Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ikhlas, menyembah hanya Allah semata dan mengesakan-Nya itu adalah sikap dan keputusan yang sangat rasional. Saya akan memberikan contoh sederhana untuk menunjukkannya.
Ada seorang lelaki.
Dia baik sekali pada istrinya.
Istinya sungguh dimuliakan.
Setiap bulan dia diberi nafkah Rp.10.000.000,-
Itu belum uang jajan. Uang jajannya sendiri. Ada alokasi Rp.5.000.000,- khusus untuk uang jajan.
Belum uang kosmetik dan perawatan tubuh. Ada anggaran khusus untuk ini. Suaminya rela merogoh kocek Rp.7.500.000,- perbulan demi agar sang istri bisa berdandan ideal.
Jadi, tidak kurang setiap bulan suami memberikan yang 22,5 juta untuk istrinya yang tersayang ini.
Bukan hanya itu.
Setiap satu semester sekali, suaminya juga memberi kebebasan kepada istri untuk berpelesir dan pergi ke tempat-tempat wisata manapun yang diinginkan di seluruh dunia. Mau ke Hawaii silakan, mau ke puncak piramida Mesir silakan, mau ke Prancis dan berselfi di bawah menara Eiffel juga silakan. Mau ke Turki menikmati keindahan Hagia Sophia juga silakan. Yang jelas dua kali dalam setahun suaminya memberikan jatah itu dan kemanapun istri menginginkan pasti akan dikabulkan.
Pokoknya, sang suami ini sangat baik sekali kepada istrinya.
Hanya saja, ada perilaku yang aneh dari istrinya itu.
Normalnya wanita yang punya suami penyayang, tentu saja dia sudah selayaknya juga membalas dengan rasa sayang serupa. Sudah semestinya dia berkhidmat habis-habisan kepada suaminya itu. Sudah sepantasnya dia melayani suami dengan sebaik-baiknya.
Tapi ini tidak.
Wanita tersebut jika dandan cantik justru malah untuk pria lain, tetangganya.
Senyumnya yang manis juga untuk tetangga.
Panggil-panggil sayang juga ke tetangga.
Bermanja-manja juga ke tetangga.
Puja-puji kekaguman juga untuk tetangga.
Dia suka bergelayut-gelayut di pundak tetangga sambil mempermainkan kumis dan janggutnya
Di depan suaminya lagi!
Kira-kira bagaimana kita menilai perilaku wanita yang seperti itu?
Respon wajar kita tentu saja geram.
Dasar wanita tak tahu diri!
Dasar wanita tak tahu terima kasih!
Dasar wanita tak tahu diuntung!
Orang kok membalas air susu dengan air tuba. Pantaslah kalau suaminya bisa balik sangat membencinya dan mengusirnya dari rumahnya. Orang lain yang melihatnya saja seakan-akan ingin menghabisi wanita itu.
Begitulah perumpamaan Allah dengan hamba-Nya.
Sesungguhnya Allah itu sangat baik kepada kita.
Perhatikan.
Kita dibuat ada dari ketiadaan itu sudah satu kebaikan.
Engkau dibuat ada maka engkau menjadi berarti. Engkau menjadi bermakna. Engkau ada gunanya dalam hidup. Engkau dihargai. Engkau dimuliakan. Keberadaanmu diperhitungkan.
Kemudian Allah menjadikanmu eksis sebagai manusia.
Ini kebaikan Allah yang lain. Bukankah Dia kuasa menciptakanmu sebagai cacing? Bukankah Dia kuasa menciptakanmu sebagai tikus? Bukankah Dia kuasa menciptakanmu sebagai kecoa? Bukankah Dia kuasa menciptakanmu sebagai anjing? Bukankah dia kuasa menciptakanmu sebagai babi? Bukankah Dia kuasa menciptakanmu sebagai virus?
Cacing, tikus, kecoa, anjing, babi dan virus itupun bukankah nyawa juga? Bukankah mereka juga tidak meminta untuk menjadi cacing, tikus, kecoa, anjing, babi dan virus? Bukankah mereka tiba-tiba saja dan dipaksa hadir dalam kehidupan ini untuk menjadi cacing, tikus, kecoa, anjing, babi dan virus? Seandainya kita dibuat ada menjadi tikus dan sebagai gantinya tikus dibuat ada menjadi kita, bisakah masing-masing protes?
Pasti semua akan mengakui bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengubah nasibnya dan bertukar peran menjadi makhluk yang dikehendakinya. Sampai sini seharusnya terasa betul kita besarnya kebaikan Allah ketika memutuskan kita menjadi manusia. Menjadi makhluk yang paling dimuliakannya. Menjadi makhluk yang lebih mulia daripada hewan, tumbuhan, bahkan malaikat.
Bayangkan jika kita diciptakan menjadi tikus, lalu hidup kita hanya berlarian dari satu got ke got lain, mencuri makanan dari satu dapur ke dapur lain, kemudian dikejar-kejar untuk dibunuh, dan jika bernasib sial akan tewas di bawah pukulan kayu manusia.
Bayangkan jika kita menjadi nyamuk. Hidup kita pasti hanyalah terbang menguing-nguing di sekitar manusia. Jika kita hinggap pada pipi manusia, kemudian kita sedang sial dan ditepuk keras dengan tangannya, maka tewaslah kita. Tidak ada kisah kita. Tidak ada biografi nyamuk. Tidak ada kisah indah tertawa ria bersama orang tua. Tidak ada kisah indah di sekolah. Tidak ada kisah indah jatuh cinta. Tidak ada kisah indah menikah. Tidak ada kisah indah malam pertama.
Kemudian perhatikan juga saat Allah menjadikanmu sebagai manusia yang lengkap sempurna. Engkau bisa melihat indahnya pelangi, segarnya air hujan, hijaunya tanaman, dan senyuman yang indah. Engkau bisa mendengar suara yang merdu, tawa bayi yang lucu dan bisikan mesra kekasihmu. Tanganmu lengkap, kakimu lengkap, organ tubuh-tubuhmu lengkap. Sekarang bayangkan bagaimana hitamnya dunia bagi orang buta. Bagaimana sunyinya bumi bagi orang tuli. Bagaimana beratnya hidup bagi orang yang cacat tangan, lumpuh atau memiliki, organ yang tak lengkap. Bukankah orang-orang cacat itu juga tidak pernah meminta kepada Allah hadir di dunia sebagai orang cacat? Lalu jika Allah membuatmu lengkap sempurna, apakah belum terasa sebesar apa kebaikan Allah?
Kemudian perhatikan juga bagaimana tubuhmu yang sehat. Lihat bagaimana engkau bisa bekerja dengan baik, berolah raga, bertamasya, dan bersenang-senang dengan kekasihmu. Sekarang bayangkan dengan mereka yang tergolek sakit di rumah sakit. Yang tidak bisa kemana-mana dan menderita di tempat tidur. Yang cenut-cenut giginya samnetara tidak ada seorangpun yang datang menjenguk dan menghibur. Yang terkena Covid-19 dan berada dalam kecemasan antara hidup dan mati. Apakah sampai sini belum terasa kebaikan Allah yang sangat besar saat memberimu kesehatan?
Lalu perhatikan juga bagaimana Allah mentakdirkanmu lahir di negeri yang indah permai nan damai seperti Indonesia ini. Bayangkan dengan orang-orang yang lahir di negeri konflik seperti Palestina, Suriah dan semisalnya. Bukankah mereka juga tidak minta untuk lahir di negeri yang setiap saat nyawa terancam oleh senapan atau bom yang nyasar? Kita di sini bisa sekolah dengan tenang, bekerja dengan nyaman, berpelesiran tanpa ada yang mengganggu, dan menikmati indahnya alam secara gratis kapanpun dan di manapun. Sampai di sini apakah belum terasa kebaikan Allah di beri negeri yang indah dan damai?
Dan seterusnya.
Dan seterusnya
Jika kita cari terus maka pasti akan ketemu kebaikan-kebaiakn dan nikmat Allah yang tiada tara yang kita tidak akan bisa menghitungnya.
Nah, jika Allah sudah sebaik ini bukankah pantas jika kita mengabdi hanya kepada-Nya?
Bukankah sangat pantas jika kita berterima kasih kepada-Nya lalu bertekad seumur hidup hanya menyembah-Nya?
Bukankah sangat pantas jika kita memurnikan motivasi saat berbuat baik hanya untuk membuat-Nya rida?
Bukanlah sungguh zalim dan tak tahu diri jika kita malah berusaha mencari pujian manusia dan pamrih kepada mereka sementara mereka tidak pernah menciptakan kita, tidak memiliki nyawa kita dan tidak mengawasi kita sepanjang waktu?
Benarlah Lukman Al-Hakim saat menasihati putranya “Jangan menduakan Allah!”. Menduakan Allah itu sungguh kezaliman yang besar. Sebab menduakan Allah itu bermakna tak tahu balas budi. Tak mengerti berterima kasih. Air susu di balas air tuba.
Artinya,
“(ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S.Luqman; 13)