Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika suami yang berpoligami memutuskan menginap di tempat salah satu istrinya, maka seketika itu juga dia terkena kewajiban qasm (القسم), yakni membagi jatah hari secara adil untuk istri-istrinya. Ketika tiba giliran salah satu istri, maka hal itu bermakna suami MEMBERI WAKTU untuk istrinya tersebut.
Makna memberi waktu untuk istri adalah menjadikan waktu tersebut sebagai WAKTU EKSKLUSIF yang tidak boleh diganggu istri-istri yang lainnya. Suami menghabiskan waktu tersebut bersama istri dengan cara menginap di tempatnya dan haram bagi suami memakai waktu tersebut untuk kegiatan di luar rumah bersama istri-istrinya yang lain.
Hanya saja, mengingat definisi satu hari adalah gabungan siang plus malam, maka harus diperjelas dulu makna waktu eksklusif ini. Yakni diperjelas, “Apakah waktu eksklusif untuk istri ini mencakup siang dan malam ataukah siang saja ataukah malam saja?”
Jawaban dari pertanyaan ini adalah waktu eksklusif untuk istri itu hanyalah malam saja. Yakni mulai tenggelam matahari sampai terbit fajar. Alasannya, malam adalah ‘imādul qasmi sebagaimana telah saya tulis panjang lebar dalam artikel yang berjudul “IMĀDUL QASMI DALAM POLIGAMI”.
Oleh karena itu, hanya malam saja yang menjadi waktu eksklusif untuk istri. Adapun siangnya, secara hukum waktu tersebut tetap menjadi jatah waktu istri yang mendapatkan giliran, hanya saja penggunaan waktunya tidak bersifat eksklusif, tidak ketat dan bersifat longgar. Alasannya, waktu siang adalah waktu kerja dan waktu yang umumnya orang beraktivitas di luar rumah. Jadi, tidak mungkin menjadikan waktu siang sebagai waktu eksklusif, sebab hal itu akan membuat suami tidak bekerja, tidak bisa melaksanakan fardu kifayah dan tidak bisa menyelenggarakan aktivitas-aktivitas kehidupan yang lain. Aktivitas di siang hari juga tidak bisa ditebak, terkadang sangat sibuk, terkadang pertengahan dan terkadang sangat longgar.
Oleh karena itu, dalam fikih, suami tidak harus berpikir mengatur waktu siang hari dengan kadar yang sama untuk istri-istrinya, sebab memang tidak wajib menyamakan jatah waktu siang bersama istri-istrinya. Mewajibkan suami memberi jatah siang yang sama untuk istri akan menimbulkan masyaqqah/kesusahan kepada suami dan itu bukan pergaulan yang baik terhadap suami. Rasulullah ﷺ sendiri banyak menggunakan waktu siangnya di luar rumah, bahkan berkeliling kepada istri-istri yang lainnya untuk sekedar mengobrol bahkan sampai istimtā’.
Jadi, sekali lagi waktu istimewa dan waktu eksklusif untuk istri itu hanyalah malam hari saja. Siang hari tetap jatah hari istri yang mendapatkan giliran, tetapi sifatnya lebih longgar, bukan waktu eksklusif.
KONSEKUENSI WAKTU EKSKLUSIF
Akibat hukum waktu eksklusif untuk istri adalah haramnya suami mendatangi istri lainnya pada waktu eksklusif tersebut. Oleh karena waktu eksklusif untuk istri yang mendapatkan giliran adalah malam hari, maka haram hukumnya suami mendatangi istri lainnya di malam tersebut meskipun ada hajat semisal menjenguk istrinya yang sedang sakit, meletakkan barang dan semisalnya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Tidak boleh dalam kondisi pertama (suami menetapkan malam hari sebagai standar pembagian waktu) dia (suami) menemui istri lain di malam hari padahal itu bukan gilirannya.” (Minhāj al-Ṭālibīn hlm 224)
Apalagi untuk istimtā’/bercumbu dan atau berjimak. Itu juga lebih terlarang lagi. Jika suami melanggar, maka dia berdosa, sebab itu merugikan hak waktu istri yang mendapatkan giliran. Jika suami keluar ke tempat istri yang lain dengan durasi sebentar maka dia berdosa tapi tidak wajib meng-qaḍa’ waktu, tetapi jika durasinya lama, maka dia berdosa dan wajib meng-qaḍa’.
Akan tetapi, jika kepentingannya darurat, misalnya istri yang lain sakit parah yang dikhawatirkan wafat jika tidak diurus, atau hendak melahirkan, atau rumahnya terbakar, atau ada potensi dirampok, atau ada potensi diperkosa dan semisalnya, maka suami tidak berdosa jika keluar malam ke rumah istrinya yang lain. Hanya saja, jika durasi waktu yang dipakai lama, maka suami tetap wajib meng-qaḍā’. Alasannya, jatah waktu bersama suami adalah hak istri, dan hak istri disini termasuk ḥaqqun ādamī sementara ḥaqqun ādamī itu tidak bisa gugur hanya karena uzur. Kepentingan darurat adalah uzur syar’i, hanya saja itu tidak menggugurkan hak waktu yang dimiliki oleh istri. Seperti orang yang berutang. Jika dia miskin dan belum bisa membayar, maka itu tetap jadi utang, tidak gugur karena kelemahannya. Adapun jika durasi waktu yang dipakai untuk kebutuhan darurat itu sebentar, maka suami tidak berdosa dan tidak wajib meng-qaḍā’. Standar lama dan sebentar dikembalikan pada ‘urf.
Dengan demikian bisa disimpulkan ada 3 kemungkinan kondisi menemui istri lain di malam hari padahal waktu itu adalah jatah waktu istri tertentu.
Pertama, ada kebutuhan darurat seperti menjenguk istri yang sakit parah, kebakaran, hendak melahirkan, dikuatirkan ada perampok, dikuatirkan ada pemerkosa dan semisalnya. Dalam kondisi ini, jika suami datang ke istri yang lain untuk kepentingan tersebut, suami tidak berdosa tetapi wajib meng-qaḍa’ jika waktu yang dipakainya lama. Jika sebentar maka suami tidak berdosa dan tidak wajib meng-qaḍā’.
Kedua, ada kebutuhan tapi tidak darurat seperti menjenguk istri yang sedang sakit tapi tidak parah, meletakkan barang, memberikan nafkah, mengklarifikasi berita, menanyakan suatu urusan, bercumbu, bersetubuh dan semisalnya. Dalam kondisi ini jika suami datang ke istri yang lain untuk kepentingan tersebut, maka dia berdosa dan wajib qaḍa’ jika waktu yang dipakainya lama. Jika sebentar maka suami berdosa dan tidak wajib meng-qaḍā’.
Ketiga, tidak ada kebutuhan dan tidak ada kepentingan melainkan hanya sekedar main-main. Dalam kondisi ini, jika suami datang ke istri yang lain untuk kepentingan tersebut maka dia berdosa dan wajib qaḍa’ jika waktu yang dipakainya lama. Jika sebentar maka suami berdosa dan tidak wajib meng-qaḍā’.
Adapun jika suami keluar malam hari untuk keperluan lain dan itu bukan ke tempat istri lainnya seperti menonton bola, memancing, main catur atau melakukan hobi apapun, maka dia juga dikatakan telah menzalimi waktu istrinya dan dia juga wajib meng-qaḍā’ jika waktu yang dipakainya lama. Bahkan seandainya suami dizalimi orang dan dipaksa keluar malam hari, maka suami tetap wajib meng-qaḍā’ jatah waktu istrinya jika waktu keluar rumah itu lama. Jika sebentar, maka tidak wajib meng-qaḍā’. Hanya saja, cara meng-qaḍā’ dalam kondisi seperti ini harus mengambil waktu setelah selesai satu siklus. Tidak boleh mengambil jatah waktu salah satu istri. Penjelasan lebih detail bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “CARA SUAMI YANG BERPOLIGAMI MENG-QAḌA’WAKTU ISTRI YANG DIAMBILNYA”.
Adapun di waktu siang, sebagaimana sudah disinggug sebelumnya, penggunaan waktu oleh suami lebih longgar. Suami boleh menggunakannya full untuk istri yang mendapatkan jatah, boleh juga digunakan untuk bekerja, mengunjungi teman, berdakwah, bahkan mendatangi istri yang lain untuk kebutuhan darurat maupun kebutuhan yang tidak darurat tetapi penting semisal memberi nafkah, membesuk istri yang sakit, menanyakan kabar, mengklarifikasi berita, memecahkan masalah, dan semisalnya.
Hanya saja, jika suami mendatangi istri lain yang bukan jatah harinya, ada tiga kondisi yang membuatnya dihukumi berbuat zalim sehingga terkena kewajiban meng-qaḍā’ yaitu,
Pertama, mendatangi istri lain padahal tidak ada kebutuhan. Misalnya sekedar main-main atau sengaja bernyaman-nyaman dengan istri favorit tertentu.
Kedua, mendatangi istri lain dengan ada kebutuhan tapi berlama-lama sehingga melebihi waktu yang diperlukan untuk menunaikan kebutuhan tersebut.
Ketiga, mendatangi istri lain untuk menjimakinya dengan waktu yang lama.
Dalam tiga kondisi di atas, suami dihukumi berdosa dan wajib meng-qaḍā’. Jika waktunya sebentar, maka tidak wajib meng-qaḍā’.
Jika istri yang dizalimi jatah waktunya itu dicerai, maka suami tetap punya utang kezaliman. Suami akan tetap dituntut sampai akhirat jika mantan istri tidak rida. Talak yang dilakukan untuk mencegah istri mendapatkan hak waktu seperti ini termasuk cakupan talak bid’ah sebagaimana dijelakan dalam kitab-kitab fikih.
Jadi sekarang Anda para lelaki yang berpoligami sudah bisa membayangkan bahwa memberi waktu untuk istri itu seperti memiliki jadwal kajian yang wajib Anda penuhi karena Anda telah berjanji mendatanginya. Bahkan kewajiban memberi waktu eksklusif untuk istri ini lebih kuat, karena untuk kajian, statusnya fardu kifayah (secara umum) yang bisa diganti ustaz lainnya jika Anda berhalangan. Tetapi memberi jatah waktu bagi istri yang dipoligami, statusnya adalah fardu ain dan tidak bisa diwakilkan.
Patut dicatat, memberi waktu eksklusif untuk istri itu tidak bermakna wajib menyetubuhi istri setiap tiba jatah waktu istri. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Yang wajib hanyalah menyetubuhi minimal sekali setiap 4 bulan sekali. Lagipula wanita bisa saja pas haid saat tiba jatah harinya sehingga tidak mungkin melaksanakan perbuatan itu.
Selain tidak wajib jimak, suami juga tidak wajib tidur sekamar atau seranjang dengan istri, sebab tidur sekamar atau seranjang hukumnya sunah dengan bukti dalam hadis dibolehkan suami punya kasur yang berbeda dengan istri sebagaimana saya tulis dalam catatan berjudul “HUKUM TIDUR SEKAMAR DENGAN ISTRI”.
Jadi, makna memberi waktu eksklusif untuk istri adalah menginap di tempat istri. Tidak peduli apakah tidur seranjang ataukah tidak, menjimaki ataukah tidak. Saat menginap itu istri mendapatkan pergaulan yang baik seperti mengobrol, diajari ilmu, tempat curhat, diskusi masalah, saling bercanda, berpelukan, istimtā’ sampai jimak.
Terakhir, jika ‘īmādul qasmi ditetapkan siang hari, maka tinggal dibalik. Waktu ekslusif istri adalah siang hari, sementara malam hari lebih longgar.
***
29 Zulhijah 1442/ 8 Agustus 2021