Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Jangankan mengajar santriwati wanita, apalagi yang cantik, sekedar mengajar santri pria tapi masih remaja saja An-Nawawi menolak karena takut fitnahnya!
Kebiasaan An-Nawawi jika datang santri pria yang masih amrod, yakni masih remaja yang belum tumbuh kumis dan jenggotnya adalah mengarahkan santri tersebut agar belajar kepada guru lain yang dipercaya beliau. Biasanya guru yang menjadi langganan kepercayaan An-Nawawi adalah Al-Asytari dan Al-Firkah. Alangkah waraknya sang imam!
As-Sakhowi menulis kebiasaan An-Nawawi itu sebagai berikut,
وَلِشِدَّةِ وَرَعِهِ لَمْ يَكُنْ يُكْثِرُ مِنْ إِقْرَاءِ الشَّبَابِ، بَلْ كَانَ يُرْشِدُ مَنْ يَقْصِدُهُ مِنْهُمْ للاشْتِغَالِ، إِلى الشَّيْخِ أَمِيْنِ الدِّيْنِ أَبِيْ العَبَّاسِ أَحْمَدَ بْنِ الشَّمْسِ أَبِيْ بَكْرٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الجَبَّارِ الأَشْتَرِيّ، الحَلَبِيّ، الْمُتَوَفّى فِيْ سَنَةِ إِحْدَى وَثَمَانِيْنَ وَسِتِّمِائَةٍ، بَعْدَ الشَّيْخِ بِسَنَتَيْنِ، لِعِلْمِهِ بِدِيْنِهِ وَأَمَانَتِهِ، وَكَذَا كَانَ يُرْشِدُهُمْ إِلى التَّاجِ ابْنِ الفِرْكاَحِ، ” كَمَا أُسْلِفُهُ عِنْدَ ذِكْرِ الأَخْذِ عَنْهُ ” إِنْ صَحَّتْ تِلْكَ الحِكَايَةُ.
Artinya: “Demikian kuat sifat warak beliau (An-Nawawi), maka beliau tidak mau sering-sering mengajari para pemuda. Malahan, beliau mengarahkan kepada orang lain untuk belajar kepadanya, yakni kepada Syekh Aminuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin As-Syams Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abdul Jabbar Al-Asytari Al-Halabi yang wafat pada tahun 681 H, dua tahun setelah wafatnya Asy-Syaikh, karena ilmunya, agamanya, dan amanahnya. Demikian pula An-Nawawi kadang mengarahkan para pemuda itu untuk belajar kepada At-Taj Al-Firkah sebagaimana telah saya nyatakan sebelumnya saat membahas tentang guru-guru An-Nawawi jika memang benar kisah tersebut.”
Terus terang, kehati-hatian An-Nawawi yang ini adalah termasuk sifat yang benar-benar tidak mudah ditiru oleh para ustaz, para guru dan para dai di zaman sekarang. Apalagi jika sang pengajar masih muda dan masih bergolak darah mudanya. Malahan, santriwati cantik ini bukannya dihindari, tetapi malah “diburu”. Pengajar yang kebetulan memiliki santriwati cantik kadang-kadang secara tidak wajar memberikan perhatian lebih kepadanya daripada santriwati yang biasa-biasa saja. Entah, mungkin di hati kecil ada niat halus “memprospeknya” untuk menjadi istri. Guyonan yang sering muncul adalah ucapan, “dibina sebelum dibini”.
Kalau begitu, apakah tercela mengajari santri wanita kemudian memperistrinya? Apakah tercela memilih istri dengan paras yang cantik?
Sebenarnya, selama jalurnya pernikahan tidak ada alasan apapun untuk mencelanya ataupun mengharamkannya. Sebab, menikah memang satu-satunya jalur syar’i memiliki wanita dengan cara halal setelah perbudakan hari ini tidak ada. Bagaimanapun juga, pernikahan tetap lebih mulia daripada perzinaan. Meski pernikahan itu berupa poligami sekalipun. Beberapa ulama yang tidak suka istri dengan wajah cantik hanya karena melihat efeknya saja, bukan karena hukum asal memperistri wanita cantik itu haram atau makruh.
Hanya saja, seorang pengajar yang memiliki santri cantik yang diprospeknya untuk menjadi istri, potensi maksiat yang sangat mungkin terjadi adalah ketidakmampuan menjaga pandangan mata. Apalagi di zaman medsos saat ini. Dengan adanya berbagai aplikasi, potensi maksiat semakin berkembang meski tidak bertemu langsung. Hanya dengan kata-kata via tulisan, atau gambar, atau foto, atau voice note, orang sudah bisa terjerumus kemaksiatan.
Selain itu, potensi fitnah juga besar. Apalagi jika pengajar tersebut adalah ulama besar, atau ustaz populer, atau kyai panutan. Para pendengki bisa saja menjadikannya senjata untuk menyerang pribadi sang pengajar sebagai orang yang berkedok agama untuk memperoleh dunia. Bahkan bisa saja itu dipakai untuk menyerang Islam sebagai din. Para pembenci itu bisa menjadikannya sebagai contoh bahwa tokoh-tokoh agama itu tidak pernah bebas dari syahwat wanita.
Nah, An-Nawawi berada diposisi sulit itu semuanya. Dari sisi hukum fikih terkait memandang, An-Nawawi sangat ketat. Jika Ar-Rofi’i berpendapat memandang amrod itu mubah selama tanpa syahwat, maka An-Nawawi berpendapat memandang amrod itu haram secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tidak. Jika seperti ini fikih An-Nawawi, sudah bisa kita simpulkan bahwa beliau akan sangat kesulitan mengajar santri wanita, apalagi yang cantik. Posisi An-Nawawi sebagai ulama besar juga mengharuskan beliau sangat berhati-hati. Karena melakukan kesalahan meski hanya “satu senti” saja bagi tokoh terkenal, maka itu akan jadi bulan-bulanan para pembenci selamanya.
Jika seperti ini situasinya, maka secara logis ada dua kondisi minimal keputusan menikahi santri cantik itu akan meminimalkan fitnah. Pertama; Segera nikahilah. Kedua; Tidak menjadi dai terkenal.
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku saya; AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “Waraknya An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.