Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Seluruh ajaran Islam, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, yang tertulis di buku-buku Islam maupun yang diceramahkan oleh para ulama, ustaz, kyai dan dai di berbagai forum, pada intinya sebenarnya bersumber dari dua kepercayaan saja. Artinya, jika ada ajaran yang diklaim sebagai ajaran Islam, atau pemikiran yang diklaim sebagai pemikiran Islam, atau konsepsi yang diklaim sebagai konsepsi Islam, akan tetapi tidak bersumber dari dua kepercayaan itu, tidak terpancar darinya, dan tidak dilandasi ruh untuk mempertahankan dan memperjuangkan keduanya, maka sebenarnya itu bukan ajaran Islam, meskipun diaku-akukan sebagai ajaran Islam.
Apa saja dua kepercayaan tersebut? Mari kita simak.
Pertama, kepercayaan bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta ini tidak muncul dengan sendirinya atau terwujud secara kebetulan, akan tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta yang bernama Allah, dan Allah Sang Pencipta segalanya itu wajib menjadi satu-satunya yang disembah, tidak boleh ada yang disembah bersama-sama dengan Dia.
Kedua, kepercayaan bahwa pada sekitar abad ke 6 Masehi, Allah Sang Maha Pencipta itu telah memilih salah satu manusia di negeri Arab yang bernama Muhammad bin Abdullah, untuk menjadi perantara antara Dia dengan para hamba, menjadi “kurir” resmi antara Dia dengan hamba, menjadi “duta resmi” yang akan menyampaikan kehendak Allah kepada para hamba yang sudah ditakdirkan-Nya untuk menempati bumi. Jadi, lelaki pilihan yang bernama Muhammad itu diyakini bukan sekedar manusia biasa, tetapi menjadi manusia pilihan yang ditugasi Allah untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada semua hamba-hamba-Nya. Perantara Allah dengan para hamba ini dalam bahasa dien dinamakan Nabi dan atau Rasul.
Untuk kepercayaan pertama, ada dua unsur yang harus diperhatikan. Pertama, keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan Dialah yang menciptakan segalanya. Kedua, keyakinan bahwa Tuhan yang bernama Allah itulah satu-satunya yang hanya boleh disembah. Yang lain tidak boleh.
Jika orang baru sampai tahap mempercayai adanya Tuhan, maka dia baru berada di separuh perjalanan. Hidupnya belum benar. Sangat berbahaya jika orang memiliki keyakinan bahwa selama dirinya sudah meyakini adanya Tuhan yang Maha Kuasa, percaya kepada-Nya dan tidak mengingkari-Nya, lalu dia meyakini bahwa di akhirat kelak dia pasti akan masuk surga. Kepercayaan seperti ini tidak benar dan sangat berbahaya. Hal itu dikarenakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya tidak sekedar berfikir serius untuk mencari bukti-bukti keberadaan-Nya, tetapi juga memerintahkan para hamba untuk hanya menyembah kepada-Nya.
Percaya semata-mata akan adanya Allah tidak menjamin Allah ridha. Buktinya Abu Jahal. Lelaki ini percaya Allah itu ada, bahkan berdoa kepada-Nya, dan pada saat menjelang perang Badar, dia berdoa agar Allah membinasakan siapa yang paling memutus silaturrahim di antara pasukan Quraisy dengan pasukan kaum Muslimin. Yang terjadi waktu itu adalah kematian Abu Jahal dan kekalahan pasukan Quraisy. Artinya, pasukan Quraisy termasuk Abu Jahal berada pada pihak yang salah. Pasukan Quraisy tergolong kafir dan Abu jahal juga kafir. Hal ini menunjukkan bahwa semata-mata percaya akan keberadaan Tuhan belumlah mencapai keyakinan yang benar. Itu masih belum selesai. Belum tuntas. Belum menjamin ridha Allah. Belum menjamin keselamatan di akhirat. Bisa dikatakan bahwa seluruh orang Arab secara umum yang disebut kafir dalam Al-Qur’an itu adalah orang-orang yang sudah percaya bahwa Tuhan pencipta segalanya itu ada, dan bahkan mereka menyebut Tuhan itu dengan nama yang sama dengan kaum muslimin, yaitu Allah.
Dari sini bisa dipahami, bahwa orang yang sudah meyakini adanya Tuhan saja masih bisa disebut kafir dalam Al-Qur’an, maka orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan (yakni orang-orang ateis) adalah jenis orang kafir yang terburuk.
Sekali lagi, tidak cukup perjalanan manusia dalam mencari Tuhannya berhenti pada pembuktian akan keberadaan-Nya. Justru unsur terpenting setelah itu adalah unsur kedua dalam kepercayaan ini, yakni bahwa Tuhan Sang Pencipta Segalanya itu harus menjadi satu-satunya yang disembah, dan tidak boleh ada siapapun yang disembah bersama-sama dengan Dia. Prinsip menjadikan Dia (Allah) sebagai satu-satunya ini dalam bahasa dien disebut dengan istilah tauhid (mengesakan), karena tauhid berasal dari kata wahhada yang bermakna mengesakan atau menjadikan sesuatu sebagai satu-satunya.
Adapun makna menyembah, secara ringkas menyembah itu menggabungkan dua unsur, yaitu mempersembahkan puncak cinta (غاية الحب) dan puncak penghinaan diri (غاية الذل) kepada sesuatu yang disembah. Artinya, jika kita mendeklarasikan diri untuk menyembah hanya Allah saja, hal tersebut bermakna kita hanya mempersembahkan puncak cinta kita kepada Allah dan hanya mempersembahkan puncak penghinaan diri hanya kepada-Nya.
Haram hukumnya memberikan cinta puncak dan penghinaan diri secara puncak kepada selain Allah. Siapapun yang memberikan puncak cinta dan puncak penghinaan dirinya kepada sesuatu, maka dia telah menyembahnya. Orang yang memberikan puncak cintanya dan puncak penghinaan dirinya kepada wanita, berarti dia telah menyembah wanita itu. Orang yang memberikan puncak cintanya dan puncak penghinaan dirinya kepada raja, berarti dia telah menyembah raja itu. Orang yang memberikan puncak cintanya dan puncak penghinaan dirinya kepada uang, berarti dia telah menyembah uang itu. Orang yang memberikan puncak cintanya dan puncak penghinaan dirinya kepada hawa nafsunya, berarti dia telah menyembah hawa nafsunya itu. Dan seterusnya.
Jika orang memberikan puncak cintanya dan puncak penghinaan dirinya kepada Allah, sementara pada saat yang sama dia juga mempersembahkan puncak cinta dan puncak penghinaan dirinya kepada selain Allah, maka dalam kondisi ini dia telah melakukan isyrok (penyekutuan) dan pelakunya disebut musyrik. Jadi, orang musyrik itu bukan orang yang tidak percaya Allah atau orang yang tidak menyembah Allah. Justru orang musyrik itu adalah orang-orang yang percaya Allah, menyembah Allah, mencintai Allah dengan cinta puncak, dan menghinakan diri di hadapan Allah dengan penghinaan puncak, tapi pada saat yang sama dia juga memberikan puncak cinta dan penghinaan diri itu kepada selain-Nya. Orang-orang musyrik Arab dikatakan musyrik karena mereka menyembah Allah, tapi pada saat yang sama mereka juga menyembah Al-Lata, Al-Uzza, Hubal, Manat dan berhala-berhala yang lain, yang mereka cintai dan hormati sebagaimana Allah.
Dari penjelasan ini pula bisa disimpulkan bahwa kafir musyrik itu masih “lebih baik” daripada kafir yang nyata menyembah selain Allah (seperti menyembah matahari, manusia, bulan dan lain-lain ). Kafir karena menyembah selain Allah masih “lebih baik” daripada kafir karena tidak percaya adanya Tuhan.
Mungkin sampai di sini ada pertanyaan, “Jika kita diperintahkan memberikan puncak cinta dan puncak penghinaan diri hanya kepada Allah, apakah dengan demikian kita haram mencintai istri, orang tua, anak, harta, kendaraan dan semisalnya? Apakah haram juga bagi kita untuk menghormati orang tua, menghormati suami, menghormati amirul mukminin, menghormati orang sepuh dan semisalnya?”
Jawaban pertanyan ini adalah sebagai berikut,
Perintah untuk memberikan puncak cinta dan puncak penghinaan diri kepada Allah tidak bermakna haramnya secara mutlak mencintai selain Allah atau menghormati selain Allah. Akan tetapi bemakna haramnya menjadikan selain Allah sebagai puncak cinta dan puncak penghinaan diri. Artinya, cinta kepada selain Allah itu tidak bertentangan dengan hakikat menyembah hanya kepada Allah, selama cinta tersebut adalah cinta yang diizinkan-Nya (seperti cinta suami-istri, cinta anak, cinta harta, cinta kendaraan) atau diperintahkannya (seperti cinta kepada Nabi dan cinta kepada orang saleh). Menghormati selain Allah juga tidak bertentangan dengan hakikat menyembah hanya kepada Allah selama penghormatan tersebut adalah atas dasar perintah Allah (seperti menghormati orang tua, ulama, suami, amirul mukminin dan semisalnya). Jadi intinya, semua cinta kita dan penghormatan kepada Allah itu boleh asalkan tidak menjadi puncak cinta dan puncak penghinaan diri dan harus atas dasar izin Allah atau perintahnya. Jika ada cinta yang dilarang (seperti mencintai musuh dien) atau penghormatan yang dilarang (seperti sujud kepada manusia) atau menghormati yang tidak diperintahkan Allah (seperti menghormati keris, akik, pohon, patung dan lain-lain) maka semua ini terlarang dan haram.
Jadi tidak usah dibenturkan antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada istri misalnya. Allah mengizinkan cinta kepada istri selama cinta kepada istri itu posisinya di bawah cinta kepada Allah. Tidak perlu seorang laki -laki misalnya mengatakan, “Maaf, saudariku, aku tidak akan menikah, karena cintaku adalah hanya untuk Allah saja tidak mungkin dalam satu hati akan bersatu dua cinta”. Tidak perlu mengucapkan ini karena dua hal tersebut tidak bertentangan. Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah hamba Allah yang paling kuat cintanya kepada Allah. Kendati demikian, beliau juga mencintai Khadijah, bahkan sangat mencintainya. Beliau juga dikenal mencintai Aisyah dan semua istri-istri beliau tahu bahwa Aisyah adalah istri beliau yang paling dicintai Nabi sepeninggal Khadijah.
Hanya saja, jika memang terjadi benturan antara cinta Allah dengan cinta kepada selain Allah, maka wajib dipilih cinta Allah. Umpamanya seorang lelaki menikahi wanita, lalu istrinya tiba-tiba menjadi murtad, padahal mereka telah hidup lama bersama dan suami ini sangat mencintai istrinya. Dalam kondisi ini, cinta Allah yang wajib dipilih karena ia harus menjadi cinta puncak dan memutuskan untuk menceraikan istrinya. Kisah Ibnu Umar yang memaksa dirinya mencerai istrinya karena diperintahkan ayahnya dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga contoh terbaik bagaimana menyikapi cinta jenis ini ketika terjadi benturan. Meskipun Ibnu Umar dan istrinya saling mencintai, tetapi karena telah ada perintah dari ayahnya untuk menceraikan istrinya karena kuatir cinta Ibnu Umar kepada istrinya melebihi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan perintah itupun telah disetujui Rasulullah صلى الله عليه وسلم serta dikuatkannya, maka Ibnu Umarpun mau tidak mau harus memaksa dirinya untuk sanggup menceraikan istrinya, demi mendahulukan cinta kepada Allah.
Hal ini berlaku pada semua cinta-cinta lain. Cinta kepada orang tua, anak, saudara, uang, pekerjaan, jabatan, kendaraan, properti, bahkan cinta kepada dirinya sendiri semuanya harus dikalahkan jika sudah berada dalam situasi berbenturan dengan cinta kepada Allah.
Inilah gambaran makna kepercayaan pertama dalam Islam itu, yakni kepercayaan yang berbunyi “Aku percaya bahwa ada Sang Pencipta Segala sesuatu yang aku harus membatasi penyembahanku hanya kepada-Nya.
Adapun makna kepercayaan yang kedua, yakni mempercayai bahwa lelaki yang bernama Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah, maka hal ini sangat terkait dengan kepercayaan yang pertama.
Setelah seorang hamba merasa tenteram dan bisa menerima bahwa hidupnya ini memang hanya untuk menyembah Allah semata tanpa menyertakan penyembahan kepada selain-Nya, maka dia menjadi paham bahwa dia harus menghabiskan umur untuk mencari ridha-Nya semata. Dia akan mengukur keberhasilan hidupnya dengan melihat apakah sudah benar-benar menyembah Allah seperti yang diinginkan-Nya. Dia ingin mati dan meninggalkan dunia ini dalam keadaan Allah senang dan ridha kepadanya. Dia akan menjadi sangat sedih dan merasa rugi-serugi-ruginya jika sampai dia mati dalam keadaan Allah murka kepadanya dan marah karena kelalaiannya menunaikan kewajiban penyembahan itu. Senang dan ridhanya Allah kepadanya adalah perkara yang sangat ia idam-idamkan dan ia dambakan. Dia akan berusaha melakukan perbuatan apapun yang kira-kira akan membuat Allah senang dan ridha dan dia akan berjuang keras melakukan perbuatan itu sekuat tenaga.
Hanya saja, sebelum dia melakukan perbuatan yang menyenangkan Allah, tentu saja dia harus punya data terlebih dahulu apa saja yang disenangi Allah itu. Tidak mungkin dia melakukan perbuatan yang diharapkan akan menyenangkan Allah hanya dengan ilmu kira-kira. Mirip seperti kita ingin menyenangkan orang lain dengan cara membelikan makanan misalnya. Agar perbuatan kita itu benar-benar menyenangkannya maka harus dicari data dulu orang yang hendak kita senangkan. Jangan sampai kita membelikan sate babi kepada seorang muslim saleh misalnya, karena itu justru tidak menyenangkannya tapi malah membuatnya tersinggung dan marah.
Dengan Allah perumpamaannya juga demikian. Jangan sampai kita melakukan perbuatan yang kita sangka bahwa itu menyenangkan Allah padahal justru malah membuatnya murka. Kita harus punya data pasti bahwa perbuatan yang hendak kita lakukan itu memang benar-benar menyenangkan-Nya. Kita harus punya metodologi mapan yang menjamin kebenaran dan validitas data yang kita butuhkan, supaya kita tidak salah jalan di dunia ini. Orang Ge-er itu buruk dan menyedihkan, tetapi seburuk-buruk orang ge-er adalah orang yang merasa berbuat baik didunia ini padahal Allah tahu dia sesat sesesat-sesatnya.
Nah, untuk mengetahui kehendak Allah itu apa, perbuatan apa saja yang disukai-Nya dan perbuatan apa saja yang dibenci-Nya, maka tidak mungkin kita langusng mengkontak Allah. tidak ada dalam sejarah reputasi peradaban manusia di mana setiap manusia bebas dan bisa mengkontak Allah serta berbicara langusng dengan-Nya. Ini memang sudah ditakdirkan Allah. Kita ditempatkan di bumi ini untuk diuji beribadah dan menyembah hanya kepada Allah secara gaib, artinya kita memang tidak bisa mengkontak langsung Allah dan tidak bisa langsung bercakap-cakap dengan-Nya.
Hikmah Allah berkehendak untuk berkomunikasi dengan para hamba melalui “kurir”. Sang “kurir” inilah yang dititipi Allah pesannya berupa wahyu agar disampaikan kepada umat manusia. Agar kurir ini bisa dipercaya bahwa beliau memeng benar-benar utusan Allah dan bukan seorang pendusta, maka Allah membekali bukti-bukti luar biasa yang tidak mungkin ditiru manusia sampai kapanpun yang diistilahkan dengan nama mukjizat. Dengan mukjizat itulah para “kurir” itu dikenali. Kurir dan duta resmi Allah inilah yang disebut dalam bahasa agama dengan julukan Nabi dan atau Rasul.
Jadi, mempercayai nabi Muhammad sebagai utusan Allah bermakna mengambil “saluran resmi” antara hamba dengan Allah. Iman kepada Nabi Muhamamd adalah semacam “cantolan” agar para hamba bisa terhubung dengan Allah dan bisa melaksakana perintah menyembah-Nya itu dengan sebaik-baiknya. Tidak mungkin seorang hamba bisa menyembah Allah dengan baik jika dia tidak bersedia mengikuti para Rasul ini. Siapa yang mencukupkan diri hanya percaya Allah lalu berusaha menyembah-Nya dengan caranya sendiri, sudah pasti dia akan tersesat dan disesatkan serta tidak mungkin mendapatkan ridha dari Allah di akhirat.
Setelah mengimani Nabi Muhamamd صلى الله عليه وسلم inilah kita jadi tahu apa saja yang disukai Allah dan apa saja yang dibenci-Nya. Kita jadi tahu Allah suka jika kita menyembahnya secara formal lima kali dalam sehari. Kita juga tahu bahwa Allah suka jika kita berbagi dengan sesama dalam hal harta sehingga bisa saling membantu dan menolong fakir miskin. Kita juga tahu bahwa Allah suka kalau kita melatih menahan hawa nafsu selama sebulan setiap satu tahun sekali, dan seterusnya kita juga tahu Allah itu benci dusta, khianat, pembunuhan, pencurian, perzinaan dan lain-lain.
Inilah intisari ajaran Islam, dan semua cabang-cabang ajaran Islam tidak diragukan lagi terpancar, menyumber dan dijiwai oleh dua kpercayaan ini. Apapun yang diklaim ajaran Islam tapi tidak bersumber dari dua kepercayaan ini, maka itu bukan ajaran Islam dan tidak perlu dipegang.
Dua kepercayaan inilah yang menjadi pintu masuk ke agama Islam. Orang yang sudah paham betul makna dua kepercayaan ini, lalu meyakininya, maka dia bisa mantap masuk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat yang berbunyi,
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali hanya Allah,
Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”
2 Comments
Luthfi Firmansyah
Terima kasih Pak Ustadz atas ilmunya, semoga menjadi berkah untuk kita semua🙏
Admin
alhamdulullah, sama-sama. Amin