Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika seorang filsuf yang lemah fikih seperti Ibnu Sina atau al-Fārābī sampai terpengaruh pikiran filsafat dan bahkan sampai meyakini qadim-nya/keazalian alam semesta, maka itu masih “wajar”.
Yang dahsyat adalah orang-orang seperti Ibnu Rusyd. Yang bergelut fikih, sampai bisa mengarang kitab Bidāyatu al-Mujtahid, tetapi karena terpengaruh filsafat, maka sampai-sampai dalam urusan akidah dasar saja tetap tidak bisa tegas. Jika kita melacak bagaimana pemikiran Ibnu Rusyd terkait siksa dan kenikmatan di akhirat, apakah rohani saja ataukah sekaligus jasmani, maka kita akan mendapatkan data mengejutkan: beliau ber-tawaqquf!
Padahal penjelasan ulama dalam hal ini simpel: kalau meyakini di akhirat yang merasakan kenikmatan dan kesengsaraan hanya roh, maka statusnya kafir. Jika meyakini jasmani dan rohani maka dia mukmin.
Tapi menegaskan dirinya masuk mana saja ternyata Ibn Rusyd susah berkata tegas. Ini karena kuatnya pengaruh filsafat pada akal beliau sampai level ingin mengkompromikan buah renungan filsafat dengan akidah Islam.
Padahal banyak dalil menegaskan bahwa kebangkitan di akhirat itu sifatnya jasmani dan rohani, bahwa tubuh manusia akan dikembalikan jasadnya seperti di dunia, lalu mereka akan merasakan siksa atau nikmat persis seperti tubuh jasmani di dunia tanpa ada perbedaan. Hanya saja di akhirat tidak ada kematian.
Tapi karena kuatnya pengaruh filsafat, maka beliau sampai tidak bisa tegas.
Pemikiran filsafat menyimpulkan bahwa kenikmatan akhirat hanya mungkin rohani saja. Tapi dalil wahyu jelas menyebut rohani sekaligus jasmani. Akhirnya Ibn Rusyd berusaha mengkompromikan antara filsafat dengan imannya dengan mengatakan: semuanya ijtihad. Bisa jadi benar salah satu! Dengan kata lain, akidah dasar seperti inipun gara-gara filsafat juga tidak bisa tegas.
***
Lihat juga kasus al-Gazzālī.
Beliau lebih kritis daripada Ibnu Rusyd.
Beliau sanggup menjelaskan kekacauan filsafat di mana.
Tapi murid beliau sendiri yang bernama Ibnu al-‘Arabi al-Mālikī (bedakan dengan Ibnu Arabi tanpa alif lam sang pengarang al-Futūhāt al-Makkiyyah) bersaksi bahwa al-Gazzālī sudah berusaha untuk memuntahkan semua pengaruh filsafat yang pernah beliau telan, tapi beliau gagal!
Tampak pada karya-karya semisal Kīmiyā’u al-Sa’ādah, Misykāt al-Anwār bagaimana pengaruh filsafat masih kuat pada cara beliau bernalar.
***
Apalagi level-level kita ini.
Jika tidak punya akal jenius, sebaiknya jangan membuang waktu dengan filsafat.
Jika punya akal sebesar al-Gazzālī sekalipun, tetap disarankan berhati-hati.
Pastikan menguasai dasar-dasar din dulu dan menguasai fikih.
Agar tahu mana pemikiran yang mengkafirkan, membid’ahkan atau pemikiran mubah yang lahir dari filsafat.
Agar tidak terlalu jauh dalam mengembara, lalu akhirnya tidak bisa kembali, kemudian secara tidak sadar malah murtad dari Islam!
***
Oleh karena itu, saya nasihatkan kembali: Jangan mencampur tasawuf dengan filsafat.
Jangan ikut tasawuf falsafi.
Yang mengajarkan Wahdatul Wujud dan Nur Muhammad.
Jangan masuk ke ajaran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī termasuk semua orang yang melanjutkan pemikirannya.
Jika bertasawuf, pastikan basisnya adalah fikih. Karena bermakna itu dikontrol Al-Qur’an dan Sunah.
Yakni tasawuf al-Junaid, al-Gazzālī, al-Syāżilī atau yang semisal dengan itu.
28 Januari 2024/ 17 Rajab 1445 H pukul 12.31