Soal:
Assalamu’alaikum, wr.wb.
Saya ingin bertanya mengenai waris, begini ayah kami meninggal 16thn yang lalu, ibu meninggal 10 ,bln yang lalu, peninggalan ayah kami sebidang tanah sudah dibagikan sewaktu ibu kami masih ada, sementara rumah peninggalan ibu masih ditinggali oleh adik bungsu perempuan bersama dengan suami dan anaknya, juga adik saya yang laki-laki belum menikah, kami 4 bersaudara 3 perempuan dan 1laki-laki.., saya putri ke 2, kakak 1 putri, adik saya 2 , 1 laki2, dan bungsu putri.
Sebelum ke pertanyaan begini situasinya, setelah ibu wafat, kami sudah sempat membicarakannya, bahwa untuk sementara rumah belum akan dijual, namun beberapa bulan ini hati saya agak terusik karena saya tahu bahwa harta waris sebaiknya harus segera dibagikan, mengingat sebenarnya diantara kami termasuk saya juga membutuhkan, di antara kami ada yang ingin segera melunasi hutang-hutang ke bank, karena akhirnya menyadari adanya riba dalam bank konvensional, ada juga yang ingin membeli rumah tanpa KPR, juga bisa untuk pergi haji..kami bertiga sepakat untuk menjual rumah karena selain menunaikan hukum Allah, kami melihat lebih banyak manfaatnya jika segera ditunaikan daripada menunda-nunda, di antara kami belum ada yang mampu untuk membelinya, namun kakak kami tertua tidak setuju jika rumah dijual dengan alasan sayang karena rumah tersebut hasil karya ayah kami (designnya) dan dari awal rumah tersebut dibangun oleh ayah kami dihadiahkan untuk ibu kami yg disahkan dengan sertipikat atas nama ibu.
Kakak tertua mempunyai alasan yang lain bahwa selain sayang kalau rumah tersebut dijual, juga karena rumah tersebut bisa untuk tempat kami berkumpul dan dekat dengan makam ortu kami sehingga mudah jika hendak berziarah, namun untuk membelinya kakak kami belum mampu.
Yang ingin saya tanyakan bagaimana sebaiknya, apakah baik jika ditunda menunggu salah satu dari kami memiliki dana untuk membeli rumh tersebut, sementara di antara kami ada yang sangat memerlukannya? Apakah kami zhalim terhadap saudara kami yang sedang ingin melunasi hutangnya jika ditunda? terimakasih sebelumnya.
Wassalam,
Ria
Jawab:
Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulillah, kami bersyukur kepada Allah atas karuniaNya yang begitu besar kepada kita yaitu berupa keimanan. Dengan keimanan itulah kita beramal berdasarkan syariatNya dan berharap padaNya agar dicatat sebagai amal shalih.
Terkait pertanyaan Mbak Ria yang masuk kepada kami, maka kami perlu memberikan catatan penting bahwa ahli waris tidak hanya meliputi keluarga inti saja (Ayah, Ibu dan anak-anaknya). Islam menetapkan ahli waris terdiri dari Ahlul Faridhoh (ahli waris yang mendapatkan jatah tertentu, misalnya ½, ¼, 1/3 dll) dan ‘Ashobah (ahli waris yang mendapatkan sisa harta setelah jatah ahlul fariodhoh diberikan ). Adapun Dzawul Arham adalah kerabat yang wajib disilaturrahimi, tetapi tidak mendapatkan jatah warisan.
Semua ahli waris baik ahlul faridhoh maupun ‘ashobah berhak mengambil bagian warisannya. Apabila salah satu dari mereka menginginkan dibagi segera, maka yang lain harus menurutinya. Karena menunda atau bahkan tidak dibagikannya warisan padahal ada salah seorang dari ahli waris menginginkan haknya dengan segera, bermakna melalaikan hukum Allah sekaligus menzalimi hak orang lain, dan ini adalah keharaman. Menunda-nunda pembagian warisan juga berpotensi memunculkan mudhorot, seperti rusaknya aset, perhitungan yang semakin rumit, bahkan rusaknya hubungan keluarga. Yang perlu ditekankan adalah membangun kesadaran kepada seluruh ahli waris, bahwa membagi warisan ini adalah kewajiban yang diturunkan Allah atas hambaNya. Semua harus tunduk terhadap ketentuan itu dan bersikap legowo seperti apapun hasilnya. Sikap awal seperti ini akan melancarkan tahap-tahap pembagian harta waris berikutnya.
Sebelum membahas pembagian jatah warisan, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh ahli waris;
1. Menyelesaikan hutang piutang mayit
2. Menunaikan wasiatnya (terutama jika pelaksanaan wasiat itu membutuhkan harta yang harus diambil dari harta tinggalan)
3. Mendata harta mayit, apabila ada harta gono gini, maka harus dipisahkan.
Karena data yang masuk kepada kami hanya meliputi keluarga inti, maka kami akan menjawab sesuai data itu dan melengkapinya dengan kemungkinan adanya ahli waris yang lain.
Oleh karena pada kasus mbak Ria ada dua kali peristiwa kematian (kematian ayah, kemudian kematian ibu), maka harta warisan juga harus dibagi sebanyak dua kali.
Berikut ini pembahasannya:
1. Mayit pertama adalah Ayah mbak Ria.
Harta tinggalan: Tanah (dan mungkin tinggalan2 lain yang belum disebutkan dalam pertanyaan)
Ahli waris (yang terdata) adalah: Istri (Ibu mbak ria yang waktu itu masih hidup), 1 putra dan 3 putri, anak putri.
Kemungkinan pertama, ahli waris hanya sesuai yang diterangkan. Mayit tidak memiliki Ayah, Ibu, Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman, Bibi dst. Maka penyelesaiannya adalah;
Istri mendapatkan 1/8 disamakan penyebutnya 5/40 bagian (12,5 %)
1 Putra mendapatkan 14/40 bagian ((35 %))
3 Putri masing-masing mendapatkan 7/40
Anak putri tidak dapat warisan karena termasuk dzawul arham.
Dasar penjelasan pembagian ini adalah;
Dalil bagian Istri:
{ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ} [النساء: 12]
Artinya:
“Dan bagi mereka (istri-istri kalian) adalah seperempat dari apa yang kalian tinggalkan jika kalian tidak punya anak. Jika kalian punya anak maka bagi mereka adalah seperdelapan dari apa yang kalian tinggalkan setelah ditunaikan wasiat yang mereka berwasiat dengannya, atau pelunasan hutang” (An-Nisa: 12).
Putra mengashobahkan 3 Putri, pembagiannya dilakukan dengan cara ta’shib (bagian putra 2x lipat bagian putri), dalilnya adalah:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ } [النساء: 11]
Artinya:
“Allah berwasiat kepada kalian berkaitan dengan anak-anak kalian bagi laki-laki seperti dua bagian perempuan” (An-Nisa: 11).
Anak putri baik itu putranya putri, maupun putrinya putri semuanya tidak dapat jatah warisan karena termasuk dzawul arham. Dasarnya adalah Islam menggariskan nasab berada pada garis laki-laki (patriarkal) seperti pada dalil yaa banii aadam, atau yaa banii isroiil, sehingga anak dari putri bukanlah ahli waris bagi mayit (kakek/neneknya). Ditambah lagi tidak ada ketentuan dari nash baik al-Qur’an maupun al-Hadits yang menyebutkan anak dari putri termasuk ahlul faridhoh maupun ‘ashobah. Menjadi ahlul faridhoh ditandai ada bagian bilangan yang jelas untuknya, sementara menjadi ‘ashobah ditandai dengan adanya bagian warisan untuknya setelah dikurangi bagian ahlul faridhoh meski tidak jelas berapa bilangannya (sisa harta).
CATATAN PENTING
Jika tanah yang menjadi tinggalan ayah belum dibagi dengan prosentase di atas, maka pembagian harus dikoreksi. Yang merasa mendapatkan terlalu banyak harus mengembalikan. Yang merasa mendapatkan kurang dari haknya, harus ditambahi.
Kemungkinan kedua, ahli waris terdiri anggota keluarga inti ditambah Ayah, Ibu, Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman, Bibi. Maka penyelesaiannya adalah;
Istri mendapatkan 1/8 disamakan penyebutnya 15/120 bagian (12,5 %)
1 Putra mendapatkan 26/120 bagian (21,67 %)
3 Putri masing-masing mendapatkan 13/120 bagian (10,83 %)
Ibu mendapatkan 1/6 disamakan penyebutnya 20/120 bagian (16,67 %)
Ayah mendapatkan 1/6 disamakan penyebutnya 20/120 bagian (16,67 %)
Sementara Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman mereka gugur, tidak mendapatkan jatah warisan dikarenakan adanya Putra. Paman juga bisa termasuk dzawul arham jika ia adalah dari jalur ibu mayit, seperti halnya bibi dan anak putri.
Dasar penjelasan pembagian ini adalah;
Dalil bagian Istri:
{ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ} [النساء: 12]
Artinya:
“Dan bagi mereka (istri-istri kalian) adalah seperempat dari apa yang kalian tinggalkan jika kalian tidak punya anak. Jika kalian punya anak maka bagi mereka adalah seperdelapan dari apa yang kalian tinggalkan setelah ditunaikan wasiat yang mereka berwasiat dengannya, atau pelunasan hutang” (An-Nisa: 12).
Putra mengashobahkan 3 Putri, pembagiannya dilakukan dengan cara ta’shib (bagian putra 2x lipat bagian putri). Angka bagiannya adalah sisa harta mayit setelah dikurangi bagian ahlul faridhoh. Dalilnya adalah:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ } [النساء: 11]
Artinya:
“Allah berwasiat kepada kalian berkaitan dengan anak-anak kalian bagi laki-laki seperti dua bagian perempuan” (An-Nisa: 11).
Dalil bagian Ayah dan Ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian:
{وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ} [النساء: 11]
Artinya:
“Dan bagi ayah dan ibu masing-masing dari mereka mendapatkan seperenam dari apa yang ditinggalkan oleh mayit, jika mayit itu punya anak” (An-Nisa: 11).
Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman mereka gugur, tidak mendapatkan jatah warisan dikarenakan adanya Putra.
Saudara, kakek, paman gugur karena ada putra. Putra, saudara, paman adalah ‘ashobah. Akan tetapi putra lebih dekat di sisi mayit daripada saudara, kakek atau paman. Islam mensyariatkan ashobah terdekat menggugurkan ashobah yang lebih jauh. Dalilnya adalah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَر
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: ‘Berikanlah jatah-jatah waris itu kepada ahlul faridhoh (orang yang berhak jatah warisan tertentu), apa yang tersisa maka itu untuk laki-laki (ashobah) yang paling utama’” (HR. Al-Bukhari).
Saudari gugur oleh putra dan putri. Dalilnya adalah:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ} [النساء: 176[
Artinya:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi jawaban kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudari, maka bagi saudarinya itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. Jika mereka (saudari) itu berjumlah dua (atau lebih), maka mereka mendapatkan 2/3” (An-Nisa: 176)
Ayat ini menjelaskan bagian saudari sekandung atau seayah yaitu ½ bagian. Hal ini menjadi dalil bahwa saudari adalah Ahlul Faridhoh, karena bagiannya jelas. Namun, ternyata bagian saudari itu diikat dengan lafadz laysa lahu walad (jika mayit tidak punya anak), maknanya apabila mayit memiliki anak maka bagian ½ untuk saudari tidak berlaku. Dalam ayat ini maupun dalil lain tidak dijelaskan apakah saudari berkesempatan menjadi ‘ashobah jika bersamanya ada anak. Tidak adanya ketentuan saudari menjadi ashobah jika bersamanya ada anak dari si mayit menunjukkan dengan jelas, bahwa anak (putra maupun putri) menggugurkan saudari.
Nenek gugur oleh Ibu. Karena telah menjadi kaidah baku apabila dengan jalur yang sama, baik ke atas maupun ke bawah, maka yang terdekat dengan mayit menggugurkan yang terjauh.
2. Mayit adalah Ibu mbak Ria.
Harta tinggalan: Rumah dan bagian tanah 1/8 dari almarhum ayah (dan mungkin tinggalan2 lain yang belum disebutkan dalam pertanyaan)
Ahli waris (yang terdata) adalah 1 putra , 3 putri serta anak putri.
Kemungkinan pertama, ahli waris hanya sesuai yang diterangkan. Mayit tidak memiliki Ayah, Ibu, Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman, Bibi dst. Maka penyelesaiannya adalah;
1 putra mendapatkan 2/5 bagian (40 %)
3 putri masing-masing mendapatkan 1/5 bagian (20 %)
Anak putri tidak mendapatkan bagian warisan karena termasuk dzawul arham.
Dasar penjelasan pembagian ini adalah;
Putra mengashobahkan 3 Putri, pembagiannya dilakukan dengan cara ta’shib (bagian putra 2x lipat bagian putri), dalilnya adalah:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ } [النساء: 11]
Artinya:
“Allah berwasiat kepada kalian berkaitan dengan anak-anak kalian bagi laki-laki seperti dua bagian perempuan” (An-Nisa: 11).
Kemungkinan kedua, ahli waris terdiri anggota keluarga inti ditambah Ayah, Ibu, Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman, Bibi. Maka penyelesaiannya adalah;
1 Putra mendapatkan 8/30 bagian (26,67 %)
3 Putri mendapatkan 4/30 bagian (13,3 %)
Ibu mendapatkan 1/6 disamakan penyebutnya 5/30 bagian (16,67 %)
Ayah mendapatkan 1/6 disamakan penyebutnya 5/30 bagian (16,67 %)
Sementara Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman mereka gugur, tidak mendapatkan jatah warisan dikarenakan adanya Putra. Paman juga bisa termasuk dzawul arham jika ia adalah dari jalur ibu mayit, seperti halnya bibi dan anak putri.
Dasar penjelasan pembagian ini adalah;
Putra mengashobahkan 3 Putri, pembagiannya dilakukan dengan cara ta’shib (bagian putra 2x lipat bagian putri), dalilnya adalah:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ } [النساء: 11]
Artinya:
“Allah berwasiat kepada kalian berkaitan dengan anak-anak kalian bagi laki-laki seperti dua bagian perempuan” (An-Nisa: 11).
Dalil bagian Ayah dan Ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian:
{وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ} [النساء: 11]
Artinya:
“Dan bagi ayah dan ibu masing-masing dari mereka mendapatkan seperenam dari apa yang ditinggalkan oleh mayit, jika mayit itu punya anak” (An-Nisa: 11).
Saudara, Saudari, Kakek, Nenek, Paman mereka gugur, tidak mendapatkan jatah warisan dikarenakan adanya Putra.
Saudara, kakek, paman gugur karena ada putra. Putra, saudara, paman adalah ‘ashobah. Akan tetapi putra lebih dekat di sisi mayit daripada saudara, kakek atau paman. Islam mensyariatkan ashobah terdekat menggugurkan ashobah yang lebih jauh. Dalilnya adalah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَر
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: ‘Berikanlah jatah-jatah waris itu kepada ahlul faridhoh (orang yang berhak jatah warisan tertentu), apa yang tersisa maka itu untuk laki-laki (ashobah) yang paling utama’” (HR. Al-Bukhari).
Saudari gugur oleh putra dan putri. Dalilnya adalah:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ} [النساء: 176[
Artinya:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi jawaban kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudari, maka bagi saudarinya itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. Jika mereka (saudari) itu berjumlah dua (atau lebih), maka mereka mendapatkan 2/3” (An-Nisa: 176)
Ayat ini menjelaskan bagian saudari sekandung atau seayah yaitu ½ bagian. Hal ini menjadi dalil bahwa saudari adalah Ahlul Faridhoh, karena bagiannya jelas. Namun, ternyata bagian saudari itu diikat dengan lafadz laysa lahu walad (jika mayit tidak punya anak), maknanya apabila mayit memiliki anak maka bagian ½ untuk saudari tidak berlaku. Dalam ayat ini maupun dalil lain tidak dijelaskan apakah saudari berkesempatan menjadi ‘ashobah jika bersamanya ada anak. Tidak adanya ketentuan saudari menjadi ashobah jika bersamanya ada anak dari si mayit menunjukkan dengan jelas, bahwa anak (putra maupun putri) menggugurkan saudari.
Nenek gugur oleh Ibu. Karena telah menjadi kaidah baku apabila dengan jalur yang sama, baik ke atas maupun ke bawah, maka yang terdekat dengan mayit menggugurkan yang terjauh.
Hal-hal yang terkait dengan kasus
Harta warisan dari Ayah berupa tanah dan sudah dibagikan saat istrinya (Ibu mbak Ria) masih hidup. Itu benar apabila pembagiannya sebagaimana sesuai dengan cara di atas. Agar nilainya lebih memenuhi unsur keadilan, sebaiknya memang dijual. Apabila tidak seperti itu pembagiannya, maka harus diluruskan, karena ada boleh jadi ada hak harta orang lain yang ikut dalam bagian yang bukan haknya.
Keberatan kakak tertua mbak Ria yang memilih menunda pembagian harta warisan dikarenakan belum mampu untuk membeli rumah yang menjadi harta waris Ibu mbak Ria adalah tidak benar dalam pandangan syariat. Hal itu dikarenakan ada ahli waris lain yang membutuhkan haknya. Satu orang ahli waris saja yang menuntut warisan agar dibagikan padanya, maka harta waris wajib dibagikan padanya sesuai haknya. Itu adalah pemenuhan kewajiban dari Allah, dan menundanya adalah pelalaian kewajiban. Rumah tersebut juga bisa dijual ke orang luar, tidak perlu menunggu dibeli sendiri oleh ahli waris. Adapun apabila ada salah satu ahli waris yang masih menempati rumah tersebut, maka beliau juga semestinya diberi pengertian bahwa hal itu semata-mata untuk memenuhi perintah Allah. Selayaknya sesama saudara saling membantu, tolong menolong dengan saudara tidak perlu dibenturkan dengan pembagian harta waris. Misalnya, saudari mbak Ria adalah orang yang tidak mampu, tetap membagi warisan harus didahulukan untuk memenuhi hak ahli waris yang sedang butuh. Toh saudari mbak Ria tersebut pasti mendapatkan bagian warisan seperti yang kami jelaskan di atas. Jika pun ahli waris yang lain –setelah dibagikannya warisan- masih ingin membantunya dengan harta, maka hal itu baik, ukurannya sesuai kerelaan. Ahli waris yang menuntut hak warisnya untuk dibagikan bukanlah perbuatan zalim. Karena makna zalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, sementara harta waris adalah hak ahli waris yang artinya menempatkan hak sesuai pada tempatnya.
Solusi lain:
Bagian masing-masing saudara dihitung menurut hukum waris islam. Setelah ketemu, saudara-saudara sisanya bisa patungan untuk memberikan hak saudara yg butuh. Nanti, bagian waris saudara yang butuh itu dibagi kepada seluruh saudara-saudara sisanya sesuai dengan prosentase kontribusi patungan mereka.
Contoh: hak saudara yang butuh setelah dihitung adalah 20% dari seluruh harta warisan. Maka semua saudara-saudara yang lain patungan dari uang pribadi untuk memberikan hak 20 % itu. Nah, 20 % bagian warisan saudara yang butuh itu nanti dibagi sesuai jumlah prosentase kontribusi urunan mereka.
Wallaahu a’lam..
Dijawab oleh: Zakariyya