Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ada orang seperti Snouck Hurgronje yang walaupun mendalam kajiannya tentang Islam dan mengarang banyak karya terkait Islam, tapi sama sekali ilmunya tidak pernah berkah dan tidak menjadi pelita untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah.
Sebaliknya ada hamba Allah seperti Ibnu Ājurrūm yang walaupun karyanya yang terkenal hanya al-Muqaddimah al-Ājurrūmiyyah, tapi berkah ilmunya luar biasa dan ilmunya dimanfaatkan hamba-hamba beriman hingga hari ini.
Apa yang membedakan keduanya?
Yang membedakan adalah i’tiqād.
Snouck Hurgronje tidak pernah meyakini Nabi Muhammad sebagai utusan Allah.
Niatnya mempelajari Islam hanya karena untuk kepentingan dunianya. Melayani penjajah Belanda.
Pura-pura masuk Islam secara munafik. Ia sendiri mengakui islamnya pura-pura dalam surat yang dikirimkannya kepada teman sesama orientalisnya: Carl Bezold, tanggal 18 Februari 1886. Oleh karena itu, Allah tidak membuat ilmunya berkah.
Adapun Ibnu Ājurrūm, beliau asli ulama ikhlas. Mengimani kenabian Rasulullah ﷺ, dan beramal karena Allah. Oleh karena itu, ilmunya dibuat bermanfaat luas.
***
Oleh karena itu benarlah al-‘Imrīṭī ketika mengatakan bahwa diangkatnya derajat seseorang hamba itu tergantung kadar keyakinannya.
Artinya,
“Karena seorang pemuda (itu) diangkat (derajatnya sesuai) kadar keyakinannya, dan setiap (orang) yang tidak punya keyakinan, (maka ) dia tidak (bisa) mengambil manfaat.”
Syarat mutlak seseorang yang ingin ilmunya berkah dan bermanfaat adalah berhusnuzan dan meyakini kebaikan serta keutamaan gurunya. Hukuman minimal bagi orang yang merendahkan orang-orang saleh nan berilmu adalah dicegah mendapatkan berkah ilmunya.
Ulasan lebih dalam tentang i’tiqad ini bisa dinikmati di kajian mendalam bait ke -17 nazham al-‘Imrīṭī di KANAL MUNTAHA. Atau di sini.
28 November 2023/ 15 Jumādā al-Ūlā 1445 H pukul 19.59