Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara keajaiban yang bisa disaksikan dalam hidup adalah anak yang tidak dianggap, diremehkan, tidak diperhitungkan bahkan mungkin korban pilih kasih, dan sering disakiti justru menjadi anak yang paling berjasa dan paling berbakti saat orang tua sudah lemah, sakit-sakitan dan pikun.
Sebaliknya, anak yang disayang-sayang, diutamakan, diistimewakan, dibanggakan dan dipamer-pamerkan justru malah cuek, tidak peduli atau ngurus orang tua asal-asalan saat orang tua mulai butuh.
Memang sudah jadi rumus kehidupan yang diajarkan Rasulullah ﷺ. Bahwa semakin orang dihinakan tapi dia tetap bisa tawaduk dan memaafkan, maka Allah akan semakin menambahinya kemuliaan. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Tidaklah Allah menambahi seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang hamba bertawaduk karena Allah melainkan Allah akan mengangkatnya.” (H.R. Muslim)
***
Tapi jika seorang hamba kebetulan diuji Allah dengan dijadikan anak yang “disia-siakan”, sudah semestinya tidak perlu memelihara sakit hati apalagi menjadikannya sebagai ajang balas dendam saat orang tuanya mulai lemah dan Allah memberinya anugerah lebih yang melampaui saudara-saudaranya yang lain.
Sebaliknya, ujian semacam itu justru seharusnya membuat bersyukur. Karena dipasang Allah sebagai anak yang paling berpotensi untuk bermanfaat, berguna dan banyak memberikan kebaikan kepada orang tua. Artinya Allah berkehendak untuk memuliakannya di dunia dan di akhirat setelah melewati ujian yang tidak ringan. Jadi, lebih baik luka-luka di masa lalu itu dilupakan, dihapuskan dari ingatan dan dimaafkan. Lalu fokus berbuat baik kepada orang tua agar Allah rida. Biasanya orang akan melihat banyak keajaiban dalam hidupnya jika berhasil mencapai level ini. Entah berkahnya hidup, mudahnya urusan, lapangnya rezeki, kedudukan di masyarakat, kemuliaan dalam din atau anugerah-anugerah yang lain.
Ibrah yang lain adalah orang bisa mengambil pelajaran agar lebih baik lagi dalam memperlakukan anak, termasuk menantu. Jangan sampai membuat luka traumatis kepada anak. Berusaha berbuat adil sebaik-baiknya. Tidak membeda-bedakan antar-anak walaupun satu bisa dibanggakan sementara yang lain tidak. Juga menganggap menantu seperti anak sendiri. Sebab di masa tua, kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa jadi anak atau menantu yang paling kita remehkan, kita sia-siakan, kita sakiti atau kita benci justru menjadi yang paling kita butuhkan dan sangat kita syukuri kebaikannya.
28 Muharram 1445 H/ 15 Agustus 2023 pukul 09.13