Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Bahasa Arab yang fasih itu, setiap kali mewaqofkan kata dalam kondisi rafa’ (الرَّفْعُ) atau jarr (الْجَرُّ), maka nun tanwin selalu dibuang dan huruf terakhir disukun.
Jadi, kata muhammadun (مُحَمَّدٌ) dan muhammadin (مُحَمَّدٍ), jika diwaqofkan akan dibaca muhammad (مُحَمَّدْ). Adapun dalam kondisi naṣab (النَّصْبُ), maka nun tanwin bukan dibuang saja, tapi harus diganti menjadi alif. Jadi kata muhammadan (مُحَمَّداً) jika diwaqofkan harus dibaca muhammadā (مُحَمَّدَا).
Tetapi dialek Rabī‘ah (رَبِيْعَة) itu unik.
Cara mereka mewaqofkan isim adalah dengan membuang nun tanwin secara mutlak dan mensukunkan huruf terakhir dalam kondisi apapun.
Jadi kata muhammadun, muhammadin dan muhammadin, dalam dialek Rabī‘ah saat diwaqofkan semuanya dibaca sama, yaitu muhammad (مُحَمَّدْ).
***
Oleh karena itu sekarang kita bisa memahami lebih dalam pelafalan kata muqtadī bait ke-13 nazham al-‘Imrīṭī berikut ini,
Kata muqtadī di atas, seharusnya dibaca muqtadiyan yakni dibaca dengan i’rāb naṣab (النَّصْبُ) karena posisi sintaksisnya adalah menjadi ḥāl dengan ṣāḥibul ḥāl lafaz tu (تُ) pada frasa naẓamtuhā (نَظَمْتُهَا).
Tetapi dalam dialek Rabī‘āh, perbuatan al-‘Imrīṭī bisa dibenarkan karena kabilah tersebut selalu mensukunkan huruf terakhir saat mewaqofkan dalam kondisi apapun, walaupun dalam kondisi naṣab (النَّصْبُ).
***
Beda lagi dialek Azd (أزد).
Tertarik mengetahuinya?
Silakan dinikmati dalam kajian mendalam nazham al-‘Imrīṭī bait ke 13 di KANAL MUNTAHA.
Bisa juga langsung masuk lewat tautan di sini.
12 November 2023/ 26 Rabi’u al-Tsānī 1445 H pukul 12.37