1. URGENSI FIKIH
Sebelum memasuki kajian syarah kitab bulughul marom, akan dijelaskan terlebih dahulu tiga hal: Urgensi ilmu fikih, macam-macam kitab fikih, dan resensi kitab bulughul marom.
Di antara kalimat terindah yang pernah diucapkan ulama terkait pentingnya ilmu Fikih diungkapkan Az-Zuhri (ulama madinah, generasi tabi’in, wafat 124 H) sebagaimana dinukil Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya; “Jami’ Bayani Al-‘Ilmi Wafadhlihi”:
جامع بيان العلم وفضله (1/ 119)
عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: «مَا عُبِدَ اللَّهُ بِمِثْلِ الْفِقْهِ»
“dari Az-Zuhri beliau berkata: Tidaklah Allah disembah (dengan cara sebaik) seperti dengan (ilmu) fikih. (Jami’ Bayani Al-‘Ilmi Wafadhlihi, Juz 1 hlm 119)
Seakan-akan, Az-Zuhri mengatakan: cara terbaik menyembah Allah dengan benar dan dengan kemampuan paling prima adalah melalui ilmu fikih.
Cabang-cabang ilmu islam sangat banyak, namun ilmu yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan menyembah Allah yang terkontrol berdasarkan ilmu dan hujjah adalah ilmu fikih.
Dari sini, barangkali tidak berlebihan jika dikatakan: Jika ingin menyembah Allah dengan cara yang benar dan sesuai dengan kehendakNya, di antara kitab yang direkomendasikan adalah kitab yang bernama Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam karangan Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (wafat 852 H).
Kitab ini termasuk jenis kitab fikih, tetapi cara penulisannya full hanya berisi hadis-hadis Nabi yang biasa dipakai dalil pada pembahasan kitab-kitab fikih. Karena isinya hanya berupa hadis-hadis, kitab ini juga digolongkan kitab hadis namun khusus pada kelompok kitab ahadits ahkam.
Apa pengertian menyembah Allah? Apa kaitannya dengan fikih? Insya Allah pada tulisan berikutnya.
2. MAKNA IBADAH
Ada banyak definisi ibadah yang ditulis para ulama dalam kitab-kitab mereka. Semua definisi itu maknanya berdekatan. Dalam definisi singkat yang memakai kata kerja operasional, ibadah dapat didefinisikan:
الإرْضَاءُ بِمُنْتَهى الْمَحَبَّةِ وَالتَّذَلُّل
“Berusaha menyenangkan, dengan puncak rasa cinta dan kehinaan diri”
Jadi, ketika Allah dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia dan jin diciptakan untuk menyembah-Nya, maka hal itu bermakna manusia dan jin dalam hidup ini diperintahkan menghabiskan umurnya untuk berusaha sekuat tenaga MENYENANGKAN ALLAH dengan segenap rasa cinta kepada-Nya dan penghinaan diri kepada-Nya.
Berusaha menyenangkan adalah dengan segenap potensi hidup yang dimiliki, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun gerak hati, lahir maupun batin.
Ketika Allah mengecam orang-orang yang menyembah hawa nafsunya, dan menjadikannya sebagai tuhan, misalnya dalam ayat ini:
{ أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ} [الفرقان: 43]
“Apakah engkau tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?” (Al-Furqon; 43)
Hal itu bermakna, orang tersebut hidupnya dihabiskan untuk MENYENANGKAN hawa nafsunya saja, karena cinta puncak yang ia miliki adalah cinta kepada hawa nafsu, dan ketundukan puncak yang ia miliki adalah kepada perintah-perintah hawa nafsu.
Ketika seorang mukmin menyatakan 5 kali dalam sehari saat membaca surat Al-Fatihah “hanya kepada-Mu aku menyembah” hal itu bermakna, dia siap berikrar tidak mau menyenangkan kecuali hanya kepada Allah. Cintanya, takluknya, tunduknya, taatnya semuanya hanya untuk Allah. Tidak sudi dirinya secara sadar dan sukarela menyenangkan makhluk-makhluk selain Allah.
Hamba mukmin ini, kalaupun mau menyenangkan selain Allah, hal itu hanya dengan satu syarat: Karena Allah yang memerintahkannya. Jadi, kembalinya tetap menyenangkan Allah.
Seorang anak menyenangkan orang tuanya, karena Allah memerintahkan berbakti. Ini bagian ibadah.
Seorang istri menyenangkan suaminya, karena Allah melalui lisan Rasul-nya memerintahkan berbakti kepada suami. Ini bagian ibadah.
Ibadah adalah hidup untuk Allah, Allah, Allah.
Allah saja, Allah lagi, dan Allah terus.
3. HUBUNGAN IBADAH DENGAN ILMU FIKIH
Bagaimana caranya agar bisa tahu Allah SENANG perbuatan/ucapan tertentu atau tidak?
Mustahil hal seperti ini diketahui melalui akal, filsafat, atau eksperimen di laboratorium.
Jalan paling aman satu-satunya untuk mengetahui hal tersebut hanyalah lewat pintu WAHYU.
Jadi, setelah manusia berhasil “menemukan” utusan Allah (Rasul Allah/ Nabi Allah) lalu bisa mendapatkan wahyu tersebut, langkah berikutnya adalah memahami sebaik-baiknya wahyu itu.
Pengetahuan yang dihasilkan melalui upaya keras memahami wahyu seperti yang dikehendaki Allah itu lah yang dimaksud dengan ilmu fikih.
Melalui ilmu ini, ada hal-hal yang sangat jelas tanpa ada kesamaran sehingga semua orang mukmin memiliki satu pemahaman dalam persoalan tersebut. Namun ada hal-hal yang memungkinkan dipahami sejumlah makna yang diduga kuat sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.
Hal-hal pasti/ absolut dalam agama ini, diistilahkan dengan nama “ma’lum minad dien bid dhoruroh” (qoth’iyyat/ tsawabit).
Hal-hal yang memungkinkan pemaknaan lebih dari satu dinamakan perkara ijtihadiyyah. Dalam perkara ijtihadiyyah ini, ada ikhtilaf (perbedaan) pendapat dikalangan ulama.
Jadi perkara ijtihadiyah adalah hasil ilmu fikih yang mana seseorang menduga kuat Allah berkehendak hukum tertentu terhadap perbuatan tertentu. Dalam perkara yang absolut/ qoth’i/mutlak seorang muslim yakin betul memang Allah berkehendak demikian.
Hal-hal ijtihadi, selama metodenya benar meskipun berbeda semuanya terpuji. Allah melalui lisan Rasul-Nya menjamin, jika ijtihad itu benar pahalanya dua dan jika ijtihadnya salah pahalanya satu.
4. LIMA HUKUM FIKIH
Jika seorang hamba ingin mengetahui apa saja yang menyenangkan Allah dan membuatnya menjadi ridha, maka dia harus mengetahui apa saja kehendak-Nya terhadap hamba-hamba-Nya.
Kehendak Allah terwujud pada perintah-perintah dan larangan-Nya.
Di antara perintah-perintah Allah itu, ada yang diperintahkan dengan keras, tegas, dan disertai ancaman jika sampai dilanggar. Perintah jenis ini dinamakan dengan istilah wajib/fardhu.
Adapula jenis perintah yang lebih longgar. Setiap hamba dianjurkan melakukannya, tetapi tidak dikecam jika tidak melakukan. Perintah jenis ini dinamakan sunnah/mandub/mustahabb. Yang anjurannya sangat kuat dinamakan sunnah muakkad, yang biasa dinamakan sunnah saja.
Di antara larangan-larangan, ada yang dilarang dengan keras, tegas, dan disertai ancaman jika sampai dilanggar. larangan jenis ini dinamakan dengan istilah haram/mahdhur.
Adapula jenis larangan yang lebih longgar. Setiap hamba dianjurkan meninggalkannya, tetapi tidak dikecam jika melakukan. larangan jenis ini dinamakan makruh.
Selain itu ada hal-hal yang Allah mengizinkan seorang hamba untuk memilih antara melakukan atau, tidak. Jenis ini disebut dengan istilah mubah.
Maka, terkumpullah lima istilah hukum fikih yaitu: Wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Lima hukum ini terkenal dengan nama ahkam khomsah (الأَحْكاَمُ الْخَمْسَة)
Dari sini bisa dipahami betapa erat dan pentingnya hubungan ibadah dengan ilmu fikih.
Dengan ilmu fikih, seorang hamba bisa tahu persis apa saja yang menyenangkan Allah dan apa saja yang dibenci-Nya. Kalaupun dia ingin menikmati kenikmatan dunia secara wajar, maka dia hanya akan membatasi pada apa-apa yang diizinkanNya, yaitu hal-hal yang diistilahkan dengan sebutan mubah.
5. PERBEDAAN AHKAM KHOMSAH DENGAN HALAL-HARAM
Istilah yang dipakai dalam ahkam khomsah/ lima hukum fikih (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah) membahas perbuatan seorang hamba. Adapun istilah halal-haram, maka hal itu hanya membahas perbuatan benda.
Jika dikatakan shalat lima waktu: wajib, bersedekah: sunnah, mencuri: haram, makan dengan tangan kiri: makruh, dan bertamasya: mubah, maka semua hal yang dihukumi itu terkait dengan perbuatan manusia.
Jika dikatakan daging kambing: halal, sementara daging babi: haram maka hukum tersebut diterapkan pada benda.
Karena itu, adalah kurang tepat jika menyebut istilah ahkam khomsah sebagai hukum benda.
Sebagai contoh mengatakan: “Hukum petai makruh”.
Ini kurang tepat. Karena petai adalah benda, maka hukumnya hanya berputar antara dua hukum: halal atau haram. Petai adalah halal, tidak haram sama sekali. Hanya saja, memakan benda-benda berbau yang bisa mengganggu orang lain (termasuk diantaranya petai, jengkol, dll) maka PERBUATAN tersebut adalah makruh.
Hanya istilah haram yang bisa berlaku untuk perbuatan maupun benda. Selain itu, maka istilah-istilah fikih ini idealnya dipakai sesuai dengan batasannya.
6. MACAM-MACAM KITAB FIKIH
Ada ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan kitab fikih jika termasuk menghitung manuskrip-manuskrip yang belum ditahqiq/diteliti dan dicetak.
Dari sisi tebal-tipisnya tulisan, kitab fikih bisa dibagi menjadi tiga macam: Mukhtashor, mutawassith, dan muthowwal.
MUKHTASHOR adalah jenis kitab fikih ringkas. Biasanya ditulis hanya berupa kesimpulan-kesimpulan fikih, tanpa penjelasan dalil. Contohnya kitab Mukhtashor Al-Quduri dalam madzhab Hanafi, matan Ar-Risalah dalam madzhab Maliki, matan Abu Syuja’ dalam madzhab Syafi’i, dan mukhtashor Al-Khiroqi dalam madzhab Hanbali. Kitab fikih yang terkenal di Indonesia dan dikaji di ponpes-ponpes/musholla seperti Fathul Qorib termasuk jenis kitab fikih mukhtashor.
MUTAWASSITH adalah jenis kitab fikih pertengahan. Disusun bukan hanya penjelasan kesimpulan hukum fikih, tetapi juga disertai penjelasan dalil secara ringkas untuk tiap kesimpulan hukum tersebut. Hanya saja terkait penjelasan, umumnya dibatasi hanya dalam satu madzhab saja. Seringnya kitab seperti ini adalah bentuk syarah kitab mukhtashor. Contohnya kitab Kifayatul Akhyar dalam madzhab Syafi’i.
MUTHOWWAL adalah jenis kitab fikih tebal. Disusun bukan hanya penjelasan kesimpulan hukum fikih, tetapi juga disertai penjelasan dalil secara panjang lebar disertai perbandingan dengan madzhab lain sekaligus tarjih (pemilihan pendapat). Contoh kitab jenis ini adalah Al-Mughni dalam madzhab Hanbali, Al-majmu’ dalam madzhab Syafi’i, Al-Mudawwanah dalam madzhab Maliki, dan Al-mabsuth dalam madzhab Hanafi.
Kitab Bulughul marom sebenarnya termasuk kitab hadis, karena isinya hanya hadis-hadis saja. Hanya saja, karena isi hadisnya berupa hadis-hadis hukum fikih yang dipakai dalam kitab-kitab fikih di atas, maka kitab ini menjadi salah satu rujukan penting dalam kajian fikih. Penulisnya hanya menyusun hadis semata-mata, sehingga meskipun penulisnya bermadzhab syafii, namun kitab bulughul marom bisa disyarah dengan madzhab apapun. Barangkali inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kitab bulughul marom manfaatnya lintas madzhab.