Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Mengenal Allah itu ada dua tahap,
Pertama: Membuktikan eksistensi-Nya (Iṡbātu al-wujūd)
Kedua: Mengenal sifat-sifat-Nya dan perbuatanNya (ma’rifatu al-ṣifāt wa al-af‘āl)
Di zaman sekarang, saya berpendapat pembuktian eksistensi Allah itu harus menangani sampai 3 level,
- Level awam
- Level ilmuwan/saintis
- Level filsuf
Yang paling penting adalah pembuktian untuk awam, karena mayoritas manusia di situ. Dengan bahasa-bahasa yang sederhana. Penanaman konsep ini kepada awam relatif mudah karena memang sejalan dengan fitrah.
Pembuktian untuk ilmuwan, saintis dan kaum terpelajar juga tidak kalah penting. Karena merekalah yang akan mengisi institusi-institusi pendidikan. Juga yang mengurus lembaga-lembaga negara dan merancang berbagai aturan. Sungguh rawan jika putra-putri kita dididik dan diurus oleh orang-orang yang ragu terhadap eksistensi Tuhan, apalagi mengingkarinya.
Level filsuf jumlahnya jauh lebih sedikit lagi.
Mereka tidak akan berpengaruh kepada orang awam, tapi pengaruhnya bisa kepada kaum terpelajar dan intelektual. Kaum terpelajar itulah yang punya potensi menyesatkan awam ketika punya kemampuan menyederhanakan pembahasan filsafat. Pikiran-pikiran filsuf inilah yang akan berpengaruh pada sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan struktur-struktur besar dalam bermasyarakat.
Harus ada sebagian kaum muslimin yang akalnya mencapai level filsuf untuk menjelaskan hal ini sehingga bisa melenyapkan syubhat di level filsafat.
Ulama-filsuf hebat di masa lalu semisal Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī, al-Gazzālī, Ibnu Taimiyyah dll telah melakukan tugasnya dengan baik. Di zaman sekarang diperlukan akal raksasa yang setara dengan mereka atau minimal mendekatinya, yang bukan hanya menguasai filsafat klasik tetapi juga menguasai filsafat modern, sehingga bisa memberikan jawaban-jawaban memuaskan terhadap syubhat anti Tuhan.
***
Kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan kita termasuk dakwah para dai saat ini banyak fokus menjelaskan sifat Allah dan perbuatan-Nya, sementara pembahasan bukti eksistensi Tuhan cenderung terabaikan. Akibatnya propaganda ateisme saat ini mendapatkan pasarnya dan sangat mudah masuk ke pikiran putra-putri kaum muslimin yang lugu. Bahkan yang membuat sedih, terkadang ada orang yang sebelumnya santri tapi akhirnya jadi murtad dan mengingkari eksistensi Tuhan karena tidak siap dengan gempuran pikiran saintis dan filsuf dari Barat yang anti Tuhan.
Santri yang hanya bisa bahasa Arab malah relatif lebih aman. Yang bisa bahasa asing, tapi dasar pembentukan akidahnya lemah, lalu mengembara dan mengarungi pemikiran Barat, tidak semua sanggup memiliki nalar kritis lalu berakhir dengan kemurtadan.
***
Sebaliknya, yang fokus dakwah pembuktian eksistensi Tuhan umumnya kebanyakan juga kurang perhatian menjelaskan sifat Allah dan perbuatan-Nya. Akibatnya, imannya berhenti pada keyakinan bahwa Tuhan itu ada, tapi tidak tidak terlalu mengenal bagaimana Dia. Akibatnya banyak yang tidak tahu bagaimana menunaikan hak-hak-Nya, dan bahkan mungkin banyak yang tidak sadar merasa menyembah-Nya padahal menyekutukanNya atau bahkan mengkufuri-Nya.
Dua tahapan mengenal Allah itu idealnya memang berimbang sesuai kebutuhan.
13 Muharram 1445 H/ 31 Juli 2023 pukul 08.55