Oleh : Ust. Muafa
Kitab Al-Umm karya Asy-Syafi’i bukan hanya menjadi referensi induk fikih, tetapi juga menjadi sumber kitab hadis. Ada sekitar 4000 hadis dan atsar yang disebut lengkap dengan sanadnya oleh Asy-Syafi’i, sehingga Al-Umm layak dimasukkan ke dalam barisan “ummahat kutub haditsiyyah” (kitab-kitab hadis induk) yang menjadi sumber primer takhrij hadis. Resensi lebih detail tentang kitab al-Umm bisa dibaca pada tulisan saya yang berjudul “Mengenal Kitab Al-Umm Karya Asy-Syafi’i”.
Hanya saja, di antara hal yang diperbincangkan terkait Al-Umm adalah kenyataan bahwa Asy-Syafi’i mengambil riwayat dari syaikhnya yang dikenal sebagai perawi dhoif oleh kebanyakan ulama hadis, yakni Ibrohim bin Abi Yahya (إبراهيم بن أبي يحيى).
Nama lengkap tokoh yang kita perbincangkan di sini adalah Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Madani. Abi Yahya adalah kakek Ibrohim. Nama aslinya Sam’an Al-Aslami. Sebagian ulama terkadang menisbatkan Ibrohim kepada kakeknya dari pihak ibu sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Juraij sehingga nasabnya disebut Ibrohim bin Muhammad bin Abi ‘Atho’. Beliau wafat pada tahun 184 H.
Adapun penilaian para kritikus hadis terhadap Ibrohim bin Abi Yahya secara ringkas adalah sebagai berikut.
Yahya bin Ma’in menyebutnya “kadzdzab rofidhi” (syiah pendusta). Ibnu Al-Madini dan Yahya Al-Qotthon menuduhnya berdusta. Ahmad menyebutnya berpaham qodariyyah, mu’tazilah dan Jahmiyyah. Ibnu Ma’in dan An-Nasai mengatakan “laisa bitsiqoh” (tidak tsiqoh). Bukhari mengatakan “beraliran Qodariyyah Jahmiyyah, dan ditinggalkan oleh Ibnu Al-Mubarok dan orang-orang”. Asy-Syafi’i sendiri menyebutnya “qodari” (berpaham qodariyyah). Ibnu Adi mengatakan “yuktabu haditsuhu” (hadisnya ditulis). Menurut Al-Husaini dalam “At-Tadzkiroh”, Asy-Syafi’i dan Al-Ashbahani mentsiqohkannya.
Apakah dengan penilaian para kritikus hadis terhadap Ibrohim bin Abi Yahya dan kenyataan bahwa Asy-Syafi’i mengambil riwayat darinya dalam Al-Umm membuat seluruh riwayat-riwayat dalam kitab Al-Umm menjadi cacat dan turun kualitasnya?
Jawabannya adalah tidak. Demikian penegasan Rif’at Fauzi saat mentahqiq “Al-Umm”. Hal tersebut tidak mengurangi kualitas dan mutu “Al-Umm” karena beberapa alasan. Di antaranya,
Pertama, mayoritas riwayat dalam kitab “Al-Umm” berasal dari dua imam besar dalam bidang hadis yaitu Imam Malik dan Imam Sufyan bin ‘Uyainah. Adapun riwayat Ibrohim bin Abi Yahya (dan perawi yang semisal dengannya yang dipandang perawi dhoif oleh kebanyakan para kritikus hadis), maka riwayat dari mereka jumlahnya sedikit. Jumlah yang sedikit inipun telah diperkuat Asy-Syafi’i dengan sejumlah riwayat “syawahid” dan “mutaba’at”
Kedua, jika diteliti dari jalur yang lain, maka akan didapati bahwa riwayat-riwayat Asy-Syafi’i dari Ibrohim bin Abi Yahya adalah sahih atau hasan. Jadi riwayat-riwayat Ibrohim bin Abi Yahya bisa digolongkan dalam riwayat “shahih lighoiriha” atau “hasan lighoiriha”
Ketiga, Asy-Syafi’i telah meneliti riwayat-riwayat Ibrohim bin Abi Yahya, dan beliau menyimpulkan bahwa perawi ini “tsiqoh”. Asy-Syafi’i adalah ulama yang luas ilmunya, cerdas, bertaqwa dan sangat berhati-hati dalam menerima riwayat. Jika beliau telah menyimpulkan status seorang perawi, maka itu berasal dari penelitian panjang beliau yang bertanggung jawab. Ketika murid Asy-Syafi’i yang bernama Ar-Robi’ ditanya mengapa Asy-Syafi’i meriwayatkan dari Ibrohim bin Abi Yahya, Ar-Robi’ menjawab (di antara alasannya adalah) karena Ibrohim bin Abi Yahya mengatakan “Jatuh dari langit lebih aku sukai daripada berdusta”. Oleh karena itu dalam meriwayatkan darinya terkadang Asy-Syafi’i mengatakan “haddatsani man la attahimu” (orang yang tidak kutuduh/kucurigai-berdusta- telah memberitahu aku)
Keempat, Ibrohim bin Abi Yahya terkesan ditsiqohkan oleh ulama di zaman Asy-Syafi’i juga. Buktinya saat Asy-Syafi’i berdebat, kemudian beliau membawakan riwayat yang diambil dari Ibrohim bin Abi Yahya untuk ditunjukkan sebagai hujjah kepada ulama yang berbeda pendapat dengan Asy-Syafi’i, ternyata para ulama yang berbeda pendapat itu tidak menolak hujjah Asy-Syafi’i dengan alasan bahwa Ibrohim bin Abi Yahya adalah perawi yang dhoif. Hal ini menunjukkan Ibrohim bin Abi Yahya ditsiqohkan oleh ulama yang sezaman dengan Asy-Syafi’i, karena jika perawi riwayat tersebut dhoif biasanya hujjah Asy-Syafi’i akan langsung ditolak dengan alasan perawi lemah tersebut.
Kasus yang mirip dengan Ibrohim bin Abi Yahya juga berlaku pada guru-guru Asy-Syafi’i yang diperbincangkan dari sisi ketsiqohannya meriwayatkan hadis seperti Muslim bin Kholid Az-Zanji, Ibrohim bin Abi Tau-amah, dan lain-lain.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sebagian besar riwayat Asy-Syafi’i dalam Al-Umm adalah shahih dan menjadi sumber hadis sahih juga sebagaimana kitab-kitab hadis shahih. Riwayat-riwyat sisanya sekalipun (yang tidak ditegaskan dhoif oleh Asy-Syafi’i) juga bisa diterima bagi ulama yang menerima penilaian Asy-Syafi’i. Hanya saja, sebagian kecil riwayat yang dinukil dari perawi-perawi mukhtalaf tersebut dalam diskusi ilmiah tetap terbuka untuk dikritisi dan didikusikan. Tetapi yang mengkritisi haruslah pakar dan ahli di bidang tersebut agar manfaatnya luas bagi seluruh kaum muslimin.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين