Pertanyaan
Assalamualaikum ustadz, mau menanyakan apakah hadits berikut ini sahih?
“Sesungguhnya (malaikat) yang berada di sebelah kiri, ia akan mengangkat penanya enam jam bagi seorang muslim yang melakukan dosa, jika ia menyesal dan beristigfar kepada Allah, maka ia menghapusnya, dan jika tidak maka tertulis satu kesalahan?” (HR. Thabarani)
Rista, mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang
Jawaban oleh: Ust. Muafa
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Hadis yang menerangkan bahwa malaikat pencatat dosa menangguhkan pencatatan selama enam jam, lafaz Arabnya adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ نَجْدَةَ الْحَوْطِيُّ، ثنا أَبِي ح، وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زِيَادِ بْنِ زَكَرِيَّا الْأَيَادِيُّ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ نَجْدَةَ الْحَوْطِيُّ، ح وَحَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَبْرِيقٍ الْحِمْصِيُّ، ثنا عَمِّي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ح، وَحَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفِرْيَابِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْعَلَاءِ الْحِمْصِيُّ، قَالُوا: ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ صَاحِبَ الشِّمَالِ لِيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ أَوِ الْمُسِيءِ، فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ مِنْهَا أَلْقَاهَا، وَإِلَّا كُتِبَتْ وَاحِدَةً»
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ath-Thobaroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Musnad Asy-Syamiyyin, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, dan Al-Wahidi dalam tafsirnya.
Ada riwayat lain yang mirip, yang menyebut waktu penangguhan itu adalah 7 jam. Tetapi riwayat ini maudhu’;
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى قَالَا: نا أَبُو الْعَبَّاسِ هُوَ الْأَصَمُّ، نا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، نا أَسَدُ بْنُ مُوسَى، نا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، أَنَا جَعْفَرُ بْنُ الزُّبَيْرِ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” صَاحِبُ الْيَمِينِ أَمِينٌ عَلَى صَاحِبِ الشِّمَالِ، فَإِذَا عَمِلَ الْعَبْدُ بِحَسَنَةٍ كُتِبَتْ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً فَأَرَادَ صَاحِبُ الشِّمَالِ أَنْ يَكْتُبَهَا قَالَ صَاحِبُ الْيَمِينِ: أَمْسِكْ، فَيُمْسِكُ سِتَّ سَاعَاتٍ أَوْ سَبْعَ سَاعَاتٍ، فَإِنِ اسْتَغْفَرَ اللهَ مِنْهَا لَمْ يَكْتُبْ عَلَيْهِ شَيْئًا، وَإِنْ لَمْ يَسْتَغْفِرِ اللهَ كُتِبَتْ عَلَيْهِ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ”
Demikian pula yang menyebut waktu penangguhan 3 jam. Riwayat tersebut juga maudhu’;
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ قَالَ: نا أَبُو الْمُغِيرَةِ قَالَ: نا أَبُو مَهْدِيٍّ سَعِيدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ: حَدَّثَتْنِي أُمُّ الشَّعْثَاءِ، عَنْ أُمِّ عِصْمَةَ الْعَوْصِيَةِ، امْرَأَةٌ مِنْ قَيْسٍ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعْمَلُ ذَنْبًا، إِلَّا وَقَفَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بإحْصَاءِ ذُنُوبِهِ ثَلَاثَ سَاعَاتٍ، فَإِنِ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ مِنْ ذَنْبِهِ ذَلِكَ فِي شَيْءٍ مِنْ تِلْكَ السَّاعَاتِ، لَمْ يُوقَفْ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Hadis yang menyebutkan penangguhan pencatatan dosa selama 6 jam ini didhoifkan Al-‘Iroqi;
حَدِيث «إِن الْملك ليرْفَع الْقَلَم عَن العَبْد إِذا أذْنب سِتّ سَاعَات، فَإِن تَابَ واستغفر لم يَكْتُبهُ عَلَيْهِ وَإِلَّا كتبهَا سَيِّئَة» قَالَ: وَفِي لفظ آخر ” فَإِذا كتبهَا عَلَيْهِ وَعمل حَسَنَة قَالَ صَاحب الْيَمين لصَاحب الشمَال وَهُوَ أَمِير عَلَيْهِ: ألق هَذِه السَّيئَة حَتَّى ألقِي من حَسَنَاته وَاحِدَة تَضْعِيف الْعشْر وَأَرْفَع لَهُ تسع حَسَنَات، فَتلقى عَنهُ السَّيئَة «
أخرجه الْبَيْهَقِيّ فِي الشّعب من حَدِيث أبي أُمَامَة بِسَنَد فِيهِ لين بِاللَّفْظِ الأول وَرَوَاهُ أَيْضا أطول مِنْهُ وَفِيه» إِن صَاحب الْيَمين أَمِير عَلَى صَاحب الشمَال” وَلَيْسَ فِيهِ: أَنه يَأْمر صَاحب الشمَال بإلقاء السَّيئَة حَتَّى يلقِي من حَسَنَاته وَاحِدَة، وَلم أجد لذَلِك أصلا.
Al-Albani menghasankan hadis ini.
Saya cenderung pada pendapat Al-‘Iroqi yang mendhoifkan hadis tersebut.
Alasannya;
Sanadnya ghorib sebagaimana dijelaskan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah.
Salah satu perawinya yang bernama Urwah bin Ruwaim banyak melakukan irsal dan tidak pernah dikenal meriwayatkan dari Al-Qosim bin Abi Abdirrohman.
Di dalam sanadnya juga ada perawi yang bernama ‘Ashim bin Roja’ dan perawi ini shoduq yahim, sehingga dinilai lin oleh Al-‘Iroqi.
Lagi pula, dalam hadis tersebut disebut 6 jam, sementara di zaman Nabi ﷺ belum terbiasa penggunaan istilah jam dengan makna satu jam didefinisikan 60 detik seperti pada zaman sekarang,
Penentuan waktu-waktu salat misalnya, dilakukan dengan memperhatikan gerakan matahari, bukan jam. Karena itu penyebutan 6 jam dalam hadis tersebut menjadi janggal dan seperti bukan ucapan Nabi ﷺ.
Dalam sejumah hadis yang lain, lafaz sa’ah kadang hanya diterjemahkan saat (kurun waktu tertentu di siang hari atau kurun waktu di malam hari yang panjang-pendeknya relatif). Misalnya ketika menyebut keutamaan datang salat jumat di sa’ah pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika riwayat sa’ah dalam hadis salat jumat ini diterjemahkan saat, maka maknanya semakin problematik, karena 6 saat itu susah didefinisikan karena pengertian saat menjadi terlalu lentur. Karena itulah sebagian ulama menafsirkan sa’ah dalam hadis salat jumat itu dengan menghitung waktu antara terbit matahari sampai waktu salat jumat dibagi lima. Ini adalah bentuk penafsiran untuk mengkompromikan definisi sa’ah secara bahasa dengan pembagian sa’ah oleh nabi menjadi lima bagian. Dalam konteks tertentu, sa’ah bisa juga diterjemahkan kiamat.
Lebih dari itu, secara matan, riwayat penangguhan catatan dosa selama 6 jam ini bertentangan dengan riwayat shahih yang menyebut bahwa pencatatan dosa itu dilakukan secara langsung tanpa penangguhan.
Muslim meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
Artinya;
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ , terkait hadis yang diriwayatkan dari Rabbnya, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menuliskan kebaikan dan kejelekan, kemudian menerangkan hal tersebut, ‘Barangsiapa berkeinginan untuk kebaikan namun belum melakukannya maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna untuknya, dan barangsiapa berkeinginan untuk suatu kebaikan lalu melakukannya maka Allah mencatat untuknya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat hingga beberapa kali lipat. Dan jika dia berkeinginan untuk kejelekan namun dia belum mengerjakannya, maka Allah akan mencatatnya sebagai kebaikan yang sempurna untuknya, namun jika dia melakukannya (perbuatan dosa itu) maka Allah mencatatnya sebagai satu dosanya’.”
Dalam hadis di atas, dosa yang dilakukan dicatat secara langsung sebagai satu keburukan. Tidak ada keterangan penangguhan. Jika dalam riwayat di atas terkait pencatatan dosa ditafsiri ada kemungkinan penangguhan, maka dengan logika yang sama, pencatatan amal salih seharusnya juga dimungkinkan ada penangguhan. Namun, tidak ada satupun orang yang berpendapat seperti ini.
Karena itu, berdasarkan ulasan pada sanad dan matan ini, riwayat penangguhan pencatatan dosa ini lebih dekat dipahami riwayat dhoif. Wallahua’lam.