Sebutan “Iblis “ menunjuk makna isim ‘alam (اسْمُ العَلَمِ), bukan jenis makhluk. Agar Anda bisa memahami perbedaan antara isim ‘alam dan jenis makhluk, perhatikan ilustrasi berikut ini:
Ketika Anda menyebut “manusia” maka istilah tersebut menunjuk makna jenis makhluk tertentu yang membedakannya dengan hewan, tumbuhan, dan lain-lain. Namun jika Anda menyebut “Iwan”, maka sebutan Iwan itu menunjuk makna isim ‘alam, bukan jenis makhluk. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa isim ‘alam itu bermakna nama yang diberikan kepada sesuatu untuk membedakannya dengan yang sejenis dengannya. Jika manusia didefinisikan sebagai salah satu jenis makhluk hidup yang memiliki akal dan budi, maka Iwan, Bagaskoro, dan Sutiman adalah nama yang diberikan kepada individu-individu tertentu dari jenis manusia tersebut untuk membedakannya satu sama lain. Isim ‘alam bisa diberlakukan kepada banyak hal, baik makhluk hidup maupun bukan. Surabaya adalah isim ‘alam (yang menunjuk kota tertentu), Bromo adalah isim ‘alam (yang menunjuk gunung tertentu), dan Brantas juga isim ‘alam (yang menunjuk sungai tertentu).
Iblis adalah isim ‘alam, bukan isim jenis (اسْمُ الْجِنْس). Jenis Iblis adalah kelompok malaikat. Jadi nama Iblis tidak ada bedanya dengan nama Jibril, Mikail, Isrofil, Izrail dan semua nama-nama malaikat yang dikenalkan dalam nash dari sudut pandang isim ‘alam.
Di antara bukti yang menunjukkan bahwa Iblis adalah isim ‘alam adalah harokat huruf terakhir lafaz itu yang tidak pernah di-tanwin atau di-kasroh. Dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis, Anda hanya akan menemukan lafaz Iblis dengan harokat huruf terakhir di-dhommah (إِبْلِيسُ) atau di-fathah (إِبْلِيسَ). Hal itu dikarenakan lafaz Iblis termasuk isim ‘alam ajami, yakni isim ‘alam yang lafaznya bukan berasal dari bahasa Arab asli, sehingga digolongkan ke dalam isim ghoiru munshorif yang tidak boleh di-tanwin atau di-kasroh. Semua isim ‘alam ajami di Al-Qur’an diperlakukan seperti ini. Nama-nama seperti Yusuf, Ya’qub, Ibrahim, Jibril, Mikail dan semisalnya yang termasuk isim ‘alam ajami tidak akan pernah didapati di-tanwin huruf terakhirnya atapun di-kasroh. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa sebutan Iblis adalah isim ‘alam.
Jadi adalah kesalahan jika membayangkan istilah Iblis itu sebagai jenis makhluk sebagaimana manusia, jin, malaikat, dan semisalnya.
Iblis termasuk malaikat dinyatakan Al-Qur’an dalam banyak ayat, misalnya:
“Ingatlah ketika Aku berkata kepada para malaikat: Sujudlah kepada Adam, maka mereka pun sujud kecuali Iblis.” (Al-Baqarah:34)
Lam pada lafaz lil malaikah (لِلْمَلَائِكَةِ) adalah lam tabligh (لام التبليغ) yakni harf lam yang menunjukkan kepada siapa sebuah khithob/ujaran ditujukan. Lam seperti itu sama seperti ungkapan berikut ini:
قلت لزيد: تعال
“Aku berkata kepada Zaid, “Kemarilah””
Lam tabligh yang ada pada kata Zaid menunjukkan kepada siapa ucapan ta’al (تعال). Artinya aku sedang berbicara dengan Zaid dan mengarahkan ucapanku kepada Zaid, bukan Ali, Bakr, dll.
Oleh karena itu ketika Allah berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ
“Ingatlah ketika Aku berkata kepada para malaikat:…”
Maka lafaz ini menunjukkan bahwa Allah sedang berbicara dengan malaikat dan mengarahkan ucapan kepada malaikat, bukan selain malaikat.
Malaikat adalah bentuk jamak dari mal-ak (مَلْأَكٌ). Oleh karena lafaz ini sering disebut, maka hamzah-nya dibuang dan akhirnya menjadi malak (مَلَكٌ). Jadi satu malaikat disebut malak, sementara kumpulan malaikat disebut mala-ikah. Konteks ini harus dipegang, yakni Allah sedang berbicara dan mengarahkan firman-Nya kepada kumpulan malaikat, yang berarti malaikatnya berjumlah banyak alias lebih dari satu. Lafaz malaikah dalam ayat ini bersifat umum, karena itu harus dipahami keumumannya tanpa membedakan dimanapun mereka tinggal, berapapun sayap mereka, sebesar apapun tubuh fisik mereka maupun asal penciptaan di antara mereka.
Apa yang diucapkan Allah kepada para malikat yang bermacam-macam sifat fisik maupun asal penciptaannya itu? Allah memerintahkan mereka dengan berfirman:
اسْجُدُوا لِآدَمَ
“Sujudlah kepada Adam..”
Jadi para malaikat yang diajak bicara Allah itu diperintahkan Allah untuk bersujud dengan sujud penghormatan kepada Adam. Yang diperintah sujud adalah para malaikat, bukan makhluk lain selain malaikat.
Bagaimana reaksi para malaikat setelah diperintahkan Allah itu? Allah menerangkan:
فَسَجَدُوا
“maka merekapun sujud..”
Jadi, para malaikat itu sujud dengan penuh ketaatan terhadap perintah Allah. Yang sujud ini hanya para malaikat dan bukan selain malaikat, karena Allah memang sejak awal berbicara kepada para malaikat dan mengarahkan perintah hanya kepada malaikat. Dhomir mustatir ‘hum’ yang ada pada lafaz “fasajadu” kembali pada lafaz malaikah, bukan kepada lafaz selainnya.
Setelah itu Allah memberikan pengecualian:
إِلَّا إِبْلِيسَ
“..kecuali Iblis”
Artinya, di antara para malaikat itu, semuanya sujud kecuali satu malaikat yang bernama Iblis.
Lafaz illa dalam bahasa arab disebut istitsna’. Sudah lazim diketahui dalam bahasa Arab bahwa sesuatu yang dikecualikan (mustatsna) haruslah sejenis dengan induk pengecualiannya. Gambaran dalam bahasa Indonesia misalnya kalimat berikut ini:
“Orang-orang sudah pulang kecuali Andi”
Dalam kalimat di atas, lafaz Andi sejenis dengan lafaz orang-orang. Artinya, Andi adalah salah satu dari orang. Menjadi aneh jika sesuatu yang dikecualikan tidak sejenis dengan induk pengecualiannya, misalnya mengatakan:
“Orang-orang sudah pulang kecuali kambing”
Keanehan itu mudah ditangkap karena kambing memang tidak sejenis dengan orang-orang.
Oleh karena itu, jika Iblis disebut sebagai mustatsna (sesuatu yang dikecualikan) dari malaikat, maka hal ini menunjukkan secara pasti bahwa Iblis sejenis dengan malaikat. Artinya, Iblis adalah salah satu dari malaikat sebagaimana Andi adalah salah satu dari orang-orang.
Istitsna’ semacam ini dinamakan istitsna’muttashil dalam bahasa Arab.
Tidak bisa dikatakan bahwa ististna’ pada ayat tersebut adalah istitsna’ munqothi’ sehingga Iblis dipahami sebagi jenis lain yang berbeda dengan malaikat, dengan alasan sebagai berikut:
Istitsna’ bisa dikatakan munqothi’ jika terealisasi dua syarat.
Syarat yang pertama adalah Mustatsna dan mustatsna minhu tidak sejenis.
Syarat yang kedua adalah Hukum pada mustatsna harus sama dengan mustatsna minhu (tidak boleh berlawanan).
Contoh istitsna’ munqothi’ yang paling baik adalah pada ayat berikut ini:
“Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kalian.” (An-Nisaa’:29)
Ayat di atas tidak bisa dipahami sebagai istitsna’ muttashil, karena bisa rusak maknanya.
Jika ayat di atas istitsna’-nya dimaknai muttashil maka maknanya menjadi:
“Kalian jangan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kalian (kalau memakan harta dengan cara batil melalui jalur perdagangan maka boleh).”
Makna ini rusak, karena Allah mengharamkan memakan harta dengan cara batil, baik melalui jalur perdagangan maupun selain perdagangan.
Oleh karena itu, istitsna’ dalam ayat di atas harus dimaknai istitsna munqothi’, artinya makna pada lafaz mustatsna dibuat terpotong (munqothi’) dalam hal hubungan pengecualian dengan mustatsna minhu-nya.
Dengan kata lain, Allah melarang memakan harta dengan cara batil. Cara yang dibolehkan Allah diantaranya adalah memperoleh harta dengan cara berdagang.
Istitsna’ munqothi’ dalam ayat ini telah memenuhi dua syarat yang disebutkan sebelumnya;
Syarat pertama: mustatsna dan mustatsna minhu tidak sejenis. Syarat ini sudah terwujud karena memperoleh harta dengan cara batil memang tidak sejenis dengan memperoleh harta dengan cara berdagang.
Syarat kedua: hukum pada mustatsna harus sama dengan mustatsna minhu (tidak boleh berlawanan). Syarat ini sudah terwujud pada ayat ini, karena ketika Allah melarang memakan harta dengan cara batil, hal ini bermakna harta harus diperoleh dengan cara yang haqq. Berdagang adalah salah satu dari cara memperoleh harta yang haqq itu. Dengan demikian antara mustatsna dengan mustatsna minhu dalam ayat ini telah sejenis.
Jika istitsna’ pada ayat tentang Iblis dipahami sebagai istitsna’ munqothi’, maka syaratnya tidak terpenuhi dan maknanya akan menjadi rusak. Mari kita analisis!
“Ingatlah ketika Aku berkata kepada para malaikat, “Sujudlah kepada Adam!”, maka mereka pun sujud kecuali Iblis” (Al-Baqarah: 34)
Dengan asumsi syarat pertama dipenuhi, yakni mustatsna tidak sejenis dengan mustasna minhu, yakni Iblis tidak sejenis dengan malaikat, maka syarat yang kedua terkait istitsna munqothi’ tidak terpenuhi dalam ayat ini. Mengapa? Karena syarat kedua berbunyi:
“Hukum pada mustatsna harus sama dengan mustatsna minhu (tidak boleh berlawanan)”.
Maksud istilah “hukum” pada kaidah tersebut adalah “kandungan makna”. Dengan kata lain, kaidah tersebut bisa diungkapkan:
“Kandungan makna pada mustatsna harus sama dengan mustatsna minhu (tidak boleh berlawanan)”.
Kandungan makna pada mustatsna minhu pada ayat di atas adalah sujudnya para malaikat. Kandungan makna pada mustatsna-nya adalah tidak sujudnya iblis. Sujudnya malaikat dan tidak sujudnya Iblis sangat jelas menunjukkan kandungan makna yang berbeda. Jika istisna’ dalam ayat ini “dipaksa” dipahami sebagai istitsna’ munqothi’, maka hal tersebut memberi makna bahwa Iblis juga bersujud sebagaimana para malaikat lain. Ini makna yang rusak karena Al-Qur’an jelas menyebut Iblis menolak sujud.
Jadi argumentasi istitsna munqothi’ adalah argumentasi yang lemah untuk mengatakan bahwa Iblis bukan dari jenis malaikat.
KRITIKAN TERHADAP PENDAPAT BERBEDA
Ada sejumlah argumentasi yang dikemukakan pada pendapat yang menyatakan bahwa iblis bukan termasuk malaikat. Berikut ini disajikan argumentasi-argumentasi tersebut untuk diulas secara singkat.
Pertama, di dalam Al-Qur’an malaikat disebut makhluk yang tidak pernah membangkang kepada Allah. Misalnya dalam ayat berikut ini:
“(Mereka, para malaikat itu) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahriim:6)
Iblis membangkang perintah Allah. Bagaimana bisa Iblis digolongkan malaikat? Bukankah hal ini bertentangan?
Jawaban:
Adalah hal yang biasa di dalam bahasa Arab jika sebuah lafaz dinyatakan secara umum untuk menunjukkan mayoritas, bukan 100 %. Ketika Allah mengatakan Yahudi jahat, bukan berarti 100 % mereka jahat, tetapi umumnya/mayoritas mereka jahat. Dari mayoritas itu ada yang baik dan masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, Shofiyyah binti Huyay, dan yang lainnya.
Jika Allah menyebut manusia itu kikir, tukang mengeluh, dan sebagainya, maka hal ini tidak menunjukkan 100 % manusia demikian. Akan tetapi pada umumnya manusia seperti itu, sementara hamba-hamba Allah seperti para Nabi, para wali Allah dan orang-orang shalih adalah orang-orang yang tabah dan dermawan.
Kedua, dalam hadis disebut malaikat diciptakan dari cahaya. Sementara blis diciptakan dari api. Misalnya hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Malaikat diciptakan dari cahaya, al-jann diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian” (HR. Muslim).
Bukankah hal ini menunjukkan bahwa Iblis dan malaikat tidak segolongan?
Jawaban:
Ini mirip dengan yang pertama.
Jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menyebut malaikat diciptakan dari cahaya, maka hal tersebut tidak bermakna 100 % semua malaikat dari cahaya. Malaikat ditinjau dari fisik dan tugasnya sangatlah banyak. Kita telah mengetahui ada malaikat yang memiliki sayap 2, 4, hingga ratusan. Tugasnya juga bermacam-macam. Ada yang menetap di surga, ada yang di neraka. Malaikat yang berada di surga memiliki wajah yang rupawan, sementara yang di neraka berwajah menyeramkan. Sebuah kekeliruan apabila membayangkan mereka hanya dengan satu rupa. Mayoritas malaikat diciptakan dari cahaya, tetapi ada pula yang diciptakan dari api, dan hanya Allah yang tahu jika ada yang diciptakan dari selain dua bahan tersebut.
Al-Qurthubi mengutip penjelasan Ibnu Abbas bahwa Iblis adalah semacam satu “kabilah” malaikat yang dinamakan Jinn yang diciptakan khusus dari api. Dia diberi tugas menjaga surga dan menjadi pemimpin malaikat langit dunia.
عن ابن عباس: أن إبليس كان من حي من أحياء الملائكة يقال لهم الجن خلقوا من نار السموم، وخلقت الملائكة من نور، وكان اسمه بالسريانية عزازيل، وبالعربية الحارث، وكان من خزان الجنة وكان رئيس ملائكة السماء الدنيا
“Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Iblis adalah termasuk salah satu kabilah dari kabilah-kabilah malaikat yang dinamakan al-jinn, mereka diciptakan dari api yang tidak berasap, dan malaikat-malaikat diciptakan dari cahaya. Namanya (Iblis) dalam bahasa Suriyani adalah azazil dan dalam bahasa Arab dinamai al-ha¬rits dia termasuk di antara penjaga surga dan dia menjadi kepala malaikat langit dunia.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Demikian pula penjelasan Sa’id bin Jubair:
وقال سعيد بن جبير: إن الجن سبط من الملائكة خلقوا من نار وإبليس منهم، وخلق سائر الملائكة من نور
“Sa’id bin Jubair berkata, sesungguhnya Jin adalah salah satu kabilah malaikat yang mereka diciptakan dari api dan iblis termasuk salah satu dari mereka, malaikat-malaikat sisanya diciptakan dari cahaya.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Lagipula penerjemahan al-jann dengan “bangsa jin” dalam hadis di atas kurang tepat dan bisa menimbulkan persepsi keliru, karena seolah-olah membedakan antara malaikat, jin dan manusia.
Lafaz al-jann di sana maknanya adalah Iblis, yakni moyangnya bangsa Jin. Bukan diterjemahkan bangsa Jin. Penjelasan inilah yang dikutip oleh Al-Qurthubi dr Al-Hasan dan dikuatkan oleh As-Suyuthi dalam tafsirnya:
قال الحسن: الجان إبليس وهو أبو الجن
“Al-Hasan berkata: Al-Jaan adalah Iblis, dia adalah moyang jin.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Adapun yang menguatkan: Adam bukan lafaz yg menunjukkan bangsa. Maka ketika disebut Al-Jaan, yang dimaksud disitu adalah Iblis, moyang bangsa Jin.
Dengan demikian terjemahan yang lebih akurat adalah:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Dari ‘Aaisyah, beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Malaikat diciptakan dari cahaya, Iblis diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian” (HR. Muslim)
Jadi dalam hadis di atas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bermaksud menerangkan bahan penciptaan Adam, Iblis, dan bangsa malaikat secara umum. Meskipun Iblis termasuk malaikat, namun disebut secara khusus karena asal penciptaannya berbeda.
Ketiga, di dalam surat Al-Kahfi, Iblis disebut Jinn:
“Dan (ingatlah) ketika Aku berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jinn, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (Al-Kahfi: 50)
Bukankah ini jelas menunjukkan Iblis bukan malaikat tetapi jin?
Jawaban:
Maksud jinn dalam ayat tersebut adalah makhluk yang tidak bisa dilihat. Makna seperti ini, yakni jinn bermakna makhluk yang tidak bisa dilihat disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam surat Ash-Shoffat sangat jelas bahwa malaikat oleh Allah juga disebut jinn karena aspek tidak bisa dilihat:
“Orang-orang musyrik itu menjadikan antara Dia (Allah) dengan jinnah (yakni malaikat) ada hubungan saudara”. (Ash-Shoffat: 158)
Ayat ini merupakan kecaman Allah terhadap orang-orang Musyrik karena mereka mengatakan malaikat itu putri-putri Allah.
Kata Al-Qurthubi, Iblis digolongkan jin karena dia malaikat yang ditugasi menjaga Surga, hal itu nampak dari namanya yang dipecah dari lafaz jannah (jinn-jannah):
وأيضا لما كان من خزان الجنة نسب إليها فاشتق اسمه من اسمها
“Lagipula oleh karena Iblis termasuk penjaga surga maka dia dinisbatkan kepadanya (surga), sehingga namanya dipecah dari nama Surga (jannah).” (Tafsir Al-Qurthubi).
Ini pula yang difatwakan oleh Al-Baghowi dalam tafsirnya:
وَقَوْلُهُ “كَانَ مِنَ الْجِنِّ” أَيْ مِنَ الْمَلَائِكَةِ الَّذِينَ هُمْ خَزَنَةُ الْجَنَّةِ. وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: مِنَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْجَنَّةِ
“Firman Allah kaana minaljinni.. artinya termasuk malaikat-malaikat yang mereka itu menjadi penjaga surga, Said bin jubair berkata, (kaana minaljinni) termasuk orang-orang yang bekerja di surga.” (Tafsir Al-Baghowi)
PENUTUP
Iblis termasuk malaikat adalah pendapat jumhur: Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Juraij, Sa’id Ibnu Al-Musayyab, Qotadah, Abu Al-Hasan, Abu Jarir At-Thobari, dll. Al-Qurthubi berkata:
إِلاَّ إِبْلِيسَ نصب على الاستثناء المتصل، لأنه كان من الملائكة على قول الجمهور: ابن عباس وابن مسعود وابن جريج وابن المسيب وقتادة وغيرهم، وهو اختيار الشيخ أبي الحسن، ورجحه الطبري، وهو ظاهر الآية
“(Lafaz) Illa Iblisa di-nashob-kan karena menjadi istitsna’ muttashil, sebab Iblis itu termasuk malaikat dalam pendapat jumhur, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Juraij, Sa’id Ibnul Musayyab, Qatadah, dan selain mereka. Ini adalah pilihan As-Syaikh Abu Al-Hasan dan dikuatkan oleh At-Thabari, dan ini adalah dhohir ayat.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Adapun yang berpendapat Iblis bukan malaikat diantaranya: Al-Hasan Al-Bishri, Az-Zamakhsyari (tokoh mu’tazilah), Asy-Syanqithi, dan umumnya ulama salafi zaman sekarang.
Hanya saja harus dicamkan bahwa pembahasan akidah jenis ini adalah jenis akidah furu’. Karenanya, persoalan ini tidak perlu dibesar-besarkan apalagi menjadi ukuran untuk mengkafirkan atau mem-bid’ah-kan pendapat yang berbeda.
Wallahu a’lam.