PERTANYAAN
Assalamualaikum.
Saya mau tanya. Tahun 2013 mertua laki-laki saya meninggal dunia. Beliau meninggalkan satu istri, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Suami saya pernah ngomong ke ibunya dan saudara-saudaranya bahwa harta waris harus segera dibagi. Tetapi, ibu dan saudara-saudaranya malah marah-marah dan menyangkal bahwa ga ada aturan seperti itu. Ok, suami diam dan membiarkan saja harta waris itu di pegang ibunya. Ternyata, dengan berjalannya waktu, ibunya menggunakan harta waris itu untuk membeli tanah dan membangun rumah untuk kakak laki-lakinya. Bapak mertua meninggalkan 3 rumah dan sejumlah aset serta deposito. Rumah yang ditempati ibunya itu untuk kakak perempuannya. Rumah satunya untuk adik ibunya. Nah, satu rumah yang dijadikan kos-kosan ini dipegang ibunya. Nah, yang saya tanyakan, apakah jika ada rasa tidak ikhlasnya suami saya ini bisa menjadikan haramnya harta untuk saudara dan ibunya? Mohon bantuan jawabannya, terimakasih.
Wassalamualaikum.
JAWABAN
Oleh : Ummu Haura
Wa’alaikumussalam warrahmah.
Terima kasih atas pertanyaan mengenai waris yang di percayakan kepada kami untuk menjawabnya. Sebelumnya kami memohon maaf atas jawaban yang baru sempat kami menjawab di karenakan kesibukan di hari raya fitri.
Bismillahirrahmanirrahim.
Kami akan mencoba menjawab kasus waris yang saudari penanya ajukan kepada kami.
Yang menjadi pertanyaan saudari penanya adalah, “Apakah jika salah satu ahli waris (dalam hal ini suami saudari) tidak ridho, jika harta yang seharusnya menjadi haknya tidak diberikan, akan tetapi dikelola oleh ahli waris lain atau bahkan di berikan kepada pihak lain yang tidak berhak mendapatkan harta warisan, maka apakah harta tersebut menjadi haram?”.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami akan uraikan dahulu mengenai sejumlah hukum penting pada kasus saudari penanya. Hukum-hukum tersebut adalah, siapa saja yang menjadi ahli waris (dan berhak mendapatkan harta warisan dari mayit), berapa besar jatah warisan masing-masing ahli waris, siapa saja yang tidak termasuk ahli waris (yang saudari sebutkan terlibat dalam memanfaatkan harta warisan), dan terakhir bagaimana pembagian hasil harta warisan yang tidak segera dibagikan tetapi di kelola oleh ahli waris yang lain. InsyaaAllah kami uraikan jawabannya beserta nash yang menjadi dalil dari penjelasan jawaban kami
Muwarrits
Muwarrits adalah orang yang meninggalkan harta warisan (mayit). Dalam kasus ini ini adalah mertua saudari penanya.
Ahli waris
Mayit (mertua saudari penanya) meninggalkan sejumlah kerabat yakni
Istri
2 putra
1 putri
1 saudari perempuan
Dalam kasus ini, saudari mayit gugur oleh putra mayit. Oleh karena itu, ahli warisnya hanyalah istri, dua putra dan satu putri.
Penghitungan
Istri
Istri mendapat 1/8 dari harta warisan
Dalil yang mendasari bagian istri mendapat harta warisan sebesar 1/8 adalah ayat berikut ini:
Artinya:
“Dan bagi mereka (istri-istri kalian) adalah seperempat dari apa yang kalian tinggalkan jika kalian tidak punya anak. Jika kalian punya anak maka bagi mereka adalah seperdelapan dari apa yang kalian tinggalkan setelah ditunaikan wasiat yang mereka berwasiat dengannya, atau pelunasan hutang” (An-Nisa: 12).
Istri termasuk ahlul faridhoh kuat, yakni ahli waris yang pasti mendapat bagian tertentu dari harta warisan, tidak mungkin gugur. Kondisi “terburuk” untuk istri hanyalah berkurang jatahnya jika ada ahli waris lain yang menjadikan jatah istri berkurang.
Untuk kasus di atas, berdasarkan surat An-Nisa:12, istri pada dasarnya mendapat bagian 1/4 dari harta warisan. Akan tetapi oleh karena mayit memiliki anak maka jatah istri berkurang dari 1/4 menjadi 1/8 dari harta warisan.
2 Putra dan 1 putri
Putra termasuk ahli waris golongan ashobah, artinya mendapat seluruh sisa dari harta warisan. Jika putra disertai putri, maka putri mayit juga langsung “diseret” menjadi ashobah bersama putra. Hanya, meski putra-dan putri mendapatkan sisa harta akan tetapi dari sisi kuantitas bagian putra adalah dua kali bagian putri.
Putra bersama putri digolongkan ke dalam ashobah berdasarkan surah An-Nisa ayat 11,
Artinya:
“Allah mewasiatkan kepada kalian terkait anak-anak kalian bagi laki-laki adalah dua kali bagian perempuan” (An-Nisa’: 11).
Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bagian putra dan putri tanpa diterangkan jatah warisannya dalam bentuk pecahan yang jelas, namun hanya diterangkan pembagian di antara mereka adalah memakai perbandingan sebesar 2:1. Hal itu bermakna, bahwa putra dan putri mayit, dalam kondisi bersama-sama mengambil sisa harta, dengan kata lain mereka menjadi ashobah.
Jadi ketentuan bagian masing-masing putra yang berjumlah 2 bersama 1 putri adalah sebagai berikut.
Setelah harta dikurangi bagian istri sebesar 1/8, maka harta sisa adalah 7/8.
Karena putra mendapat 2 kali bagian putri, sementara jumlah putri satu sedangkan putra berjumlah 2 maka pembaginya ada 5.
Perhitungannya seperti ini
7/8 : 5 = 7/8×1/5= 7/40
Jadi bagian putri adalah 7/40 sedangkan bagian masing-masing putra adalah 2×7/40 yakni 14/40.
Kesimpulannya,
Jatah istri mayit= 5/40
Jatah putri mayit= 7/40
Jatah putra mayit masing-masing= 14/40
Yang tidak termasuk ahli waris
Kami agak ragu apakah yang ditulis dalam pertanyaan dan disebut dengan “kakak laki-lakinya” dan “kakak perempuannya” itu adalah saudara dan saudari istri mayit ataukah saudara dan saudari suami ibu penanya.
Untuk saudari istri mayit, sebelumnya sudah dijelaskan bahwa beliau meskipun ahli waris tetapi statusnya telah gugur karena ada putra mayit.
Jika yang dimaksud “kakak laki-lakinya” dan “kakak perempuannya” itu adalah saudara dan saudari istri mayit, maka hukumnya sama yakni gugur oleh putra mayit.
“Kakak laki-lakinya” dan “kakak perempuannya” itu adalah saudara dan saudari suami ibu penanya, maka mereka adalah ahli waris dan ketentuan jatah warisannya sudah dijelaskan di atas.
Jika kita sudah tahu bahwa dalam kasus di atas ada kerabat yang bukan ahli waris, akan tetapi mendapat harta warisan maka dia telah berbuat zhalim terhadap ahli waris yang lain, apalagi jika ahli waris yang lain tidak rela, maka harta tersebut haram baginya..
Status harta warisan yang belum dibagi
Kemudian harta warisan yang belum dibagi, harta tersebut dikelola dan menghasilkan harta tambahan, maka secara hukum islam harta tambahan itu menjadi harta tawabi’. Harta tawabi’ harus dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing yang sudah saya jelaskan di atas.
Dalam kasus ini harta tawabi’ adalah uang yang didapatkan dari hasil bisnis kost-kost-an. Jadi, uang hasil bisnis kost tersebut harus dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai bagian masing-masing.
Status Penggunaan Jatah Warisan Tanpa Izin
Terakhir yang menjadi pertanyaan penanya adalah bagaimana jika suami saudari penanya (putra mayit) tidak ikhlas harta warisan yang menjadi bagiannya diambil dan dikelola ahli waris lain, atau bahkan diberikan kepada yang bukan ahli waris??
Jawabannya, -tentu saja- jika seseorang tidak memiliki hak atas harta tersebut maka harta itu menjadi haram baginya. Apalagi orang yang seharusnya memiliki hak terhadap harta tersebut tidak ridha.
Selain daripada itu, setiap individu muslim dituntut oleh syariat untuk memperhatikan darimana asal-usul dan sumber pemasukan keuangannya. Syariat menghalalkan kepemilikan harta dari sumber-sumber yang halal seperti hibah, hadiah, jual beli dan lain-lain dan mengharomkan kepemilikan harta yang didapatkan melalui sumber-sumber yang haram misalnya mencuri, berjudi, atau merampas hak orang lain. Rasulullah ﷺ mengingatkan tentang masalah kehati-hatian terkait pemasukan harta ini dalam salah satu sabda beliau sebagai berikut,
Artinya:
“Tidaklah bergeser kaki seorang hamba sebelum ditanya tentang umurnya digunakan untuk apa, ilmunya untuk apa dilakukan, hartanya dari mana mendapatkannya dan untuk apa dibelanjakan, dan tubuhnya untuk apa digunakan hingga menjadi lemah” (At-Tirmidzi, 1975: 449)
Dalam hadis di atas, lafaz yang berbunyi:
Artinya:
“dan hartanya dari mana mendapatkannya”
Lafaz ini menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk melihat dan berhati-hati dalam memperoleh harta. Artinya, seorang Muslim diperintahkan untuk memperhatikan sumber-sumber pemasukan hartanya, agar terhindar dari sumber-sumber harta yang haram. Harta warisan termasuk sumber pemasukan. Harta warisan bisa menjadi halal jika diperolah dengan cara pembagian hukum Islam, dan bisa menjadi haram ketika diperoleh dengan cara pembagian hukum Jahililiyyah. Oleh karena itu, mengetahui ilmu Faroidh dari sisi ini juga menjadi wajib agar seseorang terhindar dari perolehan harta yang haram.
Jadi, agar harta warisan menjadi halal bagi seseorang, haruslah didapatkan dari pembagian harta warisan sesuai dengan hukum Islam. Wallahu ‘alam