Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Sebagian ulama membagi ikhlas menjadi 3 tingkatan: Tertinggi, pertengahan dan terendah.
Tertinggi: Beramal saleh karena Allah tanpa berharap pahala atau lari dari siksa.
Pertengahan: Beramal saleh karena berharap pahala dan menjauhi siksa.
Terendah: Beramal karena ingin mendapatkan dunia, seperti membaca Surah al-Wāqi’ah agar bisa kaya.
Al-Bājūrī mengungkapkan tingkatan ikhlas terendah ini dengan redaksi sebagai berikut,
Artinya,
(Tingkatan ikhlas paling rendah adalah) beramal saleh untuk mendapatkan dunia seperti membaca Surah al-Waqi’ah agar kaya dan semisalnya. Ini tingkatan paling rendah”
***
Tingkatan yang disebut tertinggi hanya ada secara teoritis bagi manusia, karena faktanya hanya mungkin dilakukan hamba Allah seperti malaikat, hewan, tanaman, bulan, matahari dan semisalnya karena mereka memang tidak dijanjikan surga dan diancam dengan neraka. Pembahasan ikhlas jenis ini bermanfaat untuk menunjukkan betapa besarnya hak Allah bagi hamba.
Tingkatan yang disebut pertengahan adalah amalnya para nabi-nabi, para rasul dan orang-orang saleh sepanjang masa di kalangan mukallafin baik manusia maupun jin. Karena tugas hidupnya memang menjadi manusia yang diberi harap dan takut, juga dijanjikan surga serta ditakut-takuti dengan neraka.
Oleh karena itu, manusia paling mulia seperti Rasulullah ﷺ sekalipun tetap berharap surga, meminta surga, takut neraka dan berlindung dari neraka.
Tidak ada satu dalil pun yang bisa membenarkan bahwa Rasulullah ﷺ dalam beramal sama sekali tidak berharap surga dan tidak takut dengan neraka.
Tidak mungkin juga mengatakan ada umatnya yang mencapai tingkatan ikhlas tertinggi sementara Rasulullah ﷺ “hanya bisa” ikhlas pertengahan.
Tingkatan yang disebut terrendah, ini yang harus didudukkan dan dijelaskan lebih detail karena berpotensi sangat membahayakan akhirat para awam dan menghancurkan seluruh amal saleh mereka jika disalahpahami.
***
Orang yang beramal saleh dengan niat mendapatkan keuntungan duniawi mustahil disebut ikhlas.
Sebab itu sudah bertentangan dengan definisi ikhlas secara bahasa, definisi ikhlas secara syar’i, dalil-dalil tentang ikhlas dan banyak ucapan ulama yang menjelaskan tentang ikhlas.
Secara bahasa, ikhlas itu bermakna memurnikan. Jika orang beramal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah, lalu dicampuri niat ingin kaya maka itu sudah tidak bisa disebut murni. Jadi secara bahasa juga tidak masuk definisi ikhlas.
Definisi ikhlas secara syar’i juga mengharuskan amal saleh itu murni semata-mata untuk mendapatkan rida Allah. Jika, ada orang beramal saleh dengan niat mencari rida Allah dan dicampur keinginan dapat jabatan misalnya, maka sudah tidak murni lagi niatnya. Jadi tidak bisa disebut ikhlas secara syar’i.
Dari sisi dalil sekalipun juga demikian. Ada riwayat seorang lelaki berjihad dengan niat mendapatkan pahala sekaligus ingin dapat ganimah. Artiya amal salehnya ada unsur target duniawi. Yang seperti ini Rasulullah ﷺ menegaskan dia tidak dapat pahala sama sekali. Artinya amalnya sudah tidak ikhlas, tapi sudah tercampur. Abū Dāwūd meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah bahwa Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, seseorang ingin berjihad di jalan Allah, dan ia mengharapkan harta-harta dunia.” Lalu Rasulullah ﷺ berkata: “Ia tidak mendapatkan pahala.” Maka hal tersebut terasa berat bagi orang-orang, dan mereka berkata kepada orang tersebut: “Kembalilah kepada Rasulullah ﷺ kemungkinan engkau belum memahamkan beliau.” Lalu orang tersebut berkata: “Wahai Rasulullah, seseorang ingin berjihad di jalan Allah, dan ia mengharapkan harta-harta dunia.” Lalu Rasulullah ﷺ berkata: “Ia tidak mendapatkan pahala.” Dan mereka berkata kepada orang tersebut: “Kembalilah kepada Rasulullah ﷺ !” Kemudian orang tersebut berkata kepada beliau untuk ketiga kalinya, lalu beliau berkata kepadanya: “Ia tidak mendapatkan pahala.” (H.R. Abū Dāwūd)
Ucapan ulama dalam hal ini juga cukup banyak. Misalnya al-Gazzālī. Beliau menegaskan bahwa amal saleh apapun yang kecampuran motif duniawi, entah berupa pujian manusia, apresiasi manusia, ataupun keuntungan-keuntungan duniawi lainnya, maka itu sudah keluar dari definisi ikhlas dan tidak bisa disebut ikhlas.
Al-Gazzālī memberi contoh-contoh yang indah sekali terkait amal saleh yang hancur karena motif duniawi dalam kitab Ihyā’ Ulūmiddīn.
Dari contoh-contoh penghancur amal yang beliau tulis, kita bisa menyimpulkan bahwa orang berpuasa dengan kecampuran niat ingin langsing, atau ke masjid jalan kaki dengan kecampuran niat ingin sehat, atau lama bersujud dengan kecampuran niat agar peredaran darah lancar, atau berselawat dengan niat agar dapat mobil fortuner dan semisalnya adalah contoh-contoh amal yang hancur pahalanya karena kemasukan motif duniawi, sudah keluar dari definisi ikhlas dan masuk definisi syirik (kecil). Al-Gazzālī berkata,
Artinya,
“Selama motivasinya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tertambahi lintasan-litasan hati seperti ini (yakni keinginan duniawi) hingga amal menjadi terasa ringan karena motif-motif duniawi tersebut, maka amalnya sudah keluar dari definisi ikhlas dan keluar dari sifat murni karena Allah dan sudah kemasukan syirik –kecil-” (Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn juz 4 hlm 379-380)
***
Kalau begitu apa maksud sebagian ulama yang mengatakan bahwa tingkatan ikhlas terendah itu adalah beramal saleh untuk mendapatkan dunia?
Jawabannya begini.
Punya keinginan duniawi tapi masih masuk definisi ikhlas adalah BERAMAL SALEH KARENA ALLAH DULU, setelah itu menampakkan rasa butuh kepada Allah/iẓhāru al-ḥājah (إظهار الحاجة) terkait urusan dunianya.
Seperti salat istisqā’/minta hujan.
Kita salat dulu karena Allah, dengan niat taqarrub ilallāh, mendekat kepada Allah, memohon ampun atas segala dosa, merasa segala musibah adalah karena maksiat, kemudian berharap amal salehnya berupa salat maupun zikir diterima Allah.
Setelah itu barulah menampakkan rasa butuh kepada Allah terkait urusan dunianya dengan meminta hujan kepada Allah.
Makna seperti ini juga ada dalam salat hajat, salat istikharah dan semisalnya.
Yang jelas, semua amal itu dikatakan ikhlas murni adalah ketika tidak menjadikan motif duniawi sebagai pendorong untuk melakukan amal saleh.
Ini soal daqīq/halus.
Karenanya, agar tidak menimbulkan salah paham, redaksi Al-Bājūrī di atas idealnya ditulis begini,
Artinya,
(Tingkatan ikhlas paling rendah adalah) beramal saleh KARENA Allah untuk mendapatkan dunia.”
Yakni menekankan bahwa amal saleh harus dilakukan karena Allah dulu, barulah setelah itu berharap mendapatkan dunia dengan cara meminta kepada Allah.
Saya melihat redaksi yang ditulis oleh Nawawi al-Jāwī lebih akurat dan lebih berhati-hati. Beliau menulis dalam Naṣā’iḥ al-‘Ibād,
Artinya,
“(Tingkatan ikhlas paling rendah adalah) beramal KARENA Allah, agar Dia memberinya keuntungan duniawi.”
***
Jika sampai keinginan duniawi itu masuk dalam motivasi (bukan dimintakan setelah melakukan amal saleh), maka waspadalah.
Sebab prosentase niat duniawi itu sangat menentukan status amal kita apakah hancur lebur ataukah masih ada harapan diterima.
Jika motif duniawi itu full 100 persen, maka jelas hancur leburlah amal salehnya.
Jika motif duniawi itu dominan daripada niat mendekat kepada Allah, maka hancur lebur juga amal salehnya.
Jika motif duniawi itu fifty-fifty dengan niat mendekat kepada Allah, maka masih hancur lebur juga amal salehnya.
Jika motif duniawi itu tidak dominan, maka itulah yang masih bisa diharapkan mendapatkan pahala.
Al-Gazzālī berkata,
Artinya,
“Jika niat mendekat kepada Allah itu dominan dibandingkan dengan motivasi yang lain (yakni motif duniawi), maka dia mendapatkan pahala sesuai dengan kadar kekuatan motivasi din.” (Iḥyā’ Ulūmiddīn, juz 4 hlm 384)
Wallahua‘lam.
3 Safar H/ 20 Agustus 2023 pukul 10.07