Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Gambaran Kerja An-Nawawi Dalam Melakukan Tahrir Mazhab
Tahrir mazhab Asy-Syafi’i bermakna menyeleksi ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah agar sah dinisbahkan pada mazhab Asy-Syafi’i. Jadi, ketika An-Nawawi menyimpulkan bahwa hukum berjamaah untuk salat fardu adalah fardu kifayah menurut mazhab Asy-Syafi’i, hal ini bermakna An-Nawawi telah meneliti semua ijthad ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah ash-habul wujuh terkait topik ini, mengkaji dalil-dalil mereka, menilai wajhul istidlal yang mereka uraikan, menimbang-nimbang istinbath mereka, dan merenungkan semua takhrijat mereka. Setelah itu An-Nawawi membandingkannya dengan sumber-sumber primer untuk mengetahui ijtihad Asy-Syafi’i dalam topik ini, mengkaji semua nushush Asy-Syafi’i baik yang tertulis dalam kitab tertentu maupun yang diriwayatkan, mengkaji mengkaji semua ushul fikih Asy-Syafi’i baik yang tertulis dalam kitab Ar-Risalah maupun yang terserak-serak dalam berbagai karya, kemudian baru menyimpulkan dan mentarjih mana sebenarnya jawaban yang sah diklaim sebagai mazhab Asy-Syafi’i. Semua ini dilakukan dengan semangat warak, penuh kehati-hatian dalam menisbahkan pendapat, dan level ketelitian yang sangat tinggi.
Dari mana An-Nawawi mendapatkan data-data yang diperlukan untuk melakukan tahrir mazhab dengan gambaran seperti di atas?
Tentu saja yang logis adalah mengambil dari karya-karya ulama sebelum masa An-Nawawi. An-Nawawi hidup pada abad ke 7 H, karena beliau lahir pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 676 H. Jadi, karya-karya ulama Asy-Syafi’iyyah yang beliau kaji baik berupa kitab maupun bertalaqqi pada guru adalah karya-karya ulama dalam rentang waktu antara abad ke 3 H- 7 H. Sebab Asy-Syafi’i lahir tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Artinya, karya-karya mulai tahun ke 3 H sampai abad 7 H-lah yang dijadikan referensi utama An-Nawawi untuk mengerjakan proyeknya.
Untuk mendapatkan gambaran akurat tentang kerja intelektual yang dilakukan An-Nawawi, tentu saja hal itu sangat sulit kalau tidak dikatakan mustahil. Hal itu dikarenakan sudah pasti banyak referensi yang dipakai An-Nawawi tetapi sudah tidak ditemukan atau belum ditemukan di zaman sekarang. Kalaupun ada referensi yang ditemukan, sebagian besar hari ini masihlah berupa manuskrip, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu mengaksesnya. Jangankan di zaman kita, di zaman Taqiyyuddin As-Subki saja (w. 756 H), yakni kira-kira satu abad setelah masa An-Nawawi, ternyata sudah banyak referensi An-Nawawi yang tidak bisa didapatkan. Itu dinyatakan oleh Taqiyyuddin As-Subki pada saat beliau hendak membuat takmilah terhadap kitab Al-Majmu’, dan beliau merasa sangat kesulitan untuk membuat syarah yang selevel dengan syarah An-Nawawi karena tidak adanya referensi cukup yang bisa didapatkan di zamannya. Oleh karena itu, dalam catatan ini saya hanya sekedar membuat gambaran sekilas saja tentang kerja tahrir mazhab yang dilakukan An-Nawawi, tentu saja dari sumber-sumber yang bisa saya akses yang jumlahnya masih sangat terbatas.
Jika kita mengkaji topik hukum berjamaah untuk salat fardu pada kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah sebelum masa An-Nawawi seperti Mukhtashor Al-Muzani, Ta’liqoh Al-Qodhi Husain, Ta’liqoh Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari, Al-Hawi Al-Kabir, Al-Muhadzdzab, At-Tahdzib, Bahru Al-Madzhab dan semisalnya, maka kita memang akan mendapati bahwa ada tiga pendapat dalam hal ini.
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa salat fardu secara berjamaah itu hukumnya fardu ain. Ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin yang berpendapat ini di antaranya adalah Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Ishaq bin Rohawaih, dan Abu Tsaur.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa salat fardu secara berjamaah itu hukumnya sunah, tepatnya sunah muakadah. Ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin yang berpendapat ini di antaranya adalah Al-Qodhi Husain, Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari, Abu Hamid, dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah. Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari dalam ta’liqohnya berani menegaskan bahwa ini adalah pendapat seluruh fukaha. Ini pendapat yang dipilih oleh Al-Baghowi dalam At-Tahdzib dan Asy-Syirozi dalam At-Tanbih.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa salat fardu secara berjamaah itu hukumnya fardu kifayah. Ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin yang berpendapat ini di antaranya adalah Abu Al-‘Abbas Ibnu Suraij dan Abu Ishaq Al-Marwazi. Ini pendapat yang dipilih Ar Ruyani dalam Bahru Al-Madzhab dan Al-‘Imroni dalam Al-Bayan.
Apa dalil masing-masing?
Untuk yang berpendapat fardu ain, di antara dalilnya adalah ayat berikut ini,
{وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ } [النساء: 102]
Artinya,
“Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu ”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan salat berjamaah dalam kondisi takut dan syiddah, yakni saat salat khouf. Padahal salat khouf mengancam nyawa. Ini menunjukkan jamaah tidak bisa ditinggalkan, jadi hukum berjamaah untuk salat wajib adalah fardu ain.
Dalil yang lain adalah ayat ini,
{ يَاقَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (31) وَمَنْ لَا يُجِبْ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الْأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ} [الأحقاف: 31، 32]
Artinya,
“Wahai kaum kami! Penuhilah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah. Dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan barang siapa tidak memenuhi (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari siksa Allah di bumi padahal tidak ada pelindung baginya selain Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk menjawab panggilan da’iyallah. Maksud da’iyallah adalah muazin. Jadi, menjawab muazin dengan mendatangi masjid untuk salat berjamaah hukumnya fardu ain, karena dalam ayat tersebut dikatakan siapapun yang tidak menjawab da’iyallah maka dia berada dalam kesesatan yang nyata.
Dalil lain adalah ayat ini,
{وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ} البقرة: 43
Artinya,
“Rukuklah bersama orang-orang yang rukuk ”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk rukuk bersama orang-orang yang rukuk. Ini menunjukkan bahwa salat berjamaah itu fardu ain, karena rukuk bersama orang-orang yang rukuk maknanya adalah salat berjamaah.
Selain ayat-ayat di atas, ada pula sejumlah hadis yang menunjukkan berjamaah untuk salat lima waktu itu hukumnya fardu ain. Di antaranya adalah hadis ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ (صحيح البخاري (3/ 32)
Artinya,
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintahkan seseorang untuk azan dan aku perintahkan seseorang untuk memimpin orang-orang salat. Sedangkan aku akan mendatangi orang-orang (yang tidak ikut salat berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian mengetahui bahwa ia akan memperaleh daging yang gemuk, atau dua potongan daging yang bagus, pasti mereka akan mengikuti salat ‘Isya berjama’ah .”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ ingin membakar rumah orang-orang yang tidak ikut salat berjamaah di masjid. Hal ini menunjukkan salat berjamaah itu hukumnya fardu ain.
Hadis lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ ». سنن ابن ماجه – مكنز (3/ 69)
Artinya,
“Dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi ﷺ , beliau bersabda: “Barangsiapa mendengar suara adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada salat baginya kecuali karena udzur .”
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa siapapun yang mendengar azan, lalu tidak datang ke masjid untuk salat berjamaah, maka dia dianggap tidak salat. Hal ini menunjukkan salat berjamaah itu hukumnya fardu ain.
Hadis lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
عَنِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِى قَائِدٌ لاَ يُلاَئِمُنِى فَهَلْ لِى رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّىَ فِى بَيْتِى قَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « لاَ أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً ». سنن أبى داود – م (1/ 216)
Artinya,
“Dari Ibnu Ummi Maktum bahwasanya dia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ , dia berkata; Ya Rasulullah, saya adalah seorang yang buta dan rumahku jauh, sedangkan saya mempunyai orang yang menuntunku tapi dia tidak membantuku, maka apakah saya mendapatkan keringanan untuk melaksanakan salat di rumahku? Beliau bersabda: “Apakah kamu mendengar azan?” Dia menjawab; Ya. Beliau bersabda: “Saya tidak mendapatkan keringanan untukmu! ”
Dalam hadis di atas, diceritakan ada seorang lelaki buta di zaman Nabi ﷺ yang bernama Ibnu Ummi Maktum. Dia merasa kesulitan salat berjamaah karena butanya. Dia minta keringanan kepada Rasulullah ﷺ supaya diizinkan salat munfarid di rumahnya. Tetapi ternyata Rasulullah ﷺ tidak mengizinkan dan tetap memerintahkan datang salat berjamaah selama masih bisa mendengar azan. Hal ini menunjukkan salat berjamaah itu fardu ain yang tidak bisa ditinggalkan meski buta.
Hadis lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِينَ شُهُودُ الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ لَا يَسْتَطِيعُونَهُمَا أَوْ نَحْوَ هَذَا (موطأ مالك (1/ 389)
Artinya,
“Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “(Pembeda) antara kita dengan orang munafik adalah menghadiri salat Isya dan Subuh. Mereka tidak bisa melaksanakannya .”
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menyoroti ketidakmampuan orang munafik untuk salat Subuh dan salat Isya. Rasulullah ﷺ menjadikan ketidakmampuan datang salat Subuh dan Isya sebagai salah satu ciri orang munafik. Jadi, hadis ini juga menunjukkan salat berjamaah itu fardu ain, karena meninggalkannya adalah ciri kemunafikan.
Selain hadis-hadis di atas, ada pula atsar-atsar yang menguatkan kesimpulan fardu ainnya salat berjamaah. Misalnya atsar berikut ini,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ (صحيح مسلم (3/ 387)
Artinya,
“Dari Abdullah, katanya; “Siapa berkehendak menjumpai Allah besok sebagai seorang muslim, hendaklah ia jaga semua salat yang ada, di manapun ia mendengar panggilan salat itu, sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian sunah-sunah petunjuk, dan sesungguhnya semua salat, diantara sunah-sunah petunjuk itu, kalau kalian salat di rumah kalian sebagaimana seseorang yang tidak hadir di masjid, atau rumahnya, berarti telah kalian tinggalkan sunah Nabi kalian, sekiranya kalian tinggalkan sunah Nabi kalian, sungguh kalian akan sesat ”
Dalam riwayat di atas, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa salat berjamaah adalah sunah Nabi ﷺ . Siapa yang salat di rumah berarti dia meninggalkan sunah Nabi ﷺ . Barangsiapa meninggalkan sunah Nabi ﷺ , maka dia akan tersesat. Jadi, bisa dipahami bahwa Ibnu Mas’ud adalah termasuk shahabat yang berpendapat bahwa salat berjamaah adalah fardu ain.
Atsar lain yang menguatkan adalah riwayat berikut ini,
قَالَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ (السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (3/ 174)
Artinya,
“Ali ra. berkata, ‘Tidak ada salat bagi tetangga masjid kecuali di masjid ”
Dalam atsar di atas, Ali menegaskan bahwa orang yang rumahnya di dekat masjid dan menjadi tetangga masjid, jika salatnya tidak di masjid maka salatnya tidak dianggap, yakni tidak sah. Jadi atsar ini menunjukkkan salat berjamaah itu fardu ain.
Atsar lain yang menguatkan adalah riwayat berikut ini,
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ (صحيح مسلم (3/ 387)
Artinya,
“Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah diantara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) salat yang ada .”
Dalam riwayat di atas Ibnu Mas’ud menceritakan bagaimana di zaman Rasulullah ﷺ, orang yang sakit sampai tidak bisa berjalan sendiri saja masih mengusahakan salat berjamaah di masjid meski dipapah. Hal ini menunjukkan salat berjamaah itu fardu ain.
Alasan lain, salat lima waktu adalah salat fardu, jadi jamaahnya juga wajib sebagaimana salat jumat.
Itu semua adalah dalil-dalil yang dipakai ulama Asy-Syafi’iyyah yang berpendapat bahwa berjamaah dalam salat 5 waktu itu hukumnya fardu ain. Mereka meyakini inilah mazhab Asy-Syafi’i yang sesungguhnya. Al-Qodhi Al-Husain dalam ta’liqohnya dengan mengutip Abu Sulaiman Al-Khotthobi bahkan mengklaim bahwa Asy-Syafi’i menyatakan dengan ijtihad lugas bahwa salat berjamaah itu fardu ain. (bersambung ke bagian 3)
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين