Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika kita mengkaji bagaimana keseriusan para ulama mencari, memastikan, menyaring dan membuat rambu-rambu untuk menentukan pendapat mu’tamad mazhab tertentu, maka kita akan mendapati betapa seriusnya kerja dan tenaga yang dicurahkan. Usaha tersebut benar-benar sebuah kerja raksasa yang sangat memeras otak dan menghabiskan waktu selama berabad-abad yang dilanjut-teruskan oleh berbagai generasi. Kesan yang timbul pada akhirnya adalah menyangka bahwa bermazhab itu ternyata tidak mudah. Ada “ijtihad” di dalam ijtihad. Orang jadi menyimpulkan, bahwa yang sulit itu bukan hanya berijtihad, tetapi juga bermadzhab. Untuk bermadzhab, ternyata orang harus mencari pendpaat mu’tamad dan aturan menentukan pendapat mu’tamad ternyata sangat ruwet. Jangankan orang awam, di kalangan para dai, ustadz dan ulama saja banyak yang tidak paham dan banyak yang terjatuh dalam kesalahan!
Kita ambil contoh untuk mazhab Asy-Syafi’i umpamanya. Telah diketahui bahwa untuk mengetahui pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i ternyata merupakan sebuah kekeliruan jika langsung merujuk kitab “Al-Umm”, “Mukhtashor Al-Muzani”, “Nihayatu Al-Mathlab”,”Al-Muhadzdzab“,“Al-Basith”, “Al-Wajiz”, “At-Tanbih”, “Al-Hawi Al-Kabir”, “Matan Abu Syuja’”, “Al-Lubab” dan berbagai kitab fikih yang ditulis ulama Asy-Syafi’iyyah yang terkenal di negeri ini.
Untuk mengetahui pendapat mu’tamad, ternyata urutan pertama adalah harus merujuk pada kitab-kitab An-Nawawi dan Ar-Rofi’i. Inipun harus dirinci jika terjadi pertentangan. Kesepakatan An-Nawawi dan Ar-Rofi’i harus didahulukan daripada pendapat “tafarrud” masing-masing. Khusus untuk kitab-kitab An-Nawawi, ternyata kitab-kitab tersebut juga bertingkat-tingkat kekuatannya. Kitab “At-Tahqiq” harus didahulukan daripada “Al-Majmu’”. Kitab “Al-Majmu’” harus didahulukan daripada “At-Tanqih”. Kitab “At-Tanqih” harus didahulukan daripada “Roudhotu Ath-Tholibin” dan seterusnya sampai 9 kitab sebagaimana dideret oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam “Tuhfatu Al-Muhtaj”.
Setelah kitab-kitab An-Nawawi dan Ar-Rofi’i, urutan berikutnya adalah kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori, Al-Khothib Asy-Syirbini, dan Ashhabul Hawasyi. Itupun masing-masing harus dirinci lagi dari sisi ururan kekuatan, antara mana yang didahulukan dan mana yang dikemudiankan.
Pembahasan “seruwet” ini akhirnya menggiring pada sejumlah pertanyaan penting dan mendasar misalnya,
“Apa pentingnya mencari pendapat mu’tamad?”
“Mengapa harus mencari pendapat mu’tamad?”
“Mengapa kita tidak fokus saja mencari hukum syara berdasarkan dalilnya tanpa harus berpayah-payah mencari pendapat mu’tamad?”
“Mengapa ada kesan sakralisasi pendapat mu’tamad sampai ada kata-kata tidak boleh berfatwa selain dengan pendapat mu’tamad?”
“Mengapa ada kesan sakralisasi metode ijtihad mujtahid tertentu?”
Dan seterusnya..
Bahkan, sebagian awam yang belum sanggup masuk pelik-pelik persoalan ini banyak yang terfitnah sampai mungkin ada yang berkomentar “Lihatlah, betapa ribetnya bermazhab. Mau mengambil hukum syara’ saja kok seruwet itu. Sampai ada “ijtihad” di dalam ijtihad. Bukankah kalau ada hadis sahih, kemudian dilaksanakan itu lebih simpel? Beragama kok dibuat susah. Inilah bukti bahwa bermazhab itu hanya menimbulkan taklid buta. Membuat orang tidak mengikuti dalil. Hanya mengikuti ucapan manusia. Dalil malah ditinggalkan”.
Nah, atas dasar latar belakang dan alas pikir seperti inilah menjadi penting bagi kita menjawab pertanyaan utamanya, yakni “Apa pentingnya mencari pendapat mu’tamad?” Apa pentingnya harus mencari tahu pandapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i, Maliki, Hanafi atau Hambali?
PEMBAHASAN
Secara ringkas bisa kita katakan, mencari pendapat mu’tamad itu penting untuk orang yang bermazhab secara iltizam, para qodhi (hakim), para mufti, dan para ulama. Adapun orang yang bermazhab secara intisab, atau orang yang tidak bermazhab atau selain Qodhi, mufti dan ulama maka tidak menjadi keharusan melacak pendapat mu’tamad. Jadi, bisa dikatakan mencari pendapat mu’tamad itu hanya penting bagi sebagian kaum muslimin, bukan seluruh kaum muslimin.
Yang dimaksud orang yang bermazhab secara iltizam (الملتزم بالمذهب) adalah orang yang percaya kepada seorang imam mazhab, meyakininya sebagai ijtihad yang terkuat di antara seluruh mazhab yang ada dan akhirnya memutuskan diri untuk mengikuti seluruh pendapat mazhab tersebut. Jadi, orang yang menyatakan diri bermazhab Asy-Syafi’i secara iltizam misalnya, hal itu bermakna dia meyakini bahwa ijtihad Asy-Syafi’i adalah ijtihad yang paling kuat di antara seluruh ijtihad imam-imam mazhab yang lain sehingga memutuskan untuk mengikuti seluruh ijtihad Asy-Syafi’i, termasuk ijtihad-ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah yang digali dari kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i. Orang semacam ini tidak bisa mentarjih sendiri dengan meneliti dalil karena keterbatasan pengetahuannya. Yang ia mampu hanya “mentarjih mujtahid”. Setelah mencari tahu sebatas kemampuannya, atas dasar ketakwaan, akhirnya dia menyimpulkan bahwa imam Asy-Syafi’i-lah yang dianggapnya paling berilmu dan paling wara’. Orang semacam ini karena meyakini bahwa ijtihad Asy-Syafi’i adalah ijtihad yang terkuat, maka wajib baginya untuk mencari pendapat mu’tamad jika ingin mengetahui hukum benda atau perbuatan tertentu.
Hanya saja, jika dia awam maka tidak menjadi kewajiban baginya mencari sendiri pendapat mu’tamad. Dia bisa bertanya dan meminta fatwa untuk mengetahui pendapat mu’tamad itu. Kewajiban utama dia adalah terikat dengan hukum syara’. Jika jalan satu-satunya untuk terikat itu hanya dengan bertanya, maka bertanya baginya dalam hal ini menjadi wajib.
Adapun bagi para qodhi (hakim), para mufti, dan para ulama, mencari pendapat mu’tamad juga penting bagi mereka. Seorang qodhi wajib mengeluarkan putusan peradilan (الحكم أو القضاء) berdasarkan pendapat mu’tamad jika pihak-pihak yang bersengketa adalah orang yang bermazhab dengan mazhab tertentu secara iltizam. Dia juga seyogyanya memutuskan dengan pendapat mu’tamad jika dia diangkat penguasa atas syarat untuk mengadili dengan mazhab tertentu. Mufti dan ulama juga demikian. Mereka wajib memberikan fatwa berdasarkan pendapat mu’tamad jika yang meminta fatwa adalah orang yang bermazhab dengan mazhab tertentu secara iltizam. Adapun jika yang berselisih dalam satu kasus hukum atau meminta fatwa adalah orang yang bermazhab secara intisab, atau tidak bermazhab, maka qodhi dan mufti tidak harus mencari pendapat mu’tamad dan boleh memberi fatwa dengan pendapat selain mu’tamad.
Sampai di sini, bisa disimpulkan berarti mencari pendapat mu’tamad itu terutama sekali berguna untuk dua hal yakni dalam putusan peradilan (الحكم أو القضاء) dan fatwa (االفتوى). Inilah yang dijelaskan oleh para ulama pada saat mereka membahas masalah pendapat mu’tamad. Ini pulalah maksud kata-kata “Tidak boleh berfatwa selain dengan pendapat mu’tamad”. As-Sayyid Al-Bakri berkata,
“Ketahuilah, bahwasanya pengarang rahimahullah akan menyebutkan dalam bab peradilan bahwa pendapat mu’tamad dalam mazhab (Asy-Syafi’i) untuk putusan peradilan (الحكم) dan fatwa (االفتوى) adalah apa yang disepakati Asy-Syaikhan -Ar-Rofi’i dan An-Nawawi- (I’anatu Ath-Tholibin, juz 1 hlm 27)
Jadi, mencari pendapat mu’tamad adalah ekspresi ketakwaan, karena orang yang melakukannya berhati-hati betul dalam upaya mengetahui hukum yang diduga kuat sebagai hukum Allah baginya. Ini pulalah yang mendorong ulama mazhab melakukan tahrir mazhab dengan kerja keras luar biasa agar bisa memberikan fatwa dan putusan peradilan atas dasar ketakwaan dalam bentuknya yang paling berhati-hati.
Mencari pendapat mu’tamad juga penting bagi guru yang memiliki murid yang telah bermazhab secara iltizam. Dengan kata lain, mengajarkan pendapat mu’tamad penting untuk kepentingan “tadris” (mengajar). Jika muridnya bermazhab secara intisab, atau tidak bermazhab, maka pegangan “tadris” ini bersifat longgar dan tidak harus mencari pendapat mu’tamad saja.
Mencari pendapat mu’tamad juga penting terkait legalitas penisbatan sebuah pendapat pada imam mazhab. Pendapat imam mazhab sah dinisbatkan kepada mazhabnya jika sudah dinilai sebagai pendapat mu’tamad. Jika belum dinilai pendapat mu’tamad, maka itu belum sah dinisbatkan kepada beliau karena bisa jadi riwayatnya lemah, dinasakh atau ditinggalkan karena sebab-sebab yang lain. Lagi pula, pendapat mu’tamad tidak selalu bermakna pendapat imam mazhab. Pendapat mu’tamad bisa saja berupa ijtihad ulama mazhab berdasarkan ushul fikih imam mazhab.
Mencari pendapat mu’tamad juga penting terkait legalitas penisbatan sebuah pendapat kepada pendapat mazhab. Hanya pendapat mu’tamad saja yang sah disebut pendapat mazhab. Pendapat mujtahid mazhab, mujtahid fatwa, bahkan pendiri mazhab sekalipun tidak bisa dikatakan pendapat mazhab jika belum mendapatkan “stempel” pendapat mu’tamad.
Selain itu, mencari pendapat mu’tamad juga penting terkait jaminan validitas ilmiah dalam menukil pada saat membahas suatu hukum dalam konteks tarjih, fatwa, munazhoroh, penelitian dan berbagai kepentingan lainnya. Alangkah banyaknya para peneliti, dai dan ulama yang keliru dalam hal ini. Hanya karena membaca kitab yang dikarang ulama Asy-Syafi’iyyah misalnya, kemudian secara tergesa mengklaim itu pendapat mazhab Asy-Syafi’i. Hal ini keliru, karena pendapat mazhab Asy-Syafi’i hanya boleh dinisbatkan dari pendapat mu’tamad saja, bukan semata-mata penukilan dari kitab-kitab yang ditulis ulama Asy-Syafi’iyyah.
KESIMPULAN
Jika dibuat daftar yang berupa poin-poin maka bisa disimpulkan bahwa mencari pendapat mu’tamad itu penting untuk hal-hal berikut ini,
- Pegangan putusan mahkamah peradilan bagi para qodhi/hakim
- Pegangan fatwa bagi para mufti dan ulama
- Pegangan orang yang memutuskan bermazhab tertentu secara iltizam (tanpa membedakan apakah dia menganggap bermazhab itu wajib maupun tidak wajib)
- Pegangan “tadris” (mengajar)
- Legalitas penisbatan kepada imam mazhab
- Legalitas penisbatan kepada pendapat mazhab
- Jaminan validitas ilmiah dalam menukil
Semuanya adalah penerapan perintah terikat dengan hukum syara, takwa, waro’, dan “anat”/”ta-anni”. Wallahua’lam
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
3 Comments
Kang Masduki
Alhamdulillah.
Terimakasih penjelasannya yang bagus, runut dan runtut. Semoga Allah karuniai Pak Yai Muafa umur panjang lan barokah. Aamiin
pos.kh.kholil@gmail.com
Assalamualaikum ust, setelah baca artikel diatas saya ada pertanyaan siapa yg berhak menyatakan ini pendapat mu’tamad? Dan apa berarti dia levelx diatas pendiri mahzab, mujtahid mahzab ,dan mujtahid fatwa dll?
Iqbal
Ijin share, barakallah fiik