PERTANYAAN
Assalamualaikum wrwb. Ustadz Rohma.
Saya Ibu Nunki dari Jakarta. Saya dapat nomer ustad dari website irtaqi.net.
Saya baca ustad menulis buku tentang hal waris. Kebetulan saya ada masalah terkait itu. Ijin bertanya.
Alm.ayah menabungkan uang bagi keperluan nafkah ibu di hari tua. ibu tidak bekerja. Sehingga ayah berharap ibu dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa membebani anak-anaknya.
Ibu tahu tabungan tersebut sejak alm.ayah masih hidup. Begitu pula kami semua anak-anak perempuannya. Tabungan itu di atas namakan ayah karena ibu awam perbankan. Masalah timbul ketika adik laki-laki, satu-satunya anak laki-laki dari kami 4 bersaudara, menganggap itu bagian dari warisan dan berkeras harus dibagi.
Mohon masukannya ust, apakah uang tersebut termasuk waris ataukah milik ibu karena statusnya uang nafkah dari alm.ayah kepada ibu. Terima kasih. Wassalam wrwb (Nunki, Jakarta)
JAWABAN
Oleh: Abu Hilya (dikoreksi Muafa)
Wa’alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh, terkait pertanyaan ibu Nunki, maka kami mendapati keterangan sebagai berikut;
- Almarhum ayah ibu berniat memberikan uang nafkah selepas beliau wafat berupa tabungan.
- Adik ibu menganggap uang tabungan tersebut adalah waris.
Maka jawaban kami;
Untuk hibah, maka itu sah jika diberikan saat Ayah bu Nunki masih hidup dan juga harus terjadi serah terima (qobdh). Jika belum diterima sementara Ayah bu Nunki wafat, maka seluruh harta Ayah menjadi harta warisan.
Jadi, mohon dipastikan apakah tabungan tersebut statusnya masih rencana diberikan kepada ibu (dan baru boleh digunakan setelah ayah wafat), ataukah sudah riil diberikan kepada ibu saat ayah masih hidup. Jika masih rencana, maka itu masuk hukum wasiat dan tidak sah wasiat kepada ahli waris jika tidak disetujui oleh seluruh ahli waris. Jika sudah riil diberikan kepada ibu, dengan bukti bahwa ibu bisa menggunakan uang tersebut kapanpun, atau sudah ada ijab kabul pemberian dan ada serah terima buku tabungan sebagai pengganti serah terima uang, maka sahlah pemberian tersebut.
Jika ada perselisihan antar anak antara yang percaya itu ada hibah dan yang tidak percaya, maka harus diajukan bukti. Bukti itu bisa berupa saksi atau dokumen tertulis. Hanya saja, tidak boleh saksi dari anak-anak yang ada karena saksi itu harus bebas dari “tuhmah” (tuduhan memiliki kepentingan). An-Nawawi berkata,
“tidak diterima persaksian orang tua (untuk kepentingan yang menguntungkan anaknya) atau anak (untuk kepentingan yang menguntungkan orangtua-nya)” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 11, hlm 236)
Saksi jumlah minimalnya dua orang laki-laki. Boleh kombinasi satu lelaki dan dua wanita.
Adapun sikap adik laki-laki ibu Nunki yang menuntut pembagian warisan, maka beliau berhak akan hal itu. Teknisnya perlu dibicarakan dengan baik pada seluruh ahli waris (termasuk ibu).
Dengan asumsi ahli waris adalah sebagaimana yang dijelaskan bu Nunki, maka ahli warisnya adalah:
- istri
- 3 putri, 1 putra
Maka bagian;
Istri adalah 1/8
Dalilnya adalah
Artinya:
“Dan bagi mereka (istri-istri kalian) adalah seperempat dari apa yang kalian tinggalkan jika kalian tidak punya anak. Jika kalian punya anak maka bagi mereka adalah *seperdelapan* dari apa yang kalian tinggalkan setelah ditunaikan wasiat yang mereka berwasiat dengannya, atau pelunasan hutang” (An-Nisa: 12).
3 putri & 1 putra menjadi ashobah (mendapatkan sisa harta), dengan ketentuan putra mendapatkan 2x bagian putri.
Dalil ketentuan ini adalah;
Artinya:
“Allah mewasiatkan kepada kalian terkait anak-anak kalian bagi laki-laki adalah dua kali bagian perempuan” (An-Nisa’: 11).
Putri masing2 mendapatkan 7/8 x 1/5, yakni 7/40.
Putra mendapatkan 14/40.
Harta warisannya adalah tabungan maupun harta lain yang dimiliki oleh almarhum. Semua menjadi harta waris yang harus dibagi.
Bagaimanakah kehidupan ibu bu Nunki? Jika beliau tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, maka beliau ditanggung oleh wali terdekatnya. Yang paling bertanggung jawab adalah lelaki terdekat beliau, yaitu ayah atau anak. Jika kondisi penanggung (wali) juga hidupnya pas-pasan, maka dibicarakan dengan baik-baik di antara anak-anak sang Ibu. Semua anak yang mampu bertanggungjawab untuk mengurusi nafkah ibu. Menafkahi orang tua adalah amal besar, Allah memuji amal tersebut menyandingkannya dengan mensyukuriNya. Amal menafkahi orang tua juga bisa jadi pintu keberkahan hidup anak, sebab persoalan dimudahkan, dan sebagainya. Maka, jangan sia-siakan orang tua, beliau adalah pintu surga bagi anak-anaknya. Wallahu a’lam.