Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Perut buncit dan kegemukan, jika penyebabnya adalah faktor genetik dan kondisi alami tubuh atau sebab-sebab ukhrawi, maka tidak tercela. Adapun jika perut buncit dan kegemukan itu muncul sebagai akibat kerakusan terhadap dunia dan kelalaian terhadap akhirat, maka itulah yang tercela.
Perut buncit maupun kegemukan terjadi karena penumpukan lemak. Pada perut buncit, lokasi penumpukan lemak tersebut bisa di bawah kulit (subkutan) atau di sekitar organ dalam (viseral). Penyebab munculnya bisa saja karena faktor genetik. Porsi makan dan cara makan orang yang gemuk karena faktor genetik sama dengan orang kebanyakan, tetapi karena ada faktor keturunan maka dia lebih cepat berperut buncit dan gemuk. Bisa juga penyebab perut buncit dan gemuk adalah karena bertambahnya usia, hormon yang tidak seimbang, bentuk tubuh yang seperti “apel”, dan lain-lain.
Jika memang seperti ini faktanya, maka perut buncit dan kegemukan yang disebabkan faktor genetik adalah kondisi fisik (kholqul insan) biasa. Tidak ada bedanya dengan orang yang gen-nya kurus, tampan, tidak tampan, tinggi, pendek, hitam, putih, cacat, tak cacat dan semisalnya. Tidak mungkin Allah mencela sesuatu yang sifatnya genetik, karena dalam hadis ditegaskan bahwa Alllah tidak melihat bentuk fisik maupun rupa seorang hamba. Yang dilihat Allah hanyalah hati dan amalnya. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan rupa kalian, tetapi Allah melihat hati kalian” (H.R. Muslim)
Adapula orang salih yang gemuk karena kondisi psikisnya yang sangat bergembira dengan nikmat Islam dan merasakan betul kelezatan ibadah atau tholabul ilmi. Tidak mungkin perut buncit dan kegemukan seperti ini dicela karena penyebabnya adalah urusan akhirat dan termasuk perkara yang di luar kuasanya.
Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang sahabat Nabi yang dikenal berperut buncit, padahal pada saat yang sama beliau dikenal sebagai lelaki salih yang zuhud, ahli ibadah, dan ahli surga. Tidak mungkin memahami perut buncit Ali kecuali memahami hal tersebut sebagai faktor genetik dan atau kegembiraan karena sebab-sebab ukhrawi. Ibnu Abdil Barr berkata,
“(beliau, yakni Ali bin Abi Thalib)…perutnya besar” (Al-Isti’ab Fi Ma’rifati Al-Ashab, juz 3 hlm 1123)
Bukan hanya Ali saja yang diketahui berperut buncit. Lelaki salih lain yang diriwayatkan berperut buncit adalah putra Shahabat besar yang bernama Ath-Thufail. Beliau tergolong tabiin besar dan dijuluki Ibnu Umar dengan panggilan “Abu Bathn” (Si Perut Besar). Ibnu Umar berkata,
“Wahai Abu Bathn -Ath-Thufail memang berperut besar-, kita pergi (ke pasar) hanya untuk mengucapkan salam. Kita menguicapkan salam kepada orang yang kita temui” (H.R. Malik)
Ibnu Al-‘Utsaimin menegaskan bahwa Ibnu Umar memanggil “Si Perut Buncit” kepada Ath-Thufail itu tidak dengan maksud menganggapnya sebagai aib, tetapi hanya sebagai candaan. Seandainya perut buncit tercela dari sisi perut buncitnya, semestinya Ibnu Umar menasihati dan mengoreksinya. Ibnu Al-‘Utsaimin berkata,
“Adapun ucapan beliau (Ibnu Umar) ‘Ya Aba Bathn‘, maka sesungguhnya Ath-Thufail itu berperut besar. Ini termasuk (ucapan) candaan (keakraban), tidak dimaksudkan sebagai celaan karena dia berperut buncit. Tetapi ini adalah jenis candaan sebagaimana panggilan Rasulullah ﷺ kepada Abu Hurairah dengan panggilan “ya Aba Hirr”- hai bapaknya kucing-‘ (Syarh Riyadh Ash-Sholihin juz 4 hlm 397)
Ibnu ‘Allan juga menyebut bahwa perut buncit Ath-Thufail itu sebagai deskripsi fisik (kholqul insan) saja. Jika itu adalah deskripsi fisik, maka tentu tidak ada bedanya dengan deskripsi tubuh kurus, pendek, tinggi, tampan, tidak tampan dan semisalnya. Bukan aib dari sisi itu. Hanya saja, saat menyebut ciri khas bentuk fisik tersebut, konteksnya harus dalam bentuk “mulathofah” (keakraban/persahabatan/friendliness/kindness/politeness), tidak boleh dalam bentuk mengejek, memberi julukan buruk dan yang semakna dengannya. Ibnu ‘Allan berkata,
“(Ucapan Ibnu Umar) ‘Ya Aba Bathn’, di dalamnya terkandung hukum bolehnya menyebut sebagian bentuk fisik manusia dalam bentuk mulathofah” (Dalilu Al-Falihin, juz 5 hlm 327)
Ada pula sejumlah shahabat lain yang diriwayatkan bertubuh gemuk dan besar. Di antara mereka adalah Abdullah bin ‘Amr (putra ‘Amr bin Al-‘Ash), Ibnu ‘Umar (putra Umar bin Al-Khotthob), Ibnu Abbas, dan Saudah istri Nabi ﷺ. Khusus untuk Ibnu Abbas, Ibnu Katsir menyebut bahwa saking besarnya tubuh Ibnu Abbas, maka beliau memerlukan dua tempat duduk lelaki jika hendak duduk.
Rasulullah ﷺ sendiri di masa tua diriwayatkan Aisyah bertubuh gemuk. Ahmad meriwayatkan,
Bahwasanya Nabi ﷺ melakukan witir 9 rakaat, setelah beliau mulai gemuk dan berdaging, beliau shalat 7 rakaat. Kemudian shalat 2 rakaat sambil duduk. (H.R. Ahmad)
Di kalangan tabiin, lelaki salih yang bertubuh gemuk karena kegembiraan atas nikmat Islam adalah Waki’, yakni salah satu guru Asy-Syafi’i yang terkenal itu. Adz-Dzahabi menulis,
“Sa’id bin Manshur berkata, ‘Waki’ datang ke Mekah dan beliau bertubuh gemuk. Al-Fudhoil bin ‘Iyadh berkata kepadanya, ‘Apa ini kok gemuk? Bukankah engkau rahibnya Irak?’ Waki’ menjawab, (kegemukan) ini adalah karena kegembiraanku dengan Islam’. Jawaban ini membuat beliau (Al-Fudhoil) terdiam. (Siyaru A’lami An-Nubala, juz 9 hlm 156)
Memang, kadang-kadang bisa saja terjadi, demikian lezatnya orang menikmati ilmu dan ibadah, sampai dia lupa dan lalai untuk berolah raga sehingga membuat perutnya menjadi buncit dan badannya menjadi gemuk. Atau, bisa saja dia tidak melalaikan olah raga, tetapi gen-nya memang mudah untuk menjadi gemuk dan berperut buncit, sehingga meski porsi makan serta caranya sama dengan orang kebanyakan, tetapi hasilnya berbeda.
Tokoh dan ulama dalam Islam yang juga disebut gemuk di antaranya adalah Al-Hasan Al-Bishri, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Humaid Al-Fami Al-Fil (w. 289), Muhammad bin Abdul Aziz Az-Zuhri (Qodhi Madyan pada masa Ja’far Al-Manshur), Tsa’lab Abu Al-Abbas Ahmad bin Yahya (pakar nahwu aliran kufah), dan lain-lain. Di zaman sekarang, kita juga mengenal qori bertubuh tambun yaitu syaikh Abdurrahman As-Sudais.
Adapun jika orang berperut buncit dan bertubuh gemuk karena rakus dengan dunia, tidak pernah peduli dengan akhirat dan tidak pernah merisaukan hari pertemuan dengan Rabbnya, maka perut buncit seperti inilah yang tercela. ‘Ali Al-Qori berkata,
“Adapun riwayat yang menunjukkan bahwa Allah membenci orang gemuk, maka itu bisa ditafsirkan (bahwa celaan itu berlaku) jika kegemukan tersebut karena kelalaian, terlalu banyak menikmati kenikmatan lahir, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat tentang kebencian bagi orang gemuk. (Jam’ul Wasail fi Syarh as-Syamail, 1/34).
Rasulullah ﷺ menyebut kegemukan seperti ini sebagai ciri generasi yang buruk. Al-Bukhari meriwayatkan,
“(Generasi buruk setelah masa shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in itu) …tampak pada mereka kegemukan..” (H.R. Al-Bukhari)
Kegemukan seperti ini biasanya muncul karena rakus terhadap makanan dan makan secara berlebihan sampai kekenyangan yang dicela Rasulullah صلى الله عليه وسلم. At-Tirmidzi meriwayatkan,
“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”. (H.R. At-Tirmidzi)
Perut buncit yang seperti ini pulalah yang tidak disukai Nabi ﷺ dengan asumsi riwayatnya hasan. Al-Baihaqi meriwayatkan,
“Dari Ja’dah Al-Jusyami, ia berkata, ‘Aku melihat Nabi ﷺ menunjuk dengan tangannya ke arah perut seornag lelaki gemuk kemudian bersabda, ‘Seandainya (lemak perut) ini (letaknya) tidak pada lokasi ini, niscaya lebih baik bagimu” (Syu’abu Al-Iman juz 7 hlm 458)
Gemuk seperti inilah yang dicela oleh Umar bin Al-Khotthob dalam riwayat berikut ini karena membuat sakit dan malas beribadah,
Demikian pula Ibnu Mas’ud ketika mengatakan bahwa beliau benci penghafal Al-Qur’an yang gemuk dan gampang melupakan Al-Qur’an,
Demikian pula Ka’ab yang membenci jika seorang ulama bertubuh gemuk,
Demikian pula Ibnu Hajar Al-‘Asqolani yang menyebut bahwa kegemukan itu bisa mengurangi kecerdasan,
وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْفِطْنَةَ قَلَّمَا تَكُونُ مَعَ الْبِطْنَةِ (فتح الباري لابن حجر (8/ 562)
Termasuk juga Al-Qodhi Iyadh,
Termasuk An-Nawawi,
Termasuk juga Al-‘Azhim Abadi dalam ‘Aunu Al-Ma’bud,
Kegemukan dan perut buncit karena kerakusan terhadap dunia dan kelalaian terhadap akhirat itulah yang berbahaya. Karena itulah, Asy-Syafi’i menegaskan bahwa orang-orang gemuk itu pada umumnya celaka, kecuali kegemukan yang bukan karena cinta dunia seperti gemuknya murid Abu Hanifah yang bernama Muhammad bin Al-Hasan. Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Asy-Syafi’i berkata,
“Tidak akan beruntung orang gemuk sama sekali kecuali Muhammad bin Al-Hasan” (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 2 hlm 120)
Di tempat lain diriwayatkan Asy-Syafi’i berkata,
“Tidak pernah sama sekali aku melihat orang gemuk yang pintar kecuali satu orang saja -yakni Muhamamd bin Al-Hasan- (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hlm 98)
Dalam riwayat di atas bisa dipahami bahwa Muhammad bin Al-Hasan, yakni murid terkenal Abu Hanifah itu, adalah ulama yang gemuk. Hanya saja, kegemukan beliau tidak tercela karena beliau adalah ulama robbani yang zuhud dalam dunia dan risau dengan akhirat.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa perut buncit dan kegemukan itu jika penyebabnya adalah faktor genetik dan kondisi alami tubuh atau sebab-sebab ukhrawi, maka tidak tercela. Adapun jika perut buncit dan kegemukan itu muncul sebagai akibat kerakusan terhadap dunia dan kelalaian terhadap akhirat, maka itulah yang tercela.
Hanya saja memiliki tubuh ideal yang bebas dari perut buncit dan kegemukan tetap paling utama, karena lebih dekat dengan kesehatan. Orang yang sehat berarti merealisasikan sifat-sifat terpuji yang disebut dalam nash, seperti perintah merealisasikan kekuatan, berlindung dari kelemahan, memenuhi hak tubuh, mukmin kuat lebih disukai Allah, dan semisalnya.