Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Diberi susah itu hikmahnya minimal dua.
Pertama, lebih menghargai nikmat.
Kedua, melembutkan hati.
***
Saat masih mahasiswa dulu, saya pernah diuji dengan lapar.
Suatu malam, kantong saya benar-benar kosong.
Tidak ada uang sama sekali.
Saya segera menduga bahwa esok hari sepertinya saya akan kelaparan.
Tapi saya masih punya harapan bahwa Allah akan memberi rezeki esok hari. Sebab, sebenarnya saya masih punya piutang ke sejumlah orang. Hanya saja saya menjaga perasaan mereka dan tidak menagih piutang tersebut. Terkadang juga di pagi hari ada pegawai kampus yang tiba-tiba membelikan mie ayam. Jadi, di malam hari saya masih berharap Allah memberi rezeki dari salah satu dari dua pintu tersebut.
Esoknya, selesai salat subuh di masjid kampus, saya duduk-duduk di area kantor masjid.
Belajar, bersiap kuliah dan menunggu karunia Allah.
Ternyata sampai zuhur tidak ada makanan apapun yang bisa saya santap!
Saya bersabar lagi, “Barangkali maghrib nanti sudah ada rezeki.”
Ternyata sampai maghrib pun belum ada!
Akhirnya malam itu saya tidur dalam keadaan kelaparan.
Setiap kali perut terasa perih, maka saya isi dengan minum air kran masjid!
***
Sambil tidur dengan perut kosong, saya bergumam, “Semoga besok Allah sudah mengirimkan rezeki makanan untukku”
Selesai salat subuh, saya tunggu lagi.
Ternyata kisahnya sama dengan hari pertama!
Seharian perut saya tidak terisi kecuali oleh air kran masjid.
Malam itu, saya tidur dengan perut kosong yang lebih cekung lagi daripada hari pertama.
Hari kedua ini sudah lebih sulit lagi tidurnya. Hanya mereka yang pernah tidur dalam keadaan lapar yang bisa merasakan hal ini.
Tapi saya masih punya harapan,
“Semoga besok, hari ketiga adalah hari terakhir Allah mengujiku dengan kelaparan.”
***
Di hari ke-3 setelah subuh, saya mencoba beraktivitas normal seperti dua hari sebelumnya.
Belajar, ngisi kajian, kuliah dan mengajar bahasa Arab.
Saya tunggu sampai zuhur, ternyata belum ada yang bisa disantap juga!
Saya tunggu sampai Asar, ternyata masih belum ada juga!
Bahkan ketika saya tunggu sampai maghribpun, ternyata belum ada juga!
Badan saya mulai melemah, tubuh gemetar, dan lemas.
Dari situ saya mulai “menyerah” kemudan bergumam, “Baiklah saya akan berutang.”
***
Sampai di sini, mungkin ada pertanyaan, “Kenapa tidak berutang sejak hari pertama?”
Jawabannya: Memang saya sedapat mungkin menghindar dari utang kecuali sangat terpaksa. Sebab ada hadis yang menegaskan orang mati dalam keadaan punya utang tidak bisa masuk surga. Jadi, saya berpikir sebaiknya tidak bermudah-mudah dalam berutang.
Mungkin ada pertanyaan lagi, “Kenapa tidak minta kawan di kos misalnya, atau pura-pura bertamu untuk mendapatkan makanan misalnya?”
Jawabannya adalah memang sempat ada pikiran itu. Tapi saya teringat sebuah ayat dalam Surah al-Baqarah: “Yaḥsabuhumul jāhilu agniyā’a minat ta‘affuf”. Nah, ingatan terhadap ayat ini membuat saya mundur dan membatalkan rencana tersebut.
Jadi, saya bertekad tidak akan berutang kecuali rasa laparku sudah membahayakan fisik.
Ketika kelaparan sudah masuk ke hari ketiga, dan tubuh sudah mulai lemas bahkan gemetar, disaat itulah saya berpikir sudah saatnya untuk berutang.
***
Malam itu, sekira ba’da maghrib, saya pepet salah seorang kawan ke arah tembok dan saya berkata dengan lirih,
“Mohon maaf bolehkah saya berutang Rp 5000 saja?”
Di zaman itu, sekitar tahun 2004-2005, uang segitu sudah bisa untuk membeli sepiring makanan dan minuman. Saya sengaja hanya berutang untuk satu kali makan menyelamatkan tubuh. Setelah itu mencoba bersabar lagi jika misalnya diuji lapar lagi.
Terkejut kawan tersebut mendengar permintaan saya. Buru-buru beliau mengiyakan dan merogoh kocek.
Setelah mendapatkan uang itu, bergegas saya ke warung. Saya makan dengan penuh syukur, lalu kenyang dan kembali ke masjid.
Ajaib, begitu sampai ke masjid mereka yang punya utang ke saya tiba-tiba membayar satu demi satu sehingga saya pegang banyak uang lagi. Nampaknya Allah memang berkehendak menguji saya dengan kelaparan hanya sampai 3 hari.
Jadi, utang saya tidak berumur lama. Hanya beberapa jam saja. Sesegera malam itu juga langsung saya lunasi.
***
Pengalaman lapar di masa muda seperti itu sangat saya syukuri, karena berdampak dua hal dalam hidup saya.
Pertama, menjadi jauh lebih menghargai nikmat makanan. Ada perasaan sangat sedih jika melihat makanan tidak termakan atau terbuang. Jadi teringat masa-masa lapar itu. Ada semacam perasaan berdosa karena menyia-nyiakan nikmat Allah. Perasaan ini lebih membantu untuk mendidik keluarga supaya lebih menghargai nikmat makanan dari Allah.
Kedua, hati menjadi lebih lembut. Yakni, lebih bisa merasakan penderitaan orang yang lapar sehingga bisa berusaha memaksa diri lebih peka dengan orang yang lapar. Perasaan seperti ini bermanfaat saat melatih diri untuk memperhatikan kebutuhan makanan orang yang berpotensi lapar semisal tamu, musafir, mahasiswa miskin seperti saya dulu, dan orang-orang yang hidup di jalanan.
Tentu saja hal ini tidak bermakna setelah itu saya “sempurna”, tidak pernah menyia-nyiakan nikmat makanan atau tidak pernah mengabaikan orang yang lapar. Saya manusia biasa, yang sangat mungkin sering melakukan kesalahan. Sengaja maupun tidak. Tetapi paling tidak, kenangan peristiwa tersebut bisa membantu untuk lebih “cepat kembali” jika suatu hari lengah atau lalai. Minallāhi al-taufīq wa ‘alaihi tawakkaltu.
***
Saya teringat pengalaman ini karena membaca riwayat Nabi Musa yang pernah diuji lapar selama 7 hari!
Saya kagum, subhānallah..
Jika benar riwayat tersebut, berarti ujian orang saleh di masa lalu jauh lebih berat daripada yang saya rasakan.
Juga menunjukkan seakan-akan sudah menjadi sunatullah bahwa hamba beriman akan diuji lapar. Sebagimana Rasulullah ﷺ juga pernah diuji lapar dalam peristiwa pemboikotan di Mekah.
Jika saya hanya ujian lapar saja, itupun hanya 3 hari, maka Nabi Musa ujiannya bukan hanya lapar, tapi juga tidak punya tempat tinggal, tidak jelas singgah di mana, dan hidup menjadi buron takut dibunuh oleh Fir’aun. Al-Qurṭubī menulis,
Artinya,
“Beliau (Nabi Musa)–saat menolong 2 wanita penggembala dalam pelarian itu–belum merasakan makanan selama tujuh hari sementara perut beliau telah melekat sampai ke punggungnya.” (Tafsīr al-Qurṭubī, juz 13 hlm 269-270)
13 Zulkaidah 1444 H/ 2 Juni 2023 pukul 06.19