Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Kisah Ibnu Jud’ān (ابْنُ جُدْعَان) menunjukkan sekali-kali jangan pernah kagum dan silau hanya dengan perbuatan baik seseorang semata.
Sebab Ibnu Jud’ān adalah seorang lelaki di masa jahiliah yang terkenal baik, suka menyambung silaturahmi dan memberi makan orang miskin. Tetapi kebaikannya itu sama sekali tidak akan bermanfaat di akhirat!
Di akhirat kelak tempatnya di neraka!
Kata Nabi ﷺ, lelaki tersebut tidak pernah satu kali pun seumur hidup berdoa “Allāhummagfir lī khaṭī’atī yaumaddīn” (Ya Allah ampunilah kesalahan-kesalahanku di hari pembalasan).
Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Aisyah dia berkata: “Saya berkata: ‘Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an (kerabatnya) pada masa jahiliah terbiasa menyambung silaturahmi dan memberi makan orang miskin. Apakah itu memberikan manfaat untuknya (di akhirat)? ‘ Beliau menjawab: ‘Tidak. Itu tidak memberinya manfaat. Dia tidak pernah satu hari pun mengucapkan, ‘Rabbku ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan’.” (H.R. Muslim)
Hadis ini cukup lugas mengajarkan bahwa amal baik semata-mata belum cukup.
Ada orang yang selama hidup di dunia terkenal sebagai orang baik, tapi di akhirat nanti akan masuk neraka!
Kalau begitu apa kesalahannya?
Mari kita renungi kandungan makna hadis ini.
***
Orang yang berbuat baik, lalu masih berdoa “Allāhummagfir lī khaṭī’atī yaumaddīn” (Ya Allah ampunilah kesalahan-kesalahanku di hari pembalasan) maka ini menunjukkan beberapa hal secara implisit.
PERTAMA
Dia pasti BERIMAN TERHADAP ALLAH. Meyakini eksistensi Tuhan yang menciptakan dirinya dan alam semesta. Karena itu, dia memanggil Sang Tuhan dengan lafaz “Allahumma”. (Ya Allah)
KEDUA
Dia pasti BERIMAN KEPADA HARI AKHIR. Sebab dia menyebut yaumaddīn (hari pembalasan). Artinya dia mengimani adanya hari pembalasan. Dia yakin setelah mati nanti Allah akan menghidupkan lagi dirinya untuk dibalas perbuatannya.
Secara implisit ucapan ini juga menunjukkan bahwa dia meyakini perbuatan di dunia itu ada yang baik menurut Allah dan ada yang tidak baik menurut Allah. Perbuatan yang baik menurut Allah akan dibalas dengan surga. Perbuatan buruk menurut Allah akan dibalas dengan neraka.
KETIGA
Dia tahu KEWAJIBAN IKHLAS, kewajiban tauhid.
Sebab, dia minta ampun atas kesalahannya. Artinya walaupun dia telah berbuat baik, dia tetap khawatir dua hal:
- Apakah perbuatan baiknya sudah BENAR CARANYA sesuai yang dikehendaki Allah?
- Apakah motivasi dan niatnya sudah benar-benar bersih hanya semata-mata karena ingin mengabdi kepada-Nya, yakni BERNIAT KARENA ALLAH semata-mata ataukah karena berharap pujian manusia, penghargaan manusia, harum namanya, balasan duniawi dan semisalnya?
Jika sampai salah dua-duanya atau salah satu saja, maka sudah pasti amalnya akan ditolak. Maka dia minta ampun atas kesalahannya yang seperti itu.
Di samping itu dia juga sadar tidak mungkin dirinya suci. Sudah pasti pernah melakukan maksiat yang bisa membuat Allah murka. Jadi dia juga meminta ampun atas kesalahan ini.
***
Nah, kandungan-kandungan makna seperti ini tidak mungkin terwujud jika seseorang tidak punya IMAN. Maksud iman adalah MEMBENARKAN UTUSAN ALLAH TERKAIT WAHYU YANG DIBAWANYA DARI ALLAH. Tidak peduli hidup di zaman apa pun dia. Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī berkata,
Artinya,
“Iman itu secara bahasa bermakna membenarkan. Secara syar’i bermakna membenarkan utusan Allah terkait apa yang dibawanya dari Tuhannya.” (Fatḥu al-Bārī, juz 1 hlm 46)
Jika dia hidup di zaman Nabi Musa, maka makna iman adalah MEMBENARKAN NABI MUSA terkait wahyu yang diberikan kepada nabi Musa berupa Taurat.
Jika dia hidup di zaman Nabi Isa, maka makna iman adalah MEMBENARKAN NABI ISA terkait wahyu yang diberikan kepada nabi Isa berupa Injil.
Jika dia orang Arab yang hidup di zaman sebelum Nabi Muhammad seperti Ibnu Jud’ān, maka makna iman adalah MEMBENARKAN NABI IBRAHIM terkait wahyu yang diberikan kepada nabi Ibrahim berupa suhuf-suhuf.
Nah, Ibnu Jud’ān tidak punya iman jenis ini.
Dia tidak pernah membenarkan wahyu yang turun pada seorang utusan Allah, sehingga secara pasti dia juga tidak pernah mengimani adanya hari pembalasan di akhirat. Orang seperti ini bisa ditegaskan sebagai orang KAFIR.
Karena itu seluruh amal baiknya bisa dipastikan motivasi pendorongnya adalah motif-motif hina semisal agar harum namanya, agar populer, agar dipuji dalam syair-syair dan semisalnya. Yakni mengharap apresiasi selain Allah sehingga bisa dikatakan dia sama sekali tidak pernah menyembah Allah dengan amal baiknya, sebesar apa pun amal baik itu.
Diriwayatkan Ibnu Jud’ān ini amal baiknya memberi makan manusia luar bisa besar. Dia terbiasa memberi makan orang miskin, memberi makan tamu dan jenis-jenis manusia lain yang membutuhkan makanan. Demikian besar piring raksasa yang dibuatnya, hingga orang untuk mencapainya dia perlu sebuah tangga! Tapi sebesar apa pun amal Ibnu Jud’ān karena dia tidak punya iman, tidak percaya akhirat, tidak pernah menata niatnya saat beramal baik semata-mata untuk mengejar rida Allah. maka sia-sialah seluruh amal baiknya.
Karena itulah Ibnu Jud’ān masuk neraka walaupun di masa Jahiliah dia terkenal sebagai orang baik.
***
Dari sini bisa dipahami mengapa dalam Surah al-Balad ditegaskan syarat diterimanya amal bukan hanya semata-mata melakukan perbuatan baik seperti membebaskan budak, memberi makan saat paceklik, menyantuni anak yatim, menyantuni orang miskin dan lain-lain tetapi disyaratkan harus disertai IMAN saat beramal saleh. Allah berfirman,
Artinya,
“Kemudian dia (orang yang melakukan amal-amal baik tadi) termasuk orang-orang yang beriman..-agar bisa diterima amalnya- (Q.S. al-Balad: 17)
28 Oktober 2024 / 24 Rabiul Akhir 1446 pada 08.45