Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Sebagaimana dalam Al-Qur’an tidak ada ajaran Nur Muhammad, maka demikian pula tidak ada ajaran tersebut dalam hadis-hadis Nabi ﷺ.
Tidak ada dalam Sahih al-Bukhārī, Sahih Muslim, Sunan Abū Dāwūd, Sunan al-Tirmiżī dan seluruh al-Kutub al-Sittah. Tidak ada juga dalam Muwaṭṭa’ Mālik, Musnad Ahmad, Musnad al-Syāfi‘ī, Sahih Ibnu Hibbān, Sahih Ibnu Khuzaimah, Sunan al-Dārimi, Sunan al-Dāraquṭnī, al-Sunan al-Kubrā lil Baihaqī dan semua kitab hadis yang terbiasa dipakai dalam istidlal dalam masalah akidah maupun hukum.
Ringkasnya, tidak ada satupun hadis sahih, bahkan hadis hasan saja juga tidak ada yang menunjukkan Rasulullah ﷺ pernah berbicara tentang Nur Muhammad atau mengajarkan konsepsi Nur Muhammad baik eksplisit maupun implisit.
Jika sudah terbukti bahwa tidak ada satupun hadis sahih, bahkan hasan saja juga tidak ada terkait Nur Muhammad, maka haram hukumnya mengkonstruksi akidah memakai riwayat yang daif apalagi palsu. Kaidah seperti ini sudah disepakati oleh para ulama. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Adapun (riwayat) daif maka tidak boleh dijadikan hujah dalam perkara hukum dan akidah.” (al-Majmū’, juz 1 hlm 59)
Dalam serial ini, insya Allah akan saya buktikan bahwa seluruh riwayat tentang Nur Muhammad itu semuanya adalah hadis palsu, dan yang terbaik hanyalah mencapai kualitas daif yang tentu tidak boleh dijadikan dasar untuk membangun perkara akidah.
Saya mulai dari riwayat yang paling terkenal dulu.
***
Riwayat paling terkenal terkait Nur Muhammad adalah riwayat Jābir. Konon Jābir bertanya kepada Rasulullah ﷺ yang maknanya,
“Wahai Rasulullah ﷺ, apa makhluk pertama yang diciptakan Allah?”
Lalu Rasulullah ﷺ menjawab,
Artinya,
“Ia adalah nur nabimu, wahai Jābir.”
Setelah itu konon Allah membagi Nur Muhammad menjadi empat bagian dengan cerita panjang dalam lanjutan riwayat ini.
Lafaz di atas adalah versi yang tercantum pada kitab al-Nafaḥāt al-Makkiyyah wa al-Lamaḥāt al-Ḥaqqiyyah karya al-Miraganī. Ada juga versi panjang dalam kitab Tabri’atu al-Żimmah karya Muhammad al-Burhānī. Riwayat tersebut juga ditulis oleh al-Qasṭālānī dalam al-Mawāhib al-Ladunniyyah, juga Ibnu ‘Arabī dalam al-Futūhāt al-Makkiyyah. Menariknya riwayat tersebut juga dicantumkan juga dalam kitab Syiah, yakni Biḥāru al-Anwār yang berasal dari kitab Riyāḍu al-Janān yang masih berupa manuskrip.
Dari semua referensi di atas, tidak ada satu pun yang sanggup menunjukkan secara sah dan meyakinkan siapa mukharrij/kompilator hadisnya dan apa sanadnya!
***
Yang ada adalah klaim Ibnu ‘Arabī yang menisbahkan riwayat di atas pada Abdur Razzāq dalam Muṣannafnya. Muhammad Al-Burhānī juga menisbahkannya kepada Abdur Razzāq dengan mengklaim terdapat dalam kitab beliau yang bernama Jannatu al-Khuldi. Al-Qaṣṭalānī dalam Al-Mawāhib Al-Ladunniyyah juga menisbahkannya kepada Muṣannaf Abdur Razzāq yang kemudian ditaklidi oleh sejumlah ulama tanpa meneliti lebih jauh. Di antara ulama yang mentaklidi informasi al-Qasṭālānī adalah al-Zarqānī dalam syarah beliau terhadap al-Mawāhib Al-Ladunniyyah tersebut, al-‘Ijlūnī dalam Kasyfu al-Khafā’, dan al-Laknawī dalam al-Ātsār al-Marfū‘ah fī al-Akhbār al-Mauḍū‘ah.
Klaim inipun tidak benar. Karena setelah diteliti, ternyata tidak ada dalam karya Abdur Razzāq manapun entah Muṣannaf atau yang lainnya yang mencantumkan riwayat tersebut. Bisa jadi yang dimaksud Ibnu ‘Arabī malahan adalah Abdur Razzāq al-Kāsyānī, pensyarah kitab Ibnu ‘Arabī sendiri yang termasuk sufi ghulāt, bukan Abdur Razzāq al-Ṣan’ānī sang ahli hadis.
Ringkasnya, fakta yang tak terbantahkan terkait riwayat tersebut adalah ia TIDAK BERSANAD dan tidak jelas siapa mukharrijnya!
Dari satu hal ini saja sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan kebatilan riwayat tersebut. Sebab hadis yang jelas siapa mukharrij-nya dan jelas sanadnya saja jatuhnya bisa dihukumi hadis palsu, apalagi riwayat yang tidak bersanad. Siapapun bisa mengarang-ngarang hadis tanpa sanad, lalu diklaim itu sabda Nabi ﷺ.
Malahan saya menemukan kesan bahwa syaikh Abdullah al-Gumārī menduga Ibnu ‘Arabī-lah yang menciptakan riwayat tersebut, atau paling tidak orang pertama kali yang mempopulerkan setelah menerima riwayat tersebut entah dari siapa.
***
Pernyataan sejumlah ulama hadis menegaskan bahwa riwayat tersebut adalah hadis palsu.
al-Suyuṭī mengatakan, riwayat tersebut tidak punya sanad yang bisa dipegang. Al-Albānī mengatakan bahwa itu riwayat yang tidak ada dasarnya. Ahmad al-Ghumārī juga menegaskan bahwa itu adalah hadis palsu. Beliau berkata,
,
Artinya,
“Itu (riwayat Jābir tentang Nur Muhammad) adalah hadis palsu. Seandainya disebutkan secara lengkap, maka orang yang mendapatkannya tidak akan ragu kepalsuannya. Riwayat sisanya kira-kira sepanjang dua waraqah dalam potongan besar yang mengandung lafaz lemah dan makna-makna mungkar.” (al-Mugīr ‘Alā al-Aḥādīṡ al-Mauḍū’ah fī al-Jāmi’ al-Ṣagīr, hlm 52)
***
Sejumlah ulama bahkan mengarang kitab khusus untuk menunjukkan kebatilan dan kepalsuan riwayat tersebut. Di antaranya,
- Abdullāh al-Gumārī dalam kitab Mursyidu al-Ḥā’ir li Bayāni Waḍ’i Ḥadītsi Jābir
- Hassān al-Saqqāf dalam Irsyādu al-Āṡir li Waḍ’i Ḥādītsi Awwalu Mā Khalaqallāhu Nūru Nabiyyika Yā Jābir
- Muhammad al-Syanqīṭī dalam Tanbīh al-Ḥużżāq ‘Alā Buṭlāni Mā Syā’a Baina al-Anām min Ḥadītsi al-Nūr al-Mansūb li Muṣannaf ‘Abdur Razzāq
***
Kesimpulannya, hadis Nur Muhammad riwayat Jabir adalah HADIS PALSU. Namanya hadis palsu, tentu haram dijadikan dasar untuk membangun akidah dan keyakinan apapun. Termasuk keyakinan tentang Nur Muhammad.
Menurut hadis yang sahih atau hasan, makhluk yang pertama kali diciptakan adalah al-qalam. Sebagian ulama ada yang berpendapat ‘Arsy. Adalagi yang berpendapat air. Yang jelas, tidak ada hadis sahih atau hasan sekalipun yang menyebut bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah Nur Muhammad.
***
Bagaimana dengan riwayat lainnya?
Adakah riwayat hadis lain yang mungkin dihukumi sahih atau hasan?
Jawabannya adalah: Semuanya juga batil, palsu atau daif. Insya Allah akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.
21 Januari 2023/ 10 Rajab 1445 H pukul 10.57