Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Salah satu sifat Allah adalah al-‘Azīz (العَزِيْزُ).
Apa makna al-Azīz?
Al-Gazzāli menjelaskannya sebagai berikut,
Artinya,
“Al-‘Azīz adalah yang sangat berharga yang jarang ada seperti dia, sangat dibutuhkan dan sulit untuk mendapatkannya.” (al-Maqṣad al-Asnā hlm 73)
Jadi sifat al-‘Azīz itu menghimpun 3 hal,
- Sangat berharga
- Sangat dibutuhkan
- Tidak mudah mencapainya
Tiga aspek itu masing-masing mungkin dijelaskan. Akan tetapi dalam catatan ini saya ingin fokus pada aspek yang ketiga, yakni bahwa Allah itu Żat yang tidak mudah untuk sampai kepada-Nya. Artinya, Allah tidak bisa didekati hanya dengan santai-santai dan berjuang asal-asalan. Harus dengan usaha keras. Perjuangan ekstra. Pengorbanan yang tidak sedikit.
***
Lihatlah perjuangan yang harus ditempuh seorang hamba agar amal salehnya diterima.
Dia harus memastikan dulu bahwa caranya menyembah Allah itu sesuai dengan aturan yang ditetapkan-Nya. Untuk mencapai target ini dia harus berpayah-payah belajar fikih dulu.
Belajar fikih pun tidak mungkin langsung tuntas dan membenahi seluruh amal.
Seringkali loncat-loncat.
Hari ini belajar taharah, besok belajar jual beli, lalu kembali lagi ke salat, lalu belajar fikih nikah, dst.
Terkadang gurunya ganti-ganti.
Kadang diuji dengan ketemu guru yang tidak benar dulu.
Seringkali satu bab juga tidak tuntas.
Kadang hanya paham yang wajib-wajib saja.
Kadang ada yang disalah pahami bertahun-tahun dan terkoreksi setelah belasan tahun.
Semua orang bisa berbeda-beda.
Tergantung tingkat keseriusan belajar dan kelayakan hamba tersebut mendapatkan hudā jenis ini.
Yakni hudā memahami syariat untuk membenahi amal.
Setelah itu dia masih diuji dalam niatnya saat beramal saleh.
Godaan riya datang bertubi-tubi. Awal berhasil ikhlas, tapi di tengah muncul lagi riya. Kadang satu amal saleh dia harus menata niat sampai 10 kali, belasan kali, bahkan puluhan kali!
Gagal sedikit saja di fase menata niat ini, hancur leburlah amalnya dan tidak ada yang diterima Allah.
Setelah selesai amal dengan ikhlas, masih harus digoda ujub.
Yakni perasaan bangga dan kagum pada diri sendiri setelah selesai melakukan amal saleh.
Jika dia tidak melawannya dan tidak ingat bahwa semua atas bantuan serta taufiq Allah, maka hancur juga amalnya, tidak diterima Allah.
Setelah itu masih ada ujian sum’ah. Yakni kecenderungan untuk memamerkan dan membanggakan amalnya dengan cara diceritakan (atau sarana lain) untuk mendapatkan kekaguman dan tepuk tangan manusia. Jika ini tidak dilawan, maka hancur juga amalnya dan tidak diterima Allah.
Setelah itu dia harus terus berusaha menghindarkan diri dari segala dosa yang bisa menghancurkan amal seperti al-mannu (mengungkit-ungkit pemberian), al-aẓā (menyakiti orang lain dengan kata-kata), dengki, kata-kata kufur dan lain-lain.
Berusaha menjaga amal itupun harus dilakukan sampai seumur hidup!
Jika berhasil menjaga amalnya seserius itu, barulah amalnya diterima Allah!
Bandingkan dengan dosa.
Begitu dosa dilakukan, tidak perlu niat, tidak perlu pakai motivasi membangkang Allah, tidak perlu nawaitu li Iblis, hanya sekedar menuruti hawa nafsu, maka sudah tercatat sebagai dosa!
Apakah sekarang sudah terasa jika disebut Allah itu al-‘Azīz?
Mengimani Allah sebagai al-Azīz bermakna kita harus menyadari keluhuran-Nya, keagungan-Nya, kesucian-Nya, kehebatan-Nya, betapa butuhnya kita kepada-Nya dan bahwa Dia adalah Ẓat yang tidak sembarangan untuk didekati, tetapi harus dengan kelayakan tertentu, perjuangan tertentu dan pengorbanan tertentu!
Ketika seorang hamba dibuat sulit memperoleh salah satu keinginan duniawinya (misalnya mendapatkan istri idaman), seakan-akan dia dinasihati,
“Wahai hambaku. Lihatlah, hanya untuk memperoleh perkara duniawi yang hina saja engkau harus berjuang keras dan harus “berdarah-darah”, lalu bagaimana mungkin engkau bisa mendekat kepadaKu dengan sesantai-santai amalmu?”
Hanya Allah yang tahu siapa yang layak untuk mendapatkan petunjuk-Nya dan layak untuk didekatkan kepada-Nya!
12 Sya’ban 1444 H / 4 Maret 2022 pukul 20.00