Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Apa bedanya tawakal (التَّوَكُّلُ) dengan tafwid (التَّفْوِيْضُ)?
Tawakal itu masih disertai ikhtiar.
Tafwid itu tidak disertai ikhtiar.
Setidaknya inilah istilah yang dipakai oleh Ibnu al-‘Arabī al-Mālikī. Beliau berkata,
Artinya,
“Jika mereka (para hamba) tidak melakukan ikhtiar apa pun yang diizinkan Allah untuk mereka, maka itulah yang disebut dengan tafwid.” (al-Masālik, juz 3 hlm 477)
***
Tawakal itu wajib, sebab tawakal bermakna bertumpu kepada Allah, mempercayakan kepada-Nya dan mengandalkan-Nya dalam segala hal. Tapi tawakal yang benar itu disertai dengan ikhtiar, sebab walaupun semuanya atas pemberian Allah, tetapi Allah telah menetapkan hukum sebab akibat dan sunatullah di alam semesta ini untuk memperoleh sesuatu.
Adapun tafwid, yakni mengandalkan Allah semata-mata tetapi tidak mau melakukan ikhtiar, maka secara umum itu adalah tanda jahil terhadap syariat, cacat din, kurang akal, bahkan merendahkan Sunah Rasulullah ﷺ.
Sebab Rasulullah ﷺ adalah hamba Allah terbaik dalam hal tawakal, namun faktanya beliau tetap melakukan ikhtiar dalam segala hal. Rasulullah ﷺ tahu Allah berkuasa membuat kenyang tanpa makanan, walaupun demikian beliau tetap makan dan minum. Rasulullah ﷺ tahu Allah Maha Kuasa membuat sehat, walaupun begitu Rasulullah ﷺ tetap berbekam dan minum madu. Rasulullah ﷺ tahu Allah menjamin keselamatan beliau, walaupun demikian jika perang Rasulullah ﷺ tetap memakai baju besi. Beliau juga memerintahkan bekerja, berkelana di muka bumi untuk menjemput rezeki, bahkan senang jika umatnya mengambil tali untuk mencari kayu bakar daripada meminta-minta. Padahal Rasulullah ﷺ juga sangat yakin bahwa Allah sudah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya.
Itulah makna tawakal yang benar, yakni mengandalkan Allah dan bertumpu kepada-Nya tetapi tetap disertai AMAL, USAHA, IKHTIAR dan MENGIKUTI HUKUM SEBAB AKIBAT.
Ketika seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Apakah aku melepas untaku tanpa mengikatnya sambil bertawakal Allah akan menjaganya, ataukah aku mengikat untaku dulu baru aku bertawakal?” Rasulullah ﷺ menjawab tegas, “Ikatlah dan bertawakallah!”
Al-Tirmiżī meriwayatkan,
Artinya,
“Seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rasulullah ﷺ apakah aku mengikatnya (untaku) dan aku bertawakal ataukah aku melepaskannya (tidak mengikatnya) dan aku bertawakal? Beliau (Rasulullah ﷺ) menjawab, ‘Ikatlah dan bertawakallah” (Sunan al-Tirmiżī, juz 4 hlm 668)
***
Oleh karena itu, jika seorang wanita terasa agak sulit mendapatkan suami dan ingin menikah, maka keliru jika dia diam saja dengan alasan percaya jodoh sudah ditentukan Allah, lalu bertumpu pada-Nya dan mengandalkan-Nya tanpa berbuat apa-apa.
Yang benar LAKUKAN MOVE!
Berdandanlah untuk menarik perhatian lelaki.
Tampakkan hal menarik pada dirimu kepada orang-orang yang ditarget, supaya engkau diketahui sejumlah wanita tertentu yang bisa bercerita kepada lelaki-lelaki mereka yang mencari istri, atau langsung diketahui lelaki tertarget secara makruf dan tidak melampaui batas.
Jika sudah mendapatkan suami, maka tidak boleh setelah itu berdandan dengan maksud menarik perhatian lelaki lain, karena itu masuk hukum tabarruj yang diharamkan.
Lakukan move apa pun, semaksimal mungkin, sekuat tenaga yang engkau mampui selama bukan move-move haram yang dilarang oleh syariat.
Mintalah walimu untuk mencarikan, mintalah orang yang bisa dipercaya untuk menghubungkan, datangilah tempat-tempat makruf yang kira-kira bisa membuatmu menjadi dikenal dan menarik perhatian lelaki baik. Juga berdoalah dengan kencang, karena doa juga bagian dari ikhtiar.
***
Demikian pula orang yang ingin menjemput rezeki.
Jangan diam saja di rumah dengan alasan tawakal dan mengandalkan Allah.
Asah skill, kontak orang-orang, buat jaringan, buat planning, lakukan eksekusi, evaluasi dan ikhtiar apa pun yang mampu dilakukan.
Ada riwayat dimana Umar mencela sikap hidup berpangku tangan. Kata beliau, “Bekerjalah menjemput rezeki, karena kalian tahu langit tidak menurunkan hujan emas dan perak”. Ibnu ‘Abdi Rabbihi menulis,
Artinya,
“Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, ‘Janganlah salah seorang di antara kalian berpangku tengan untuk menjemput rezeki dan berdoa, ‘Ya Allah berilah rezeki aku’ sementara dia tahu bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak.” (al-‘Iqdu al-Farīd, juz 2 hlm 342)
***
Hanya saja melakukan amal, usaha, ikhtiar dan mengikuti sunatullah sebab akibat itu hukumnya berbeda-beda tergantung yang ditarget. Bisa wajib, sunah, mubah, makruh bahkan haram.
Bekerja contohnya, hukumnya adalah wajib bagi lelaki untuk menjemput rezeki. Berdandan untuk mencari suami hukumnya adalah mubah bagi wanita. Makan babi untuk mendapatkan kenyang hukumnya adalah haram dan seterusnya. Jadi, status melakukan ikhtiar itu bukan satu hukum. Tetapi bisa meragam tergantung amal apa yang dilakukan. Ibnu Abī al-‘Izz berkata,
Artinya,
“Sebagian orang menyangka bahwa tawakal itu bertentangan dengan ikhtiar dan melakukan hukum sebab akibat dan bahwasanya semua hal jika sudah ditakdirkan maka sudah tidak perlu lagi mengikuti hukum sebab akibat. Ini rusak. Sebab ikhtiar itu ada yang fardu, sunah, mubah, makruh dan haram sebagaimana diketahui di tempatnya masing-masing.” (Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah, juz 2 hlm 351-352
18 Oktober 2024 / 14 Rabiul Akhir 1446 pada 08.51