Oleh Ustaz Muafa
Argumentasi terkuat yang dijadikan dasar pendapat yang mengatakan Lailatul Qodar jatuh pada tanggal 23 Ramadan adalah mimpi Rasulullah ﷺ.
Beliau ditunjukkan Allah kapan Lailatul qodar Itu, tapi kemudian dibuat lupa tanggalnya. Hanya saja satu yang beliau ingat, di malam itu beliau sujud di tanah yang kondisinya basah kena air hujan.
Salah seorang shahabat yang bernama Abdullah bin Unais mengamati, ternyata ciri-ciri yang cocok dengan deskripsi tersebut adalah tanggal 23 Ramadan. Di malam itu, beliau menyaksikan dahi dan hidung Rasulullah ﷺ terdapat bekas air dan tanah liat (lumpur).
Muslim meriwayatkan;
“Dari Abdullah bin Unais bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, kemudian aku lupa dan yang diperlihatkan padaku adalah pada waktu subuh (Lailatul Qodar) itu aku sujud di tanah yang basah.” Abdullah bin Unais berkata; “Kemudian turun hujan pada malam ke dua puluh tiga dan Rasulullah shalat mengimami kami. Kemudian beliau pulang dan terlihat bekas tanah basah di dahi dan hidung beliau.” Abdullah bin Unais berpendapat (bahwa lailatul qodar), “Itu adalah malam kedua puluh tiga.” (H.R. Muslim)
Dalil lain yang menguatkan,
Abdullah bin Unais adalah shahabat badui yang tinggal secara nomaden. Tentu saja kehidupan orang nomaden tidak bisa mengikuti salat Nabi di Madinah dan tidak bisa intens bertanya kepada Nabi jika diperlukan.
Abdullah bin Unais bertanya kepada Rasulullah ﷺ kapan Lailatul Qodar itu? Ternyata Rasulullah ﷺ menjawab tegas tanggal 23 ramadhan. Setelelah Abdullah bin Unais mau pergi, Rasulullah ﷺ seakan-akan khawatir salatnya hanya dibatasi tanggal 23 Ramadan, atau bisa jadi karena diberitahu bahwa Lailatul Qodar itu berpindah-pindah, maka beliau memerintahkan untuk mencarinya di 10 malam terakhir.
Ath-Thabarani meriwayatkan;
“dari Az-Zuhri, ia berkata, aku bertanya kepada Dhomroh bin Abdullah bin Unais, ‘Apa yang dikatakan Nabi ﷺ kepada ayahmu tentang Lailatul Qodar?’ Dia menjawab, ‘Ayahku adalah orang badui, ia berkata, ‘ wahai Rasulullah ﷺ, perintahkan aku untuk sebuah malam yang aku akan serius beribadah di dalamnya’. Beliau bersabda, ‘seriuslah beribadah pada malam 23’. Tatkala dia (ayahku) berpaling beliau (Rasulullah ﷺ) bersabda, ‘carilah pada 10 hari terakhir’” (H.R. Ath-Thobaroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
Masih riwayat yang sama dari Abdullah bin Unais, ada pernyataan tegas Rasulullah ﷺ bahwa Lailatul Qodar itu tanggal 23 Ramadan. Ath-Thobaroni meriwayatkan;
“Dari Abdullah bin Unais shahabat Rasulullah ﷺ bahwasanya ia ditanya tentang Lailatul Qodar, dia menjawab, ‘ Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘carilah pada malam ini’. Malam itu adalah malam 23 (Ramadan). Seorang lelaki bertanya, ‘kalau begitu malam ini adalah awal 8 (hari yang tersisa). Beliau menjawab, ‘tidak, tapi awal 7 (hari yang tersisa) karena bulan ini tidak genap” (H.R. Ath-Thobaroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
Termasuk juga istinbath Ibnu Abbas. Suatu hari Umar bertanya kepada Ibnu Abbas kapan lailatul qodar itu, maka Ibnu Abbas mengatakan malam itu adalah malam ke-23 atau malam ke-27 dengan sejumlah argumentasi. Abdur Rozzaq meriwayatkan,
Artinya : “Ibnu Abbas berkata, ‘Umar mengundang para Shahabat Nabi Muhammad kemudian menanyai mereka tentang lailatul qodar. Mereka sepakat bahwa malam itu ada pada 10 hari terakhir Ramadhan. Ibnu Abbas berkata, aku berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya aku benar-benar tahu atau aku benar-benar punya dugaan kuat di malam apa malam itu”. Umar bertanya, ‘Malam apa itu?’ Aku menjawab, ‘Malam ke tujuh yang telah berlalu atau malam ketujuh yang tersisa dari 10 hari terakhir Ramadan’. Umar bertanya, ‘Dari mana kamu tahu itu?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Allah menciptakan tujuh langit, tujuh bumi, tujuh hari, masa berputar dalam tujuh, Allah menciptakan manusia dari tujuh unsur, makan dari tujuh unsur, sujud di atas tujuh tulang, bertawaf sebanyak tujuh putaran, melempar jamroh tujuh kali (dan seterusnya), Ibnu Abbas menyebut sejumlah hal.’ Umar berkata, sungguh engkau telah memahami perkara yang tidak kami pahami’”. (Mushonnaf Abdul Ar-Rozzak Ash-Shon’ani juz 4 hlm 246).
Riwayat lain yang menguatkan adalah mimpi Ibnu Abbas. Suatu malam beliau bermimpi dan diberitahu bahwa malam itu adalah Lailatul Qodar. Setelah dicek ternyata malam itu tanggal 23 Ramadan. Ahmad meriwayatkan;
“dari Ikrimah berkata; Ibnu Abbas berkata; Aku didatangi (seseorang) ketika sedang tidur pada bulan Ramadan, lalu aku diberitahu; “Sesungguhnya malam ini adalah malam qadar (Lailatul Qadar).” Maka aku pun bangun, namun aku masih mengantuk, lalu aku berpegangan pada tali tenda Rasulullah ﷺ , aku kemudian mendatangi Rasulullah ﷺ , ternyata beliau sedang shalat, lalu aku memperhatikan malam tersebut, ternyata itu adalah malam kedua puluh tiga.” (H.R. Ahmad)
Barangkali berdasarkan nash-nash ini, As-Syafi’i berpendapat bahwa tanggal 23 Ramadhan adalah di antara malam yang paling diharapkan menjadi Lailatul Qodar. Al-Malibari berkata dalam “Fathu Al-Mu’in”,
“Malam-malam witirnya yang paling diharapkan (menjadi Lailatul Qodar) menurut Asy-Syafi’i adalah malam 21 atau 23” (Fathu Al-Mu’in, juz 2 hlm 257).