Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Adapun ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah yang berpendapat hukum berjamaah untuk salat fardu adalah sunah muakadah, maka dalil-dalilnya adalah sebagai berikut.
Rasulullah ﷺ bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا (صحيح مسلم (3/ 373)
Artinya,
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Salat jama’ah lebih utama dua puluh lima derajat daripada salat salah seorang diantara kalian dengan sendiri .”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa salat berjamaah itu lebih afdal daripada salat sendirian sebanyak 25 bagian. Artinya, salat berjamaah itu punya keutamaan, salat sendirian juga punya keutamaannya. Hanya saja, salat berjamaah lebih utama. Hal ini menunjukkan salat sendirian itu sah. Jadi, hukum salat berjamaah itu bukan fardu ain, tetapi sunah muakadah. Tidak benar jika hadis ini ditakwilkan hanya berlaku pada orang yang punya uzur, karena orang yang punya uzur pahalanya ditulis sama oleh Allah dengan orang yang tidak punya uzur. Tidak benar juga jika hadis ini ditakwilkan bahwa hanya berlaku untuk kasus salat nafilah, karena salat nafilah yang utama justru di rumah sendirian, bukan berjamaah di masjid.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
عَنْ جَابِرِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غُلَامٌ شَابٌّ فَلَمَّا صَلَّى إِذَا رَجُلَانِ لَمْ يُصَلِّيَا فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَدَعَا بِهِمَا فَجِئَ بِهِمَا تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا قَالَا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا فَقَالَ لَا تَفْعَلُوا إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي رَحْلِهِ ثُمَّ أَدْرَكَ الْإِمَامَ وَلَمْ يُصَلِّ فَلْيُصَلِّ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌ (سنن أبى داود (2/ 189)
Artinya,
“Dari Jabir bin Yazid bin Al-Aswad dari ayahnya bahwasanya dia pernah salat bersama Rasulullah ﷺ sementara ketika itu dia masih muda. Tatkala salat telah selesai dilaksanakan, ada dua orang laki-laki yang berada di salah satu sudut masjid tidak melaksanakan salat, maka beliau memanggil keduanya dan keduanya pun didatangkan dalam kondisi ketakutan, lalu beliau bersabda: “Apa yang menghalangi kalian berdua untuk melaksanakan salat bersama kami?” Mereka menjawab; Kami sudah melaksanakannya di rumah kami. Beliau bersabda: “Janganlah kalian melakukannya lagi, apabila seseorang di antara kalian sudah melaksanakan salat di rumahnya, lalu mendapatkan imam sedang salat, maka salatlah bersamanya, karena yang ini baginya adalah nafilah (sholat sunah) ”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ memerintahkan orang yang sudah salat sendirian untuk tetap ikut berjamaah sebagai salat tambahan. Hal ini menunjukkan salat sendiriannya sudah sah dan sudah menggugurkan kewajiban. Jadi salat berjamaah bukan fardu ain, tapi sunah muakadah.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ الْأَنْصارِيَّ ثُمَّ أَحَدَ بَنِي سَالِمٍ قَالَ كُنْتُ أُصَلِّي لِقَوْمِي بَنِي سَالِمٍ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَإِنَّ السُّيُولَ تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ مَسْجِدِ قَوْمِي فَلَوَدِدْتُ أَنَّكَ جِئْتَ فَصَلَّيْتَ فِي بَيْتِي مَكَانًا حَتَّى أَتَّخِذَهُ مَسْجِدًا فَقَالَ أَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَغَدَا عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ مَعَهُ بَعْدَ مَا اشْتَدَّ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى قَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ مِنْ الْمَكَانِ الَّذِي أَحَبَّ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ فَقَامَ فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ ثُمَّ سَلَّمَ وَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَ (صحيح البخاري (3/ 343)
Artinya,
“‘Itban bin Malik Al Anshari kemudian seseorang dari suku Bani Salim berkata, “Aku pernah memimpin salat kaumku, Bani Salim. Pada kemudian hari aku menemui Nabi ﷺ , lalu aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang sudah lemah penglihatan sedangkan genangan-genangan dari saluran air sering menghalangi antara aku dan masjid kaumku. Seandainya tuan berkenan, bolehlah tuan datang berkunjung lalu salat di rumahku pada suatu tempat yang akan aku jadikan tempat sujudku?.” Maka beliau berkata, “Aku akan datang, Insyaallah.” Kemudian beliau datang kepadaku bersama Abu Bakar di waktu siang yang terik. Nabi ﷺ lalu minta izin masuk dan aku pun mengizinkannya. Sebelum duduk beliau langsung bersabda: “Mana tempat yang kau sukai untuk aku salat padanya di rumahmu ini?” Maka Itban memberi isyarat kepada beliau tempat yang disukainya supaya beliau salat di tempat tersebut. Beliau lalu berdiri salat dan kamipun berdiri salat mengatur shaf di belakangnya. Kemudian beliau mengakhiri salat dengan salam, maka kamipun mengucapkan salam setelah beliau salam .”
Dalam hadis di atas ‘Itban bin Malik mengadu kepada Rasulullah ﷺ kesulitannya untuk salat berjamaah ke masjid. ‘Itban ingin salat di rumah dan meminta Rasulullah ﷺ untuk salat di salah satu bagian rumahnya supaya di jadikan mihrab khusus untuk ‘Itban. Rasulullah ﷺ setuju. Jadi, riwayat ini menunjukkan ‘Itban salat sendirian di rumah dan diizinkan Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, berdasarkan riwayat ini bisa difahami bahwa salat berjamaah itu bukan fardu ain tetapi sunah muakadah.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ (صحيح مسلم (3/ 482)
Artinya,
“Dari Ibnu Umar, bahwa ia menyeru salat pada malam yang sangat dingin dan hujan angin, di akhir seruannya ia berkata; ‘Alaaa shalluu fii rihaalikum, ‘Alaa shalluu fir rihaaal, (Perhatikan, salatlah kalian di persinggahan kalian, Perhatikan, salatlah kalian di persinggahan) ” Kemudian katanya; “Dahulu Rasulullah ﷺ juga pernah menyuruh muazinnya jika malam sangat dingin atau terjadi hujan, yaitu ketika safar untuk mengumandangkan ‘Alaa shalluu fii rihaalikum (Perhatikan, salatlah kalian di persinggahan kalian?) .”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ memerintahkan salat sendiri-sendiri dalam kondisi malam yang dingin, penuh badai dan hujan deras. Seandainya salat berjamaah itu fardu ain, maka cuaca tidak boleh menjadi penghalang untuk melaksanakannya, sebagaimana panas dan dingin bukan penghalang kewajiban haji. Perintah Rasulullah ﷺ untuk salat sendiri-sendiri menunjukkan berjamah untuk salat fardu itu bukan fardu ain tapi sunah saja.
Dalil lain yang menguatkan adalah riwayat shahabat yang dihukum muqotho’ah yang salat dirumahnya sendiri. Ada tiga shahabat yang tidak ikut perang tabuk sehingga dihukum Rasulullah ﷺ dengan hukuman muqotho’ah, yakni diputus hubungan, tidak diajak bicara, tidak disapa, tidak dijawab salamnya dan tidak diramahi. Mereka adalah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Muroroh bin Ar-Robi’. Dari tiga orang ini, Ka’ab bin Malik adalah yang paling muda dan paling kuat. Dua kawannya lebih lemah. Jadi Ka’ab bin Malik masih ikut salat berjamaah sementara dua kawannya salat di rumah masing-masing. Ka’ab bin Malik bercerita,
فَأَمَّا صَاحِبَايَ فَاسْتَكَانَا وَقَعَدَا فِي بُيُوتِهِمَا يَبْكِيَانِ وَأَمَّا أَنَا فَكُنْتُ أَشَبَّ الْقَوْمِ وَأَجْلَدَهُمْ فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَشْهَدُ الصَّلَاةَ مَعَ الْمُسْلِمِينَ (صحيح البخاري (13/ 328)
Artinya,
“…Adapun dua orang teman saya, maka mereka merasa lumpuh dan bersimpuh sedih di rumahnya sambil menangis. Adapun saya, maka saya adalah yang paling muda di antara mereka dan yang paling tegar. Saya tetap keluar dari rumah, pergi ke masjid untuk menghadiri salat berjamaah bersama kaum muslimin lainnya…”
Jadi, riwayat di atas menunjukkan ada shahabat yang salat di rumah dan didiamkan oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan salat berjamaah itu hukumnya sunah muakadah bukan fardu ain.
Adapun semua argumentasi yang mengatakan fardu ain, maka semuanya bisa dibantah. Tentang ayat yang memerintahkan salat khouf berjamaah, maka itu konteksnya adalah taklim. Maksudnya, mengajarkan bagaimana cara salat berjamaah dalam kondisi perang. Bukan perintah berjamaahnya, tetapi cara salat khoufnya yang dijadikan fokus. Lagipula, saat perang justru berjamaah itu yang lebih merealisasikan keamanan karena bisa saling menjaga. Berbeda halnya jika salat sendiri-sendiri, karena itu malah membuat rentan terkena serangan musuh. Jadi, ayat tentang salat khouf adalah ayat taklim salat khouf yang dilakukan secara berjamaah, dan itu kondisi khusus yang tidak bisa disamakan dengan semua kondisi secara mutlak.
Tentang ayat yang memerintahkan untuk menjawab panggilan da’iyallah, maka maksud da’iyallah adalah Nabi Muhammad. Jadi ayat ini berisi perintah mengimani Nabi Muhammad ﷺ , tidak berbicara tentang salat berjamaah.
Tentang ayat yang memerintahkan agar rukuk bersama orang-orang yang rukuk, maka maknanya adalah lakukan salat. Tidak bermakna wajib salat berjamaah. Karena orang yang salat sendiri, maknanya dia juga melakukan rukuk sebagaimana orang-orang lain yang salat, baik dia salat berjamaah maupun sendiri.
Tentang hadis bahwa Rasulullah ﷺ ingin membakar rumah orang-orang yang tidak ikut salat berjamaah di masjid, termasuk celaan kepada munafik yang tidak bisa datang salat subuh dan isya, maka itu maksudnya adalah ingin membakar rumah orang-orang munafik. Jadi, kemarahan Rasulullah ﷺ adalah karena kemunafikannya, bukan karena tidak salat berjamaahnya. Buktinya dalam banyak hadis, Rasulullah ﷺ mendiamkan shahabat yang salat sendirian di rumah.
Tentang Rasulullah ﷺ yang mengatakan bahwa siapapun yang mendengar azan, lalu tidak datang ke masjid untuk salat berjamaah, maka dia dianggap tidak salat, termasuk hadis orang buta yang tidak diberi keringanan untuk tidak ke masjid, maka yang dimaksud adalah salat jumat. Bukan salat fardu. Salat jumat memang wajib berjamaah, tidak sah munfarid.
Tentang atsar Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa salat berjamaah adalah sunah Nabi ﷺ , sementara siapa yang meninggalkan sunah Nabi ﷺ , maka dia akan tersesat, maka itu maksudnya adalah menekankan keutamaan salat jamaah dan serius melawan berbagai kesulitan yang menghalanginya, bukan menunjukkan salat berjamaah itu fardu ain.
Tentang atsar Ali yang mengatakan bahwa orang yang rumahnya di dekat masjid dan menjadi tetangga masjid, jika salatnya tidak di masjid maka salatnya tidak dianggap, maka itu maksudnya adalah salatnya tidak sempurna. Bukan tidak sah, tetapi tidak sempurna. Salat munfaridnya tetap sah, hanya saja kurang sempurna.
Itu semua adalah argumentasi pendapat ulama Asy-Syafi’iyyah yang mengatakan bahwa hukum berjamaah untuk salat lima waktu adalah sunah muakadah. Pendapat ini meyakini bahwa pendapat mazhab Asy-Syafi’i untuk kasus ini memang sunah muakadah, bukan fardu ain.
Adapun ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah yang berpendapat hukum berjamaah untuk salat fardu adalah fardu kifayah, maka dalilnya adalah hadis berikut ini,
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِى قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ ». قَالَ زَائِدَةُ قَالَ السَّائِبُ يَعْنِى بِالْجَمَاعَةِ الصَّلاَةَ فِى الْجَمَاعَةِ. (سنن أبى داود – م (1/ 214)
Artinya,
“Dari Abu Ad-Darda` dia berkata; Saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda; “Tidaklah tiga orang di suatu kota atau desa yang tidak didirikan salat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya) ”
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ memerintahkan iqomatus sholah (menegakkan salat) pada lafal la tuqomu fihimus sholah (secara berjamaah) jika sudah ada 3 ornag atau lebih di sebuah desa atau kota. Jadi, yang ditekankan Rasulullah ﷺ adalah adanya jamaah, bukan semuanya disuruh berjamaah. Rasulullah ﷺ juga mengatakan bahwa negeri yang tidak ditegakkan jamaah berarti sudah dikuasai setan. Hal ini menunjukkan salat berjamaah itu bukan sekedar sunah, tetapi wajib. Hanya saja wajibnya adalah kifayah dengan bukti bahwa yang ditekankan nabi adalah tegaknya jamaah, bukan semuanya berjamaah.
Semua dalil yang mengatakan bahwa salat berjamaah itu sunah, dibantah dengan riwayat ini karena dalalah perintah dalam hadis Abu Ad-Darda’ ini adalah perintah keras dengan bukti vonis dikuasai setan, yang tidak mungkin difahami kecuali kewajiban. Semua dalil yang dipakai ulama yang mengatakan salat berjamaah itu fardu ain juga bisa diterima (atau minimal menguatkan) dari sisi wajibnya, bukan dari sisi ‘ainnya. Hanya saja, wajibnya itu tidak bisa dikatakan ‘ain, karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mendiamkan sahabat yang salat sendiri-sendiri dan mengabsahkan status salatnya. Jadi, hal ini menunjukkan status hukum berjamaah untuk salat 5 waktu adalah fardu kifayah, bukan fardu ain atau sunah muakadah.