Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika seorang wanita salehah menikah lebih dari sekali dan semua suaminya saleh, maka di surga dia akan menikah dengan suami terakhir. Dasarnya adalah riwayat berikut ini,
Artinya,
“Dari ‘Aṭiyyah bin Qais al-Kilābī beliau berkata, ‘Mu’āwiyah bin Abū Sufyān meminang Ummu al-Dardā’ setelah wafatnya Abū al-Dardā’. Maka Ummu al-Dardā’ berkata, ‘Sesungguhnya aku mendengar Abū al-Dardā’ berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Wanita mana pun yang suaminya meninggal, kemudian dia menikah lagi sesudah kematian suaminya, maka wanita tersebut akan menjadi istri suaminya yang paling terakhir (di surga)’. Aku (kata Ummu al-Dardā’) benar-benar tidak akan mengutamakan engkau (wahai Mu’āwiyah) daripada Abū al-Dardā’’. Maka Mu’āwiyah menulis surat kepadanya, ‘Kalau begitu berpuasalah karena itu bisa mengendalikan syahwat’.” (al-Mu’jam al-Ausaṭ, juz 3 hlm 275)
Dalam riwayat di atas diceritakan bahwa seorang Sahabiyah yang sudah menjanda bernama Ummu al-Dardā’ dilamar seorang Sahabat yang bernama Mu’āwiyah. Tapi Ummu al-Dardā’ menolak pinangan tersebut karena berharap nanti surga akan menikah dengan almarhum suaminya yang pertama bernama Abū al-Dardā’.
Nampaknya Ummu al-Dardā’ ini sangat mencintai almarhum suaminya, sehingga walaupun sudah ditinggal mati, beliau tetap berharap di surga nanti akan bersuamikan beliau. Dasar keyakinan Ummu al-Dardā’ adalah sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh suaminya bahwa wanita itu akan dinikahkan Allah di surga dengan suaminya yang terakhir. Jika Ummu al-Dardā’ menerima pinangan Mu’āwiyah, lalu Mu’āwiyah nanti di akhirat masuk surga, berarti Ummu al-Dardā’ akan menikah dengan Mu’āwiyah. Nah, Ummu al-Dardā’ tidak mau seperti itu. Beliau tetap ingin menikah dengan Abu al-Dardā’ di surga nanti. Jadi, riwayat ini menunjukkan bahwa wanita akan dinikahkan di surga dengan suaminya yang paling terakhir jika dia di dunia menikah berkali-kali.
Riwayat semakna tentang Ummu al-Dardā’ juga tercantum dalam kitab Tārīkh al-Riqqah. Abū ‘Alī al-Qusyairī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Maimūn bin Mihrān beliau berkata, ‘Mu’āwiyah meminang Ummu al-Dardā’, maka Ummu al-Dardā’ menolak untuk menikah dengannya dan berkata, ‘Aku mendengar Abū al-Dardā’ berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Seorang wanita akan menjadi istri suaminya yang terakhir (di surga) atau bersabda, ‘Untuk suaminya yang terakhir”, -kurang lebih begitu yang beliau (Ummu al-Dardā’) katakan- dan aku (kata Ummu al-Dardā’) tidak ingin pengganti untuk Abū al-Dardā’. (Tārīkh al-Riqqah hlm 159)
Lebih lugas lagi adalah riwayat Ḥużaifah. Beliau berpesan kepada istrinya supaya tidak menikah lagi sepeninggal beliau jika ingin menjadi istri beliau di surga. Sebab, seorang wanita akan dinikahkan di surga dengan suaminya yang paling terakhir. Beliau juga menghubungkan dengan syariat keharaman istri-istri Rasulullah ﷺ menikah lagi sepeninggal Rasulullah ﷺ. Yang demikian dikarenakan istri-istri Rasulullah ﷺ akan dinikahkan dengan Rasulullah ﷺ di surga, jadi mereka dilarang menikah lagi dengan lelaki lain. Al-Ṭaḥāwī meriwayatkan,
Artinya,
“Ḥużaifah berkata kepada istrinya, ‘Jika kamu ingin menjadi istriku di surga, maka jangan menikah setelah kematianku. Sebab wanita itu (di surga nanti) untuk suaminya yang paling akhir. Karena itulah Allah mengharamkan istri-istri Rasulullah ﷺ untuk menikah setelah wafatnya beliau.” (Syarḥ Musykil al-Āṡār, juz 2 hlm 121)
***
Adapun riwayat yang mengatakan bahwa wanita yang menikah berkali-kali di dunia akan di-takhyir (diberi pilihan) untuk menikah dengan suami mana pun yang diinginkannya di surga, maka ini riwayat munkar daif. Oleh karena itu ia tidak bisa dijadikan sebagai dasar.
Adapun riwayat yang mengatakan bahwa wanita yang menikah berkali-kali di dunia maka akan dinikahkan di surga dengan suaminya yang paling baik akhlaknya, maka itu yang dimaksud adalah jika wanita menikah berkali-kali karena perceraian.
Maksudnya, jika wanita menikah dengan 3 lelaki saleh misalnya, tetapi bercerai dengan suami pertama dan kedua, dan tidak bercerai dengan suami ke 3 hingga wanita tersebut wafat, berarti suami yang terbaik akhlaknya dari ketiganya adalah suami yang ketiga. Sebab, beliau bisa diduga lebih sabar dan lebih kuat menghadapi kelemahan dan kekurangan istrinya. Sebab, bagaimanapun juga cerai itu walaupun halal, tetapi ia adalah perkara yang dibenci Allah. Jadi, lelaki yang sekuat tenaga mempertahankan rumah tangganya walaupun akhlak istrinya ada yang mengecewakan maka bisa dihusnuzani beliau sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Dengan demikian, makna ini tetap kembali pada kaidah awal bahwa wanita akan menikah dengan suaminya yang paling terakhir. Al-Munāwī berkata,
Artinya,
“Yang dimaksud dengan hadis tersebut (wanita akan dinikahkan dengan suami yang paling baik akhlaknya) adalah kasus pasangan suami istri yang dipisahkan dengan perceraian, bukan kematian. Sebab talak itu jika terjadi tanpa ada masalah yang berat, berarti itu adalah cerminan akhlak yang buruk, sebab cerai adalah perkara halal yang paling dibenci Allah.” (Faiḍu al-Qadīr juz 6 hlm 266)
14 Agustus 2024 / 9 Safar 1446 pada 07.41