Kerabat dalam Islam wajib diketahui, hal itu dikarenakan melekat 2 hukum muamalah yang wajib dilaksanakan, yaitu pembagian waris dan syariat Silaturrahim/silaturrahmi. Islam membagi kerabat dalam 3 kelompok, yaitu Ahlul Faridhoh, ‘Ashobah dan Dzawul Arham. Ketiga kelompok tersebut wajib di-silaturrahimi, namun memiliki konsekuensi yang berbeda dalam pembagian harta waris. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing:
AHLUL FARIDHOH
Definisi ahlul faridhoh adalah kerabat-kerabat yang mendapatkan jatah warisan tertentu dan jelas seperti ½, ¼, 1/8, dst (Mu’afa: 2015). Dalam kitab-kitab fikih Ahlul Faridhoh memiliki banyak nama lain, di antaranya; dzawul furudh, dzawul faroridh, ashhabul faroidh atau ashhabul furudh.
Di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, ahlul faridhoh meliputi 12 orang:
1) زوج (zaujun/ suami)
2) زوجة (zaujah/ istri)
3) أب (abun/ ayah)
4) أم (ummun/ ibu)
5) بنت (bintun/ putri)
6) بنت ابن (bintuibnin/ putriputra)
7) جد أبو أب (jaddunabuabin/ ayah ayah/ kakekdarijalur ayah)
8) جدة أم أم (jaddahummuummin/ nenek; ibu ayah danibuibu)
9) أخوات لأب وأم (akhowat li abinwaummin/saudarisekandung)
10) أخوات لأب (akhowat li abin/ saudariseayah)
11) أخوات لأم (akhowat li ummin/ saudariseibu)
12) إخوان لأم (ikhwan li ummin/ saudaraseibu)
Dari kedua belas ahlul faridhoh di atas, yang pasti mendapatkan harta waris adalah ahlul faridhoh di urutan ke-satu hingga ke-lima (suami, istri, ayah, ibu, dan putri).Mereka bias diistilahkan dengan nama ahlul faridhoh aqwiya’ ( ahlulfaridhoh yang kuat). Jika salah satu/ lebih diantara mereka ada, maka mereka pasti mendapatkan warisan dan tidak mungkin gugur.Kemungkinan terburuk kondisi mereka hanyalah dikurangi jatah warisannya, namun tetap tidak pernah bias gugur. Adapun ahlul faridhoh di urutan ke-enam hingga ke-dua belas, maka mereka bisa mendapatkan harta warisan secara penuh, berkurang atau bahkan gugur. Oleh karena itu, mereka bisa juga disebut dengan ahlul faridhoh dhu’afa (ahlul faridhoh yang lemah).
‘ASHOBAH
Ashobah secara istilah bermakna kerabat yang tidak mendapatkan jatah warisan tertentu yang jelas, namun hanya mendapatkan sisa harta waris (jika memang ada sisanya) (Mu’afa: 2015).
Ashobah dapat dibagi menjadi empat kelompok besar. Pengelompokan dan urutan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kelompok بُنُوَّةٌ (bunuwwah/ hubungan keputraan)
Ashobah dengan hubungan keputraan meliputi:
a. ابن (ibnun/ putra)
b. ابن ابن وإن سفل (ibnu ibnin wa in safala/ putra putra, terus ke bawah)
2) Kelompok أُبُوَّةٌ(ubuwwah/ hubungan keayahan)
Ashobah dengan hubungan keayahan meliputi:
a. أب (abun/ ayah)
b. أبو أب وإن علا (abu abin wa in ‘ala/ ayah ayah terus ke atas)
3) Kelompok أُخُوَّةٌ (ukhuwwah/ hubungan persaudaraan)
Ashobah dengan hubungan persaudaraan meliputi:
a. أخ من أب وأم (akhun min abin wa ummin/ saudara sekandung)
b. ابن أخ من أب وأم وإن سفل (ibnu akhin min abin wa ummin wa in safala/ putra saudara sekandung terus ke bawah)
c. أخ من أب (akhun min abin/ saudara seayah)
d. ابن أخ من أب وإن سفل (ibnu akhin min abin wa in safala/ putra saudara seayah terus ke bawah)
4) Kelompok عُمُوْمَةٌ (‘umumah/ hubungan kepamanan-paman patriarkal-)
Ashobah dengan hubungan kepamanan meliputi:
a. عم من أب وأم (‘ammun min abin wa ummin/ paman patriarkal sekandung) maksudnya, paman ini hubungannya dengan ayah adalah saudara sekandung
b. ابن عم من أب وأم وإن سفل (ibnu ‘ammin min abi wa ummin wa in safala/ putra paman patriarkal sekandung terus ke bawah)
c. عم من أب (‘ammun min abin/ paman patriarkal seayah) maksudnya, paman ini hubungan dengan ayah adalah saudara seayah
d. ابن عم من أب وإن سفل (ibnu ‘ammin li abin/ putra paman patriarkal seayah terus ke bawah)
e. عم أب من أب وأم (‘ammu abin min abin wa ummin/ paman patriarkal ayah sekandung) maksudnya, pamannya ayah ini ini hubungannya dengan ayahnya ayah adalah saudara sekandung
f. ابن عم أب من أب وأم وإن سفل (ibnu ‘ammi abin li abin wa ummin wa in safala/ putra paman patriarkal ayah sekandung dan terus ke bawah)
g. ثم عم أب من أب (‘ammu abin li abin/ paman patriarkal ayah seayah) maksudnya, pamannya ayah ini ini hubungannya dengan ayahnya ayah adalah saudara seayah
h. ابن عم أب من أب وإن سفل (ibnu ‘ammi abin li abin wa in safala/ putra paman patriarkal ayah seayah dan terus ke bawah)
i. عم جد من أب وأم (‘ammu jaddin li abin wa ummin/ paman patriarkal kakek sekandung) maksudnya, pamannya kakek ini ini hubungannya dengan ayahnya kakek adalah saudara sekandung
j. ابن عم جد من أب وأم وإن سفل (ibnu ‘ammi jaddin li abin wa ummin wa in safala/ putra paman patriarkal kakek sekandung terus ke bawah)
k. عم جد من أب (‘ammu jaddin li abin/ paman patriarkal kakek seayah) maksudnya, pamannya ayah ini ini hubungannya dengan ayahnya kakek adalah saudara seayah
ابن عم جد من أب وإن سفل (ibnu ‘ammi jaddin li abin wa in safala/ putra paman patriarkal kakek seayah dan terus ke bawah)
Sifat dari ‘ashobah adalah yang terdekat dengan mayit menggugurkan yang jauh.
DZAWUL ARHAM
Dzawul arham adalah kerabat yang tidak memperoleh warisan (Mu’afa: 2015).
Yang patut dicermati adalah dzawul arham berbeda dengan ulul arham. Jika pada surat al-Anfal: 75 terdapat istilah ulul arham, maka yang dimaksud adalah seluruh kerabat, baik kerabat yang tergolong ahlul faridhoh, ashobah maupun dzawul arham. Dengan kata lain, dzawul arham merupakan bagian dari ulul arham.
Dzawul arham terdiri dari sebelas (11) orang, yaitu:
1) وَلَدُ الْبَنَاتِ (walad banat / anak putri)
2) وَلَدُ الْأَخَوَات (walad akhowat / anak saudari)
3) بَنَاتُ الْإِخْوان (banat ikhwan/ putri saudara)
4) وَلَدُ الْإِخْوَةِ مِنْ الْأُمِّ (walad ikhwah min ummin / anak saudara/saudari seibu)
5) بَنَاتُ الْأَعْمَامِ (banat a’mam / putri paman patriarkal)
6) الْعَمَّاتُ مِنْ جَمِيعِ الْجِهَاتِ (‘ammat min jami’il jihat / paman patriarkal dari semua arah)
7) الْعَمُّ مِنْ الْأُمِّ (‘ammun min ummin/ paman patriarkal seibu)
8) الْأَخْوَالُ (akhwal/ paman matriarkal)
9) الْخَالَاتُ (kholat/ bibi matriarkal)
10) الْجَدُّ أَبُو الْأُمِّ (jaddun abu ummin/ kakek matriarkal/ ayah ibu)
11) كُلُّ جَدَّةٍ أَدْلَتْ بِأَبٍ بَيْنَ أُمَّيْنِ، أَوْ بِأَبٍ أَعْلَى مِنْ الْجَدِّ (kullu jaddatin adlat bi abin baina ummain au bin abin a’laa minal jadd/ setiap nenek yang memiliki hubungan kekerabatan melalui seorang ayah di antara dua ibu atau melalui seorang ayah yang lebih tinggi dari kakek)
Contoh dari poin ke 11 ini adalah:
a. أم أبى أم (ummun abii ummin/ ibu ayah ibu)
b. أم أبى أم أم (ummun abii ummi ummin/ ibu ayah ibu ibu)
c. أم أبى أبى أبى أبٍ (ummun abii abii abii abin/ ibu ayah ayah ayah ayah)
Adapun dalil hadits yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ
Artinya:
Dari Aisyah beliau mengatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Paman (dari pihak ibu) adalah ahli waris bagi orang yang tidak ada ahli waris baginya (HR. At-Tirmidzi).
Maka kami memilih untuk memaknai bahwa itu adalah keputusan Nabi sebagai kepala Negara yang memberikan santunan kepada khol (paman dari pihak ibu) dari harta ahli waris. Hadits ini juga hanya berkaitan dengan posisi khol, bukan dzawul arham yang lain. Hal itu atas beberapa argumen:
Pertama, Nabi memberikan harta kepada khol dengan menjelaskan bahwa khol adalah orang yang bukan ahli waris. Hal ini digali dari lafadz “man laa waaritsa lahu”. Tentu akan sulit dipahami apabila Nabi jelas menggolongkan khol sebagai orang yang tidak termasuk ahli waris namun ia dapat jatah warisan. Maka, memaknai bahwa khol adalah dzawul arham, dan bisa dapat jatah atas keputusan kepala Negara adalah lebih dekat dengan kebenaran.
Kedua, harta tarikah yang tersisa dari mayit setelah dibagikan kepada ahli waris, maka ia diserahkan kepada baitul mal untuk kemaslahatan kaum muslimin. Dan pengurusan harta di baitul mal, adalah kewenangan kepala Negara. Maka, pemberian kepada khol dalam hadits di atas sebenarnya Nabi memberi harta kepada khol dari harta baitul mal.
Ketiga, bagian khol di atas juga tidak jelas berapa. Ini menunjukkan bahwa khol bukanlah ahlul faridhoh maupun ‘ashobah. Sebab jika ahlul faridhoh, maka Nabi jelas mengatakan bagiannya sekian atau sekian. Jika ‘ashobah, Nabi juga akan menjelaskan bahwa ia akan mendapatkan sisa harta. Tidak jelasnya berapa bagian khol, menunjukkan bahwa khol adalah dzawul arham, yang tidak ada bagian waris untuknya kecuali jika penguasa/kepala Negara memberikan harta untuknya.
Keempat, dalil hadits tentang khol di atas tidak bisa digunakan untuk dzawul arham yang lain. Menempatkan dzawul arham selain khol sebagai ahli waris membutuhkan dalil. Jika menjadikan dzawul arham yang lain sebagai ahli waris berdasarkan hadits khol, lalu memberikan jatah bagiannya berdasarkan jumlah jatah ahlul faridhoh atau ‘ashobah, maka menurut kami ini istinbath yang jauh. Menggabungkan qiyas dengan qiyas adalah pendapat yang lemah.
Inilah pendapat yang kami kuatkan terkait dzawul arham, kami menyadari pembahasan ini adalah di antara ikhtilaf yang terjadi di kalangan ulama terkait waris. Kami tidak mengingkari ikhtilaf ulama dan menghormati pendapat mereka sebagai bagian dari ro’yun islamiy.