مِنَ الْآخِرِينَ﴾ [الواقعة: 10-14]
Artinya,
“Selain itu, (golongan ketiga adalah) orang-orang yang paling dahulu (beriman). Merekalah yang paling dahulu (masuk surga). itulah orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). (Mereka) berada dalam surga (yang penuh) kenikmatan. Mereka adalah) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan sedikit dari orang-orang yang (datang) kemudian. (Q.S. Al-Wāqi‘ah: 10-14)
Masuk golongan manakah kita?
Apakah yang masuk surga tanpa hisab?
Ataukah masuk golongan yang dihisab ringan?
Ataukah masuk golongan pendosa yang suka memaafkan hingga diampuni?
Ataukah golongan pendosa berat yang harus “dicuci” dulu di neraka sehingga sudah menjadi arang hidup saat dijemput Rasulullah ﷺ?
Atau jangan-jangan kita merasa beriman sementara di sisi Allah dipandang ingkar sebagaimana Ge-Er-nya umat sebelum kita sehingga langsung dilempar di neraka!
اللهم اجعلني ممن دخلوا الجنة بغير حساب
CATATAN:
Ada ikhtilaf ulama apakah orang kafir itu dihisab ataukah tidak. Jika diikuti pendapat ulama yang mengatakan bahwa orang kafir dihisab, maka maknanya tidak lebih hanya semacam “presentasi” semua dosa-dosa mereka selama di dunia, agar tahu bahwa mereka layak didamprat dan dicaci, juga agar tahu bagaimana kebaikan mereka di dunia sama sekali tidak ada manfaatnya, kemudian mereka dilemparkan ke neraka. Saya pribadi mengikuti pendapat ulama yang mengatakan orang kafir tidak dihisab berdasarkan argumentasi dalam catatan di atas.
8 Ramadan 1443 H/10 April pukul 13.55