Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Tidak benar jika dikatakan bagian Muṣannaf ‘Abdur Razzāq yang hilang itu telah ditemukan.
Manuskripnya palsu dan versi cetakannya yang ditahkik ‘Īsā al-Ḥimyarī pun penuh skandal.
Di antara buktinya adalah ke-ngaco-an sanadnya.
***
Kesahihan riwayat itu tidak hanya dinilai dari kredibilitas/ke-tsiqah-an perawi. Tetapi juga harus bisa diamankan dari penyakit sanad yang kasat mata maupun yang tidak.
Saya beri perumpamaan.
Anggap saja Muafa itu tsiqah/kredibel.
Lalu Muafa ngaku mendapatkan informasi dari Pangeran Diponegoro.
Apakah Anda percaya informasi tersebut?
Tentu saja itu informasi yang tidak boleh dipegang. Karena Muafa tidak hidup di zaman Diponegoro sehingga mustahil mendapatkan informasi dari Diponegoro. Nah, fakta BEDA ZAMAN ini adalah contoh penyakit sanad.
***
Hidup sezaman pun belum tentu membuat sanadnya dinilai sahih.
Misalnya Muafa ngaku mendapatkan informasi dari Syaikh Wahbah al-Zuhaili.
Walaupun Muafa hidup sezaman dengan beliau dan ada kemungkinan bertemu dengan beliau sebelum wafatnya, tetapi banyak teman dan kenalan Muafa bersaksi bahwa Muafa tidak pernah bertemu Syaikh Wahbah al-Zuhaili. Jadi, pengakuan Muafa mendapatkan informasi dari Syaikh Wahbah al-Zuhaili adalah sesuatu yang tidak bisa dipegang. Ini juga contoh penyakit sanad.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa sanad yang zahirnya sahih itu belum tentu sahih. Hanya ahli hadis yang ngerti banget hadis yang bisa menjelaskan penyakitnya di mana
***
Nah, sanad dalam manuskrip Muṣannaf Abdur Razzāq yang palsu buatan orang India itu banyak sekali contoh sanadnya yang ngaco.
Kelihatan diciptakan dan dikarang-karang.
Saya berikan beberapa contoh.
Dalam hadis No.2 manuskrip tersebut, orang India majhul ini menyebut Ibnu Juraij mendapatkan riwayat dari al-Barā’ dengan redaksi akhbaranī (beliau memberitahu aku). Teksnya tertulis begini,
Artinya,
“‘Abdur Razzāq dari Ibn Juraij, beliau berkata, al-Barā’ memberitahu aku…”
Sanad ini menjadi petunjuk bahwa pembuatnya jahil ilmu hadis.
Sebab, Ibnu Juraij itu tābi’ut tābiin sementara al-Barā’ adalah Sahabat.
Logikanya, guru Ibnu Juraij adalah tabi’in, bukan Sahabat, karena sudah beda generasi. Ibnu Juraij tidak mungkin bertemu al-Barā’ sebagaimana Muafa tidak mungkin ketemu pangeran Diponegoro karena sudah beda zaman.
Lalu jika sampai Ibnu Juraij diklaim bertemu al-Barā’, apa iya Ibnu Juraij ketemu al-Barā’ pakai mesin waktu, begitu?
Bukankah ini tanda kepalsuan sanad ini?
Ibnu Juraij itu ulama hadis besar.
Perawi terhormat.
Anti dusta.
Jika Ibnu Juraij sampai berani bilang “Al-Barā’ MEMBERITAHU SAYA, maka sudah pasti beliau akan dicap pendusta karena tidak mungkin Ibnu Juraij bertemu dengan al-Barā’.
Memang betul beliau dikenal terkadang melakukan tadlis. Tetapi tadlis itu tidak menjadi cacat asalkan saat melakukan adā’ (الأداء) riwayat beliau pakai sigat ‘an’anah (صيغة العنعنة).
Pemakaian sigat ‘an’anah membuat perawi bebas dari hukum berdusta.
Tapi jika sudah berani bilang akhbarani (beliau MEMBERITAHU saya) maka secara tidak langsung ini mengabarkan telah bertemu dengan gurunya dan mendapatkan hadis langsung dari beliau. Jika Ibnu Juraij sampai melakukan itu, berarti beliau berdusta terang-terangan.
Jadi, sanad hadis ke 2 Muṣannaf Abdur Razzāq kiriman orang india ini menunjukkan sanadnya adalah hasil fabrication/pemalsuan/dikarang-karang. Mustahil dari ‘Abdur Razzāq.
(bersambung ke bagian 4)
25 Januari 2024/ 14 Rajab 1445 H pukul 20.32