Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Mengapa sebagian orang saleh lebih memilih minimalis sekali dalam kemewahan dan fasilitas hidup? Bukankah kita pernah mendengar riwayat bagaimana Umar saat jadi khalifah dan berpidato lalu pada sarungnya ditemukan ada 12 tambalan? Ibnu Sa’ad meriwayatkan,
Artinya,
“Bahwasanya Umar bin al-Khaṭtāb pada sarungnya terdapat 12 tambalan sebagiannya terbuat dari kulit padahal beliau menjadi Amirul Mukminin/khalifah.” (al-Ṭabaqāt al-Kubrā, juz 3 hlm 305)
Sebabnya adalah kenikmatan duniawi walaupun mubah, maka PUNYA KONSEKUENSI.
Apa itu konsekuensinya?
Konsekuensinya adalah MENURUNKAN DERAJAT di akhirat!
Walaupun aman dari hukuman!
Penjelasan seperti ini ditegaskan sendiri oleh Umar. Ibnu Abī al-Dunyā meriwayatkan,
Artinya,
“Umar berkata, ‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya bukan karena akan mengurangi pahalaku (di akhirat), niscaya aku akan ikut-ikutan bersama kalian dalam menikmati kenyamanan hidup!” (Iṣlāḥu al-Māl, hlm 104)
Senada dengan ini adalah ucapan Ibnu Umar. Ibnu Abī al-Dunyā meriwayatkan,
Artinya,
Dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Tidaklah seorang hamba memperoleh sebagian dunia, kecuali hal itu MENGURANGI DERAJATNYA DI SISI ALLAH, sekalipun ia mulia di sisi-Nya.” (Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Az-Zuhd hlm 142. Ibnu Hajar menukil penilaian Al-Mundziri bahwa sanadnya jayyid. AL-Albani menshahihkannya.)
Mereka yang menjaga diri tidak melakukan yang haram, melaksanakan kewajiban, tapi “mem-pol-pol kan” dan maksimalis dalam kemewahan serta kesenangan hidup adalah orang-orang yang disebut Allah dalam Al-Qur’an dengan sebutan muqtaṣid (المقتصد).
Mereka tidak dihukum, tapi derajatnya di surga turun! Ibnu Rajab berkata,
Artinya,
“Tidak ada hukuman bagi mereka (yakni yang maksimalis dalam menikmati kemewahan hidup yang mubah). Hanya saja hal tersebut akan mengurangi derajat mereka di akhirat sesuai dengan kadar bersenang-senang mereka di dunia” (Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, juz 2 hlm 188)
***
Oleh karena itu, memberi contoh kesederhanaan imam Ahmad dalam fasilitas hidup harus disertai penjelasan yang tepat agar tidak ada kesan bahwa ustaz/dai/ulama apalagi orang awam itu harus miskin dan lusuh agar layak disebut zuhud.
Demikian pula memberi contoh kemewahan Imam Malik juga jangan diglorifikasi berlebihan sampai level memberi kesan bahwa ustaz/dai/ulama apa lagi orang awam itu harus kaya dan mewah.
Pilihan orang terkait cara hidup bisa berbeda-beda tergantung kondisi, situasi, kedalaman ilmu, pengalaman spiritual dll.
10 Agustus 2024 / 5 Safar 1446 pada 09.41