Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Benar. Demikianlah yang beliau katakan sendiri dalam kitab “Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot”. An-Nawawi berkata,
“(dalam mengambil ilmu tentang leksikologi saya mengambil) ..dari kitab-kitab tafsir Al-Qur’an seperti Al-Basith karya Al-Wahidi, kitab Ar-Rummani Al-Mu’tazili dan selain keduanya, yakni tafsir-tafsir yang mengandung pembahasan leksikologi” (Tahdzibu Al-Asma’ wa Al-Lughot, juz 1 hlm 7)
Ar-Rummani yang disebut An-Nawawi di atas adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isa Ar-Rummani (w. 384 H). Tokoh mu’tazilah abad keempat hijriyyah yang terkenal sebagai ahli bahasa Arab, mufassir, pakar ilmu kalam dan filosof. Tokoh ini memiliki karya tafsir yang berjudul “Al-Jami’ li ‘Ilmi Al-Qur’an” atau dikenal juga dengan nama “Tafsir Ar-Rummani”.
Kalau begitu, apakah hal ini bermakna bahwa An-Nawawi juga mengambil ilmu dari ahlul bid’ah?
Yah. Memang demikian faktanya.
Untuk para ulama memang tidak masalah belajar kepada ahlul bid’ah karena mereka bisa menyaring mana yang benar dan mana yang salah. Mereka juga bisa dikatakan telah berada di area “aman” belajar pemikiran kufur terutama untuk kepentingan menjelaskan kebatilannya. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, sudah dikenal di sana ada perawi-perawi berpaham Syi’ah, Qodariyyah, Murji-ah dan semisalnya . Ini tidak masalah karena ulama-ulama besar selevel Al-Bukhari dan Muslim sudah sangat piawai menyaring mana yang bisa diambil dan mana yang harus ditinggalkan. Di masa Shahabat, ada juga kisah Abu Hurairah yang “mengambil ilmu” dari Setan terkait ayat kursi setelah dikonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah ﷺ.
Adapun untuk orang awam, tentu saja tidak bisa disamakan dengan ulama. Awam hanya diizinkan belajar kepada ahlul bid’ah pada ilmu-ilmu yang tidak terkait dengan kebid’ahannya semisal ilmu bahasa Arab, fikih, tajwid dan lain-lain, itupun jika tidak dikhawatirkan terpengaruh paham bid’ahnya. Adapun ilmu yang terkait dengan bid’ahnya, yakni ilmu yang dikhawatirkan para awam ini tidak bisa menyaring sehingga berakibat dia terseret pada bid’ahnya, maka dia dilarang belajar kepadanya sebagai realisasi pencegahan dhoror dien untuknya.
Hanya saja, patut dicatat, penyematan vonis ahlul bid’ah tidak bisa sembarangan. Penyematan vonis ahlul bid’ah tidak boleh hanya mengikuti selera pengasuh majelis ilmu tertentu atau hawa nafsu afiliasi. Orang-orang yang divonis ahlul bid’ah hanyalah mereka yang memang terbukti merusak ajaran Islam, menabrak ijma’, dan melanggar ajaran-ajaran qoth’i. Adapun perselisihan-perselisihan mu’tabar yang bersifat zhonni, apalagi pada perkara-perkara yang sudah diperselisihkan semenjak generasi terbaik umat ini, maka itu tidak boleh menjadi kriteria dan alasan untuk membid’ahkan orang lain.
Dengan kata lain, penyematan gelar bid’ah jika sifatnya zalim atau penyebabnya adalah salah paham atau penyebabnya adalah suuzon, apalagi penyebabnya adalah faktor kedengkian sebagian dai, maka tentu kaidah di atas tidak bisa diterapkan. Penyematan gelar bid’ah yang sifatnya zalim harus ditolak, tidak peduli meskipun yang menyatakan itu ulama besar sekalipun. Penyematan vonis ahlul bid’ah yang tidak pada tempatnya dan muncul dari seorang ulama, kita memandangnya sebagai “zallah” (ketergelinciran) yang tidak perlu diikuti. Contoh di masa lalu terkait penyematan gelar bid’ah yang tidak bisa diterima adalah tuduhan Adz-Dzuhli terhadap Al-Bukhori sebagai penganut Jahmiyyah. Paham Jahmiyyah adalah paham ahlul bid’ah, artinya secara tidak langsung Adz-Dzuhli memvonis Al-Bukhori sebagai ahlul bid’ah sehingga tidak boleh diambil ilmunya. Adz-Dzuhli juga ulama besar. Al-Bukhori juga ulama besar. Hanya saja, vonis dan penilaian Adz-Dzuhli dalam hal ini tidak perlu kita ikuti karena jelas melampaui batas meskipun kita tetap menghormati Adz-Dzuhli.
Benarlah Ibnu Taimiyyah ketika mengatakan bahwa masalah belajar kepada ahlul bid’ah ini memang tidak bisa dipukul rata dan tidak bisa “digebyah uyah”. Semuanya perlu perincian. Ibnu Taimiyyah berkata,
“…Karena itulah perbincangan tentang isu-su ini perlu perincian..”(Majmu; Al-Fatawa juz 28 hlm 212)
Sebagai penutup, berikut ini saya kutipkan nasihat imam Malik tentang para pengajar yang tidak boleh diambil ilmu darinya. Adz-Dzahabi menulis,
“Dari Malik, beliau berkata, “Ilmu tidak diambil dari empat (orang),
(Pertama): Orang tolol yang memamerkan ketololannya meskipun dia banyak (hafalan) riwayatnya
(Kedua): Ahlul bid’ah yang mempropagandakan bid’ahnya
(Ketiga): Orang yang berdusta dalam obrolan biasa meskipun saya (Malik) tidak menuduhnya (berdusta) saat meriwayatkan hadis (Nabi)
(Keempat): Orang salih ahli ibadah dan bermartabat yang tidak menghafal (dan memahami) apa yang ia ajarkan” (Siyaru A’lami An-Nubala’, juz 8 hlm 67-68 )
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين