Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Umumnya wanita itu jika berpendapat sering melibatkan perasaan dan hawa nafsunya.
Yang berilmu sekalipun.
Jarang yang sanggup berpendapat atas dasar ilmu, semata-mata didorong motivasi menunjukkan manusia ke jalan Allah dan menyingkirkan seluruh tendensi hawa nafsu.
Sering saya temui banyak wanita menyarankan perceraian, dengan alasan duniawi yang rendah semisal “Wanita juga berhak bahagia”. Tanpa mengerti detail-detail fikih iṣlāh, fikih talak, fikih iddah, fikih nafkah, kewajiban istri, konsepsi ṣabr, visi rumah tangga islami, dampak perceraian dll.
Ada juga sebagian wanita yang mungkin bisa baca kitab, lalu dengan berani menggagas kewajiban suami memberi “uang jajan istri” yang jelas dasarnya adalah hawa nafsu, bukan dalil.
Wajar jika dalam hadis wanita dikatakan nāqiṣātu ‘aqlin, yakni kurang akalnya. Ini tidak bermakna bodoh dan kurang cerdas. Bukan demikian. Tetapi menunjukkan umumnya wanita itu memang berat untuk menilai secara bijaksana dan bervisi jauh ke depan. Kebanyakan mereka menilai dengan melibatkan perasaan, emosi, hawa nafsu dan keinginan sesaat.
Kelemahan ini pula lah yang membuat wanita seringkali mudah ditipu lelaki hanya dengan pujian, rayuan dan janji-janji manis. Walaupun gelarnya doktor. Walaupun sudah mencapai level profesor. Ibnu al-Mizyan al-Qurṭubī berkata,
Artinya,
“Maksud wanita kurang akal adalah kurangnya kehati-hatian dalam berbagai urusan, memastikan kebenaran hakikatnya dan mencapai puncak kesempurnaan dalam hal tersebut. Umumnya wanita seperti itu, berbeda dengan lelaki.” (al-Mufhim, juz 1 hlm 269)
Oleh karena itu, al-Ṭībī menasihati agar jangan sampai cinta terhadap wanita itu membuat sampai menabrak yang haram. Jangan pula mudah menerima pendapat mereka. Waspadalah selalu dan timbang baik-baik berdasarkan petunjuk Allah. Al-Ṭībī berkata,
Artinya,
“Waspadalah jangan sampai cenderung (membela) wanita dengan yang haram. Waspada pulalah menerima pendapat mereka . Sebab mereka itu kurang akalnya. Umumnya tidak ada kebaikan dalam ucapan/pendapat mereka ” (Syarḥu al-Misykāt, juz 7 hlm 2260-2260)
***
Hanya saja, kelemahan ini adalah kelebihan dalam situasi lain.
Dominasi perasaan justru menjadi kelebihan dalam situasi tertentu walaupun dalam situasi yang lain melemahkan kemampuan menilai secara akurat dan bijaksana. Sebagaimana dominasi rasionalitas menjadi kelebihan dalam satu situasi sementara ia menjadi kelemahan dalam situasi yang lain.
Dominasi perasaan sangat bagus dan bermanfaat untuk menjalankan peran maksimal sebagai istri dan ibu. Sebab, menghibur suami, menguatkan suami, mengasuh anak dan membesarkannya perlu empati tinggi dan dominasi perasaan.
Yang seperti ini lemah dilakukan lelaki sehingga umumnya lelaki itu kurang peka, kurang perhatian, dan lekas bosan jika mengasuh anak. Walaupun dia lelaki yang sangat bertanggung jawab, memenuhi nafkah dengan baik, dan rela banyak berkorban demi keluarga.
***
Tetapi ada pula wanita yang level kebijaksanaannya sudah seperti lelaki yang berilmu dan bijaksana. Wanita-wanita seperti inilah yang layak didengarkan pendapatnya.
Seperti Rasulullah ﷺ meminta pendapat Ummu Salamah saat peristiwa perjanjian Hudaibiyah.
Juga seperti Rasulullah ﷺ mendengarkan pendapat Khadijah saat awal menerima wahyu.
Juga seperti Rasulullah ﷺ mendengarkan pendapat Aisyah dalam berbagai kesempatan.
Juga seperti Rasulullah ﷺ mendengarkan pendapat istri-istrinya saat menilai Aisyah dalam peristiwa haditsul ifki.
Juga seperti Abdullāh mendengarkan pendapat ibunya; Asmā’ saat bertempur dan sudah merasa sebentar lagi akan kalah. Dll
Di negeri kita juga ada sejumlah tokoh-tokoh wanita luar biasa yang memberikan pencerahan berbagai ilmu dengan bijaksana dan jelas memberikan manfaat untuk umat.
Tapi wanita dengan kualitas demikian sangat jarang.
Kebanyakan wanita ya seperti yang saya tuliskan di awal.
Melibatkan emosi, perasaan dan hawa nafsu saat berpendapat.
Patut dicatat juga, walaupun wanita-wanita hebat sepanjang zaman itu insya Allah selalu ada, tapi pendapat mereka terkadang masih salah juga karena kelemahan tersebut. Seperti pendapat Aisyah yang salah memutuskan untuk memerangi Ali dalam perang Jamal. Sebuah kesalahan pendapat yang diakui Aisyah juga di kemudian hari.
***
Lalu apa bedanya dengan lelaki?
Bukankah lelaki itu juga ada yang jahil dan ada yang berilmu?
Bukankah ada juga lelaki yang menggunakan ilmunya untuk memenuhi hawa nafsunya?
Jawabannya adalah pada aspek keumuman. Seperti penjelasan Ibnu al-Mizyan di atas.
Umumnya wanita tidak bisa mengontrol ucapan dan sering melibatkan perasaan serta hawa nafsu dalam menilai. Tapi ada wanita-wanita berilmu yang hebat yang bisa mengontrol ucapan serta menyingkirkan hawa nafsu saat berpendapat. Ada juga yang masih berproses sebagai penuntut ilmu dan memutuskan tidak berpendapat karena sadar diri belum tahu betul ilmunya.
Sebaliknya, umumnya laki-laki lebih bisa mengontrol ucapan dan tidak melibatkan perasaan atau hawa nafsu saat berpendapat. Walaupun ada juga lelaki yang tidak bisa mengontrol ucapan dan tidak bisa menyingkirkan hawa nafsu dan perasaan saat berpendapat. Ada juga yang masih berproses sebagai penuntut ilmu dan memutuskan tidak berpendapat karena sadar diri belum tahu betul ilmunya.
Oleh karena itu, talak diserahkan pada lelaki karena umumnya lelaki lebih bijaksana dalam memutuskan talak. Lebih tenang. Tidak terburu-buru. Banyak musyawarah dulu. Beda dengan umumnya wanita. Marah sedikit minta cerai. Kecewa sedikit minta cerai. Bisa jadi sehari sudah 10 kali minta cerai. Alangkah cepatnya rumah tangga buyar jika diserahkan kepada wanita.
6 Muharram 1445 H/ 24 Juli 2023 pukul 12.03