Pertanyaan
Allah menciptakan manusia bermacam-macam. Ada yang terlahir di keluarga Muslim, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, sampai Ateis. Jika orang-orang yang terlahir di keluarga selain muslim, kemudian dia berbuat baik di dunia ini (bahkan mungkin bisa jadi lebih baik daripada yang muslim), apakah di akhirat kelak dia bisa masuk surga?
(Nabila Haqullah, mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Brawijaya, tahun 2018 NIM :185160101111001)
Jawaban
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Tidak bisa.
Orang baik, jika selama hidup di dunia menebar kebaikan, memberi manfaat sesama dan banyak berjasa bagi kemanusiaan, tetapi jika dia tidak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ dan mengikuti agamanya (yakni masuk Islam) maka di akhirat pasti masuk neraka. Semua kebaikannya akan menjadi debu yang ditaburkan di akhirat. Inilah yang dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan juga hadis Nabi ﷺ. Muslim meriwayatkan,
“Dari Abu hurairah dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda: “Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang pun dari umat ini yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim)
Adapun orang muslim, maka meskipun kebaikannya bisa jadi lebih sedikit daripada selain muslim, maka selama dia benar-benar orang beriman dan memenuhi hak-hak serta konsekuensi iman itu, maka di akhirat insya Allah dia bisa masuk surga meskipun bisa jadi dia harus “dihukum” dan “dicuci” dulu beberapa waktu di neraka.
Apakah itu masuk akal? Apakah itu terlihat adil?
Jawabannya, benar. Sangat masuk akal dan sangat adil. Sebagai perumpamaan, akan saya berikan contoh berikut.
“Ada seorang petani yang memiliki dua petak sawah dan ia ingin mengolah sawahnya. Dia berkata kepada orang-orang, “Siapakah yang bersedia mencangkul sawah mulai matahari terbit sampai matahari terbenam dan dia kuberi upah Rp.500.000,-?”
Lalu majulah 10 orang yang siap menerima tawaran akad tersebut dan merekapun bekerja. Namun, 5 diantara mereka hanya sanggup bekerja sampai jam 12.00, 3 di antaranya hanya sanggup bekerja sampai jam 15.00 sementara hanya 2 orang yang sanggup bekerja sampai matahari terbenam.
Pemilik sawah yang baik hati itupun membayar Rp.500.000,- kepada 2 orang yang bekerja sampai matahari terbenam. Adapun yang bekerja sampai jam 15.00,- dia bersedia membayarnya Rp.400.000,- dan yang bekerja sampai jam 12.00 diberinya Rp.300.000,-
Lalu datanglah 10 pekerja lainnya yang tiba-tiba mencangkul sawah petani yang belum diolah tanpa diminta dan tanpa membuat akad. Setelah matahari terbenam, dia datang kepada petani itu dan meminta upahnya. Tentu saja petani tersebut marah kepada mereka, dan tidak bersedia memberi upah karena mereka bekerja tanpa disuruh dan tidak membuat perjanjian”.
Demikianlah perumpamaan orang yang masuk Islam dan belum masuk Islam.
Orang yang masuk Islam adalah seumpama orang yang telah membuat perjanjian dan akad dengan Allah sehingga dalam amal kebaikan-kebaikannya mereka berhak mendapat upah.
Adapun orang yang belum masuk Islam, maka mereka tidak pernah membuat perjanjian dengan Allah, sehingga semua kebaikannya sia-sia karena mereka tidak pernah berbuat sesuatu untuk menyenangkan Allah. Orang yang belum masuk Islam dalam berbuat sesuatu sudah pasti motivasinya adalah untuk dunia (pujian, ketenaran, popularitas, balas jasa, harum namanya, dikenang sebagai orang baik, disebut pahlawan, tercatat dalam sejarah, diberi ucapan terima kasih, diingat sebagai orang baik dan lain-lain). Kalaupun mereka mengklaim bahwa perbuatan baiknya untuk membuat Allah ridha dan mengharap balasan di akhirat, maka itu hanya berhenti sebatas klaim, bukan benar-benar seperti yang dikehendaki oleh Allah.
Bagaimana bisa “tuduhan” seperti itu diterima?
Bisa.
Mari berpikir logis.
Orang yang ingin menyenangkan orang lain, supaya perbuatannya itu benar-benar menyenangkan yang ingin disenangkannya (tidak berhenti pada klaim), maka pertama-tama dia harus mencari data dulu apa yang disenagi oleh orang yang ingin disenangkannya.
Sebagai contoh, jika Anda ingin menyenangkan saya dengan membelikan makanan kesukaan saya, maka pertama-tama Anda harus tahu dulu makanan favorit saya itu apa. Adalah kebohongan jika Anda ingin menyenangkan saya, tapi Anda tidak pernah serius mencari tahu makanan apa yang saya senangi. Saya tidak suka sayur kangkung, daging kambing dan makanan yang berlendir. Saya suka sekali nasi liwet, sambal bajak, sambal udang, mendol goreng dan tumis selada. Jadi, jika Anda ingin menyenangkan saya dengan memberi sayur kangkung dan daging kambing, maka itu tidak menyenangkan saya dan berhenti menjadi klaim saja.
Demikian pula orang yang ingin menyenangkan Allah.
Semua orang yang memburu ridha-Nya, pertama-tama dia harus tahu terlebih dahulu apa yang disenangi Allah dan apa saja yang dibenci-Nya. Untuk mendapatkan data ini, tidak mungkin Anda bertanya kepada tukang becak, atau langsung berinteraksi dengan-Nya. Satu-satunya jalan paling logis dan paling sesuai dengan kenyataan sejarah manusia selama berabad-abad hanyalah dengan bertanya kepada utusan Allah, yakni orang-orang suci nan salih yang biasa disebut sebagai Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul adalah saluran resmi antara manusia dengan Allah. Merekalah duta formal Sang Pencipta. Mereka mendapatkan wahyu dari Allah, sehingga informasi dari mereka sangat valid dan bisa dipertanggungjawabkan untuk mengetahui apa yang disenangi Alllah dan apa yang dibenci-Nya.
Jadi, orang yang benar-benar jujur ingin menyenangkan Allah dia harus mencari dengan serius siapa utusan Allah itu. Kalau sudah ketemu, maka utusan tersebut diikuti, dipercaya kata-katanya, dan dijalankan seluruh petunjuknya.
Nah, kira-kira 14 abad tahun yang lalu, ada seorang lelaki dari tanah Arab yang bernama Muhammad bin Abdullah. Beliau mengaku sebagai utusan Allah yang terakhir. Lelaki tersebut terkenal kesuciannya, kejujurannya, keamanahannya, kebersihan nasabnya, dan kemuliaan akhlaknya. Beliau muncul mengaku sebagai utusan Allah dengan membawa banyak bukti. Beliau bisa membelah bulan, mengucurkan air dari tangan, memperbanyak makanan, berbicara dengan hewan, menyembuhkan mata hanya dengan meludahi dan banyak lagi mukjizat yang lainnya. Hanya saja mukjizat beliau yang terbesar adalah Al-Qur’an dan mukjizat ini berlaku sepanjang zaman yang siap diuji oleh manusia sampai hari kiamat untuk membuktikan bahwa pembawanya memang seorang utusan Allah.
Sampai di sini bisa kita pahami, jika orang yang belum beragama Islam memang serius mencintai Allah, mengejar ridha-Nya, dan memburu kebahagiaan hidup setelah mati, seharusnya dia serius untuk memikirkan dan mencari bukti apakah benar Muhammad, nabinya orang Islam itu benar-benar utusan Allah ataukah bukan. Pada titik ini saya berani menantang, selama Anda berpikir obyektif, ilmiah, serius, lurus logikanya, tidak “tendensius”, tidak fanatis dan tidak “ngeyelan”, maka pasti Anda susah menolak kebenaran bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika Anda sudah bisa menerima ini, dan bersaksi menerima beliau sebagai utusan Allah seraya mengikutinya maka Anda resmi masuk Islam.
Jadi penyebab utama orang kafir masuk neraka meskipun dia orang baik adalah karena dia tidak menyembah Allah. Orang yang serius ingin menyembah Allah sebaik-baiknya, maka dia harus mencari tahu apa yang membuat Allah ridha dan yang membuat Allah murka. Untuk mencari data ini, maka dia harus mencari utusan Allah. Jika dia serius mencari utusan Allah, maka secara pasti dia akan mengimani Nabi Muhammad ﷺ sehingga otomatis dia akan masuk Islam.
Wallahua’lam
3 Comments
Ridwan Hudiono
Perumpamaan yang anda berikan terlihat masuk akal. Tetapi itu tidak benar. 🙂 Anda tidak bisa menyamakan 10 petani itu dengan orang yang berKTP non islam. Fenomena adanya agama baru, kepercayaan dengan penggabungan agama, ibadah yang mestinya dengan bahasa ‘khusus’ diganti dengan bahasa daerah atau bahasa yang mereka mengerti, dll. Anehkah? TIDAK!! Itu suatu kewajaran. Ketika mereka menganggap bahwa kepercayaan yang mereka anut masih mengajarkan KEBENCIAN IDENTITAS maka mereka akan mencari atau bahkan membuat kepercayaan baru. Selama kita masih SALAH TERJEMAH & TAFSIR atas berbagai kata dan istilah seperti : iman, muslim, mukmin, kafir, musyrik, dll maka KEBENCIAN IDENTITAS akan selalu tersemat di hati kita. Dalam kitab, kita tidak diperkenankan menjadi JURI atas siapa yang lebih mulia dihadapan TUHAN, walaupun kita TIDAK MEMILIKI kesamaan ras, suku, bangsa, bahasa, kekayaan, ketenaran, bahkan agama. Siapapun bisa…siapapun… bisa menerima kenikmatan di hari akhir dengan satu syarat saja. Yaitu asalkan TUHAN menghendakinya. TITIK. ‘Bagimu agamamu, bagiku agamaku’ bukanlah kalimat toleran, tapi agar kita tidak mencampuradukkan ibadat agama yang satu dengan agama yang lain. Kalaupun kita toleran, toleran yang diajarkan manusia lain kepada kita hanya sebatas ‘jika kamu baik padaku maka aku baik padamu’ saja. Allah SWT jauh lebih toleran pada umat manusia. ‘Pada tiap wajah ada yang menoleh padanya, pada tiap kepercayaan ada yang mempercayainya, pada tiap panutan ada yang menganutnya, pada tiap agama ada yang memeluknya. Lakukan kebaikan diajarkannya. Nanti pada hari akhir, Allah SWT akan mengumpulkan semuanya untuk dimintai pertanggungjawaban’. TITIK. Jangan mencoba menjadi JURI atas siapa yang lebih mulia dihadapan TUHAN. Bahkan siapa yang berhak masuk surga atau masuk neraka. Apakah ini pendapat saya atau pendapat TUHAN. Penasaran? Carilah di ‘kitab’ !! Kita akan menemukannya. Itu kalau kita bisa membaca bahasa aslinya. Bukan terjemah apalagi tafsir. Sudah saatnya kita belajar membaca. Karena sudah terlalu lama kita CUMA MELAFALnya saja !! Terlalu lama memegang terjemah. Terlalu kuat menggenggam tafsir. Saatnya kita mengetahui kebenaran dari Sang Tunggal. Semoga menjadi inspirasi bagi para ‘motivator agama’ agar membekali diri dengan ilmu membaca sehingga paham tentang apa yang disampaikan. Bukan hanya pamer lafalan serta mengumbar tafsir dan terjemah orang lain yang berisi benih-benih kebencian identitas yang tersamar.
Admin
alhamdulillah. Memang tulisan saya di atas sangat masuk akal dan hanya akal sehat yang akan menerimanya. Kebenaran itu sederhana. petani maupun filosof mudah menerimanya. Jika ada sesuatu dipropagandakan dengan susah payah, apalagi dengan argumentasi mbulet, maka itu jelas kesesatan.
gagasan Anda hanya satu intinya: mengejar tepuk tangan manusia. Agar disebut toleran. Biar disebut humanis. Biar dipuji manusia. Ini bermakna menyembah manusia, bukan menyembah Allah. Agama islam mengajarkan menyembah Allah, bukan menyembah manusia. Islam juga mengajarkan akhlak mulia, bukan akhlak kebencian. Allah juga tidak pernah memerintahkan membenci makhluk. Hanya mereka yang menghina Allah dan RasulNyalah yang layak dibenci karena Allah. Justru gagasan Anda yang mengajak membenci orang yang berusaha menyembah Allah semata tanpa sekutu bagiNya.
Yoga
Opo yo ngono mas?? Itu lak menurut kepercayaan umat muslim to. . Percya boleh tapi di yakini dalam hati sendiri saja. . Semua Agama itu baik bagi masing masing penganutnya. . Artinya mereka punya kajian tafsiran dan keyakinan sendiri sendiri yang mereka iman ii. . Jadi jangan sampai kita orang yang beriman menyalahkan iman orang lain. . Lantas mengkafir kafirkan orang laen. . Mengatakan tidak pantas surga untukmu karna kmu bukan orang muslim. . Ingat. . Surga neraka Hanya Gusti Allah yang tau. . Dan hanya karna rahmatNya . .
Belajarlah menjadi manusia dulu mas baru ber agama. . Intinya. . Jangan sampai anda beragama tapi selalu menyalahkan keyakinan orang lain yang tidak sama iman denganmu. . Mengklaim manusia lain itu tidak benar . . Periksa sampean iku menyembah Tuhan mu apa Egomu.