Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ringkasnya, tidak benar jika dikatakan bagian Muṣannaf ‘Abdur Razzāq yang hilang itu telah ditemukan.
Manuskripnya palsu dan versi cetakannya yang ditahkik ‘Īsā al-Ḥimyarī pun penuh skandal.
Di antara bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah kekacauan penisbahan riwayat tersebut pada kitab ‘Abdur Razzāq yang mana.
Muhammad al-Burhānī dalam kitab Tabri’atu al-Żimmah menisbahkan hadis Jābir tentang Nur Muhammad itu pada kitab Abdur Razzāq yang bernama Jannatu al-Khuldi! Bukan Muṣannaf Abdur Razzāq!
Lah, kalau begitu mana yang benar?
Di kitab Muṣannaf atau kitab Jannatu al-Khuldi?
Yang benar Isā al-Ḥamawī atau Muhammad al-Burhānī ini?
Isā al-Ḥamawī dalam tahkiknya tidak peduli hal itu. Dia tidak membahasnya, tidak menganalisisnya, tidak mengkritisinya dan tidak menerangkannya. Yang penting tujuannya dalam memberikan “dasar” untuk keyakinan Nur Muhammad telah tercapai. Orang ini juga tidak peduli bahwa syaikh Aḥmad al-Gumārī dan ‘Abdullāh al-Gumārī tegas menilai hadis Nur Muhammad adalah hadis palsu.
Ini sekaligus memberi tanda bahwa Isa al-Ḥimyarī mengikuti hawa nafsu. Sebab ia mengutip perkataan syaikh Ahmad al-Gumārī bahwa hadis yang matannya garib dan rakik tidak selalu palsu, tapi menolak penilaian beliau bahwa hadis Jabir tentang Nur Muhammad adalah hadis palsu.
Faktanya ya tidak ada kitab Abdur Razzāq yang bernama Jannatu al-Khuldi.
Tidak ada juga hadis Nur Muhammad pada Muṣannaf Abdur Razzāq.
Itu dikarang-karang saja.
***
Dalam riwayat Nur Muhammad itu banyak sekali istilah sufi mutakhirin yang mustahil diucapkan Rasulullah ﷺ.
Mengatakan bahwa hadis Nur Muhammad itu sabda Rasulullah ﷺ sama saja dengan mengatakan Rasulullah ﷺ pernah bersabda: waraq muqawwā (الورق المقوى) untuk makna kertas karton!
Itu mustahil karena makna istilah kertas karton jelas belum ada di zaman Nabi ﷺ.
Hadis no. 14 memberi kesan bahwa Ziyād bin Sa’ad adalah filsuf karena sudah pakai diksi irtaqat al-ḥaqā’iq (ارتقت الحقائق) yang mana kata-kata semacam ini hanya di kenal di dunia filsafat. Tentu saja ini adalah kedustaan karena Ziyād bin Sa’ad bukan filsuf.
Ada juga dalam riwayat lain istilah-istilah sufi semisal maqām haibah, maqām khasy-yah dll yang menunjukkan itu jelas hadis palsu yang dibuat oleh sufi.
Sebagai penutup, berikut ini saya kutipkan pernyataan syaikh Abdullāh al-Gumārī dalam kitab Iṣlāḥu Abyāti al-Burdah hlm 75. Beliau menjelaskan bahwa hadis Nur Muhammad itu jelas sekali kepalsuannya. Tanda yang paling kelihatan adalah matannya yang mengandung nakārah dan istilah-istilah sufi. Beliau juga mengkritik al-Suyūṭī yang tidak berkata tegas bahwa hadis tersebut adalah hadis palsu. Beliau berkata,
Artinya,
“Al-Suyūtī berkata dalam al-Ḥāwī bahwa riwayat tersebut tidak valid/gairu ṡābit dan ini adalah sikap tasahul (menggampangkan) yang buruk. Bahkan lahirnya hadis adalah palsu yang sangat jelas kemungkarannya. Ada juga nafas sufi di dalamnya ketika menyebut maqām haibah, maqam khasy-yah dan istilah-istlilah sufi yang lain.”
27 Januari 2024/ 16 Rajab 1445 H pukul 12.25